Mohon tunggu...
Sri Mulyani (Agil Senja)
Sri Mulyani (Agil Senja) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya adalah seorang pengembara kata. Berjalan pada sebuah perkiraan, namun sering gagal menerka pertanda. Saya mungkin satu dari jutaan orang di dunia yang mencintai sastra. Apakah kita bisa saling berbagi titik atau koma?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elang

23 Januari 2023   16:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   16:00 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Angin berhembus pelan, semilir menyejukkan menambah kesunyian dan ketegangan di ruangan berukuran 15x20 cm. Waktu masih sangat pagi, baru saja aku membagikan soal ujian semester dan kembali memasang mata ganas mengawasi para siswa untuk sekedar memastikan keadaan aman dari para tangan yang ingin merogoh contekan.

***

Tiga tahun yang lalu...

Seorang anak kudapati terus menunduk dengan tangan mengepal di bangkunya. Aku mencoba menghampirinya perlahan.

“Kenapa Lang? Kamu sakit atau ngantuk?”

Beberapa detik tak ada jawaban, aku mulai kesal di buatnya.

“Elang!!! Kamu tidak dengar ibu berbicara?”

Aku melihatnya gelagapan mengangkat kepalanya dan mencoba meraba-raba dimana letak pensilnya.

“Maaf bu, kepala saya pusing”.

Matanya kulihat tampak merah seperti sudah tidak tidur berhari-hari, kulirik jari-jarinya menggenggam pensil dengan sangat kuat, kurasa ia tengah menahan sesuatu dengan sangat kuatnya, entah apa. Namun yang membuatku sangat heran ketika aku menyarankannya untuk pergi ke UKS, dia menolaknya dengan sangat tegas.

“Tidak usah bu, saya baik-baik saja. Saya hanya perlu istirahat beberapa menit dan sekarang saya sudah baikan”.

“Kamu yakin Lang? Ya sudah silahkan dikerjakan soalnya, kamu sudah membuang waktu kamu lebih dari sepuluh menit”.

Jam sepuluh tepat, bel berbunyi membuyarkan lamunanku. Akupun segera bergegas keluar ruangan setelah selesai membereskan lembar jawaban beserta soal-soal. Berjalan menyusuri kelas–kelas, dan melewati kelas XA membuat mataku makin sembab, dan satu lagi daun gugur di antara rimbunnya pohon kelengkeng di taman sementara bunga flamboyan berdendang menegaskan semangat dengan warna merahnya memandang ke arahku berjalan...

***

Tiga tahun lalu...

Seperti seorang penjelajah menemukan kompas ketika mencari arah jalan pulang, akupun terlonjak saat menerima jadwal semester dua. Akhirnya aku mendapat kesempatan mengajar kelas XA, satu hal yang terlintas di benakku adalah... Elang.

Beberapa kali pertemuan ternyata aku belum juga dapat bertatap muka dengan Elang karena selama itu pula dia mbolos. Baru di minggu kedua aku melihatnya di kelas, duduk di bangku paling belakang. Wajah sayu, mata memerah dan terlihat lelah ternyata kutemukan lagi pagi itu. Ketika aku ajak bicara satu jawaban yang sama ketika saat ujian dulu “kepala saya pusing bu”.

Beberapa waktu berlalu, terciptalah keakraban di antara kami. Tersebab pada suatu hari aku bertemu dengannya di pantai sedang asyik motret keindahan bahari Pantai Konang, dan saat itulah aku tau salah satu hobbinya adalah fotografer. Kami pun menjadi lebih akrab setelah beberapa waktu ngobrol tentang hobbi kami yang sama yaitu fotografi. Belakangan aku tahu juga kalau ia sedari kecil tinggal dengan pembantunya, tersebab orang tuanya sibuk bekerja di luar Jawa, Kalimantan tepatnya. Aku pun tahu betapa kesepiannya dia, dan aku amat paham itu. Mungkin aku bisa menyimpulkan sesuatu, mungkin kenakalannya itu hanya salah satu caranya mencari perhatian, entah dari siapa.

Waktupun berlalu, aku semakin akrab dengannya, juga teman-temannya. Kadangkala ia dan teman-temannya asyik curhat tentang pacar-pacarnya, hobbi, bahkan keluarganya. Namun, pada suatu ketika ada yang mengganggu pikiranku. Seminggu sudah Elang mbolos lagi, padahal ia sudah berjanji takkan membolos lagi jika tidak ada hal yang begitu penting. Aku mencoba mencari informasi dari teman-temannya, tapi nihil. Mereka hanya menyebutkan beberapa kemungkinan, dan satu yang membuatku tertarik “mungkin dia balik ke Surabaya bu, kangen balapan”. Aku menarik napas panjang, satu fakta lagi selain sering mbolos, dia suka balapan motor. Tanpa sengaja ku lihat foto-foto dan status-statusnya di facebook, sungguh aku amat tercekat dan meskipun masih teramat dini untuk kusimpulkan, mungkinkah dia...?????!!!!

Setelah Elang kembali masuk sekolah aku tak lagi respect dengannya, bukan karena dia tak menepati kata-katanya untuk tidak lagi mbolos, tapi karena aku muak dan teramat lelah mencoba menggali apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu. Keinginanku dari seorang guru adalah melihatnya berubah dan berhasil dalam kehidupannya, namun seperti yang sudah disampaikan guru-guru lain bahwa itu percuma. Akhirnya aku mencoba apatis dengannya, namun tetap memberikan arahan dan motivasi untuk para siswa di kelas. Aku terus mengajar seperti biasa, beberapa pertemuan aku bersikap biasa saja padanya hingga pada suatu hari aku melihat hal yang aneh lagi pada Elang, aku melihatnya seperti orang menahan ingus di hidungnya, padahal jelas kutahu dia tidak sedang menderita flu. Aku semakin curiga pada anak itu, berkali-kali sesuatu yang ganjil kulihat tak biasa dan membuatku amat penasaran seperti sebuah teka-teki yang menunggu untuk aku pecahkan.

Awal bulan April...

Elang mengetuk pintu rumahku, aku terpana di depan pintu. Seorang anak basah karena gerimis, bibir menggigil, wajah sepucat kapas hingga tak kudapati wajah tampannya yang memesona.

“Sore bu... maaf, saya mengganggu ya?”

“Elang,, kamu kenapa? Masuk dulu...”

Setelah meneguk teh hangat ia mulai bercerita kepadaku,

“Saya baru saja bertengkar dengan ayah bu, saya bisa habis jika terus di rumah. Kenyang dengan cacian, dan lebam oleh kemurkaannya. Tadi saya ke rumah teman-teman tapi mereka sedang tidak di rumah karena memang ada jadwal balapan hari ini.”

“Apakah alasan balapan itu pula yang menjadi alasan pertengkaranmu dengan ayahmu?”

“Salah satunya bu. Apakah saya mengganggu Bu?”

“Nggak apa-apa Lang, ibu seneng kalau ibu bisa bantu kamu, tapi tidak seharusnya kamu melawan ayahmu.”

“Elang kesel bu, apapun yang saya mau tak pernah di dengar. Saya hanya ingin bisa terus balapan, itu berarti saya harus balik lagi ke Surabaya, dan selebihnya apapun kemauan mereka termasuk untuk sekolah yang bener akan saya turuti.”

“Tapi... bukankah balapan itu berbahaya, mungkin orang tuamu sangat mengkhawatirkanmu makanya mereka melarangmu balapan.”

“Kalau mereka peduli sama Elang, mereka tak akan meninggalkan Elang sendirian, mereka akan menjaga Elang, mereka akan ada ketika Elang sakit atau setidaknya menemani Elang makan. Elang tak berharap bisa berlibur bersama, bercerita atau nonton film bersama karena itu mustahil, tapi Elang hanya minta hargai hobbi Elang. Itu saja tak lebih.”

Selesai berbicara Elang lantas pergi, bahkan tidak sempat ia mengucapkan salam. Ia memacu motornya dengan amat kencangnya, dan aku hanya bisa terpaku di tempatku duduk tanpa sepatah katapun. Aku dapat merasakan betapa ia membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Aku tahu betapa kesepiannya ia sejak kecil ditinggal orang tuanya bekerja di tempat yang jauh dan hanya di kunjungi beberapa kali pertemuan dalam setahun. Ia mendatangiku, berharap menemukan seseorang yang dapat memahaminya, namun aku hanya menyeramahinya dan tidak memberikannya kesempatan meluapkan isi hati dan pikirannya. Sungguh anak yang malang. Sesungguhnya materi memang bukan satu-satunya yang di perlukan oleh seorang anak.

***

Angin masih garang menerpa jiwa-jiwa yang lelah, dan sepasang kupu-kupu terbang seperti ingin hijrah ke kutub selatan sekedar menyejukkan diri. Seorang anak kulihat menyendiri di parkiran yang mulai sepi. Aku mendekatinya, dan ternyata Elang tengah duduk di motornya.

“kenapa belum pulang Lang? nunggu siapa?”

Betapa kagetnya ketika kutahu darah keluar dari hidungnya,

“Kamu mimisan Lang???”

“Nggak apa-apa bu, nanti juga mampet sendiri.”

“Ikut ibu ke UKS, setidaknya hidungmu harus di tutup dengan kapas. Sepertinya UKS belum tutup.”

“Nggak usah bu, nggak apa-apa kok ini Elang juga sudah mau pulang.”

“Elang!!! Kali ini nurut sama ibu.”

***

Seminggu tak ada kabar, dua minggu tak ada kejelasan, hampir tiga minggu sudah Elang kembali mbolos. Akupun sudah tak peduli, aku tak mencoba mencari tahu tentangnya ataupun menghubunginya. Sebulan kemudian aku tahu bahwa dia resmi keluar dari sekolah, aku berpikir mungkin orang tuanya telah berdamai dengannya dan ia diizinkan kembali bersekolah di Surabaya. Memang ada sedikit rasa kehilangan ketika anak itu pergi, mungkin karena keinginanku atau justru ambisiku yang ingin merubahnya menjadi lebih baik belum tercapai, atau mungkin rindukah???

Ya mungkin aku memang akan merindukan saat-saat bersamanya ketika hunting foto atau sekadar bercanda bercerita sambil menikmati sunset di suatu senja. Ahhh... kedengarannya memang gila, tapi itu terjadi padaku dan Elang beberapa waktu lalu yang mungkin tidak akan dialami oleh seorang guru dan murid dimanapun. Tapi itu dulu, hal-hal yang mungkin bisa ku kenang atau justru harus aku lupakan.

>>> menjelang ujian semester dua...

Masih begitu pagi ketika aku menerima message dari nomer tak aku kenal

“ ini benar Bu Rahma?”

Aku abaikan karena memang tak ku tahu nomernya, baru setelah berkali-kali nomer itu mencoba menghubungiku aku meresponnya.

“Iya, saya Bu Rahma. Mohon maaf ini siapa ya??”

“Ini Fendy bu, teman Elang. Maaf mengganggu saya hanya ingin memberi kabar. Tadi malam Elang kecelakaan.”

Sekian lama tidak mendengar kabar tentang anak itu, dan pagi ini mendapat kabar tak menyenangkan.

“Kecelakaan bagaimana?”

“Saya tidak tahu bagaimana pastinya bu, saya hanya dapat kabar kalau sekarang dia koma.”

“Separah itu?”

“Ia bu, maaf saya dan teman-teman juga kaget. Yang saya dengar menurut cerita teman yang kali terakhir bersamanya semalam dia balapan sehabis makek, terus dia kecelakaan.”

“Makek? Maksudmu, makek apa???!!”

“Maaf bu, Elang memang mengkonsumsi narkoba, saya dan teman-teman juga baru tahu belakangan.”

Tanpa pikir panjang, pagi itu juga aku berangkat bersama Fendy, sahabatnya ke Surabaya. Gerimis menemani perjalanan kami menjadikan suasana makin menyesakkan. Beribu tanya tersimpan di benakku, sejuta emosi berlomba merajai pikirku meminta untuk kuluapkan.  Jam setengah tujuh malam aku dan Fendy sampai di rumah sakit, dengan langkah gontai aku menyusuri koridor-koridor rumah sakit. Berbagai perasaan bercampur di jiwaku, gelisah, takut, marah, khawatir membuncah jadi satu.

Kamar 919

Aku melangkah masuk, ada isak tangis yang tak tertangguhkan. Seorang anak terbujur kaku dengan wajah pucat pasi seperti awan di langit seusai hujan. Aku terus melangkah mendekat meski tanpa kusadari airmata telah menggenang di kedua pelupuk mataku. Aku mengumpat tak tentu arah menatap wajah biru di depanku. Elang, anak ibu yang malang. Kenapa kamu pergi tanpa pamit sama ibu, bahkan sedetik saja kau tak mau menunggu sampai ibu datang. Tiba-tiba seorang gadis cantik merangkul pundakku.

“Semalam Elang mabuk, menurut pemeriksaan dokter dia abis makek juga. Padahal jam sembilan malem baru saja pulang dari pameran foto bersama saya. Saya tak menyangka itu bisa terjadi, kejadiannya jam satu dini hari.”

Aku menatap sebentar gadis itu, cantik, lembut, dan amat menarik, pasti itu pacar Elang.

“Elang cerita banyak tentang Ibu. Ia menunjukkan foto Ibu dan teman-temannya juga semasa di desa. Ketika Ibu berjalan menuju kemari tadi, saya bisa mengenali Ibu.”

Aku menoleh dan menepuk pundak gadis itu, yang terus menerus mengambil tisu dari dalam tasnya. Di sudut kamar aku melihat kedua orang tersedu-sedu, yang aku yakini itu pasti orang tuanya. Wajah penyesalan dan kecewa tampak jelas dari keduanya, bahkan ibunya berkali-kali pingsan.

Aku tak akan menunggu lebih lama lagi untuk hal yang ku benci, bagiku Elang tetap hidup jadi kiranya aku tak perlu ada di prosesi pemakamannya.

Malam itu juga aku kembali, kenangan masih lekat di pikiranku ketika pertama kali aku melihatnya menggigil, mimisan, dan hal-hal aneh lain yang kutemui. Ternyata benar Elang seorang pemakai, perkiraanku sungguh tak meleset. Rasa sesal yang mendalam seperti ingin berontak kepadaku, sementara angin di luar begitu dingin menampar-nampar wajahku yang sayu.  Ucapan seorang gadis di rumah sakit kembali terngiang di kepalaku.

“Padahal jam sembilan malem baru saja pulang dari pameran foto bersama saya. Saya tak menyangka itu bisa terjadi, kejadiannya jam satu dini hari.”

***

Tiga tahun berlalu sebuah kenangan terus menggaram di hatiku, sebuah keajaiban aku dapat mengenal Elang, mata elangnya yang tajam, kulitnya yang bersih, tawanya yang manis, bibirnya yang merah, gayanya yang supel dan menyenangkan. Sebuah kesalahan menyia-nyiakannya dalam kesepian yang tak berujung. Ada buliran air yang kembali menetes dari sudut mataku, membasahi map ujian yang kubawa. Sekuntum flamboyan jatuh di atasnya, kulirik lagi daun-daun kering jatuh beterbangan  ke atas tanah, dan jelas bukan salah angin jika akhirnya daun-daun itu berguguran...

                                                                                                19 maret 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun