Mohon tunggu...
Sri Maulida
Sri Maulida Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Researcher

Lecturer and Researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islamisasi Ilmu Pengetahuan

20 Juni 2015   03:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 6409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Oleh Sri Maulida S.E.Sy*

 

  1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan

“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia

(Q.S Ar-Ra’d : 11).[1]

Islamisasi adalah salah satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Islamisasi berarti pengIslaman[2]. Dalam konteks lebih luas menunjukkan pada proses pengIslaman, di mana objeknya adalah orang atau manusia.

Menurut AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengIslamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai datumnya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah[3].

Dalam pembahasan ini akan dibahas Islamisasi pengetahuan yang dikenalkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.

  1. Munculnya Isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Munculnya isu Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang  negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari nilai agama. Di samping itu Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.

Gagasan awal Islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat konferensi dunia pertama tentang pendidikan muslim di Makkah, pada tahun1977  yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam makalahnya “Islamisizing social science” dan syekh Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya “Preliminary Thoughts on the Nature of knowledge and the Aims of Education”. Menurut al-Attas (dalam Nata, 2005) bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam adalah bukan bentuk kebodohan, tetapi pengetahuan,  pengetahuan yang disebarkan ke seluruh dunia Islam oleh peradaban Barat[4]. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah Karikatur Barat, sehingga dipandang sebagai inti dari malaise atau penderitaan yang dialami umat. Keadaan pendidikan pada masa kini telah ditanamkan kekuatan-kekuatan westernisasi dan sekularisasi. Ia mengkritik sains Barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia dan nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan[5].

Berikut masalah yang menjadi penyebab munculnya isu Islamisasi ilmu pengetahuan yang diperkenalkan oleh al-Faruqi :

  1. Politik

Kekuatan-kekuatan penjajah telah berhasil memecah umat Islam. Menurut Faruqi, seluruh dunia Islam, kecuali di beberapa negara di mana para penguasa siap sendiri bekerja sama dengan musuh, pemerintah penjajah telah menghancurkan seluruh institusi politiknya[6]. Artinya, ketika saatnya tiba untuk pemerintah penjajah mengundurkan diri, mereka akan menyerahkan kekuasaan kepada elite-elite politik pribumi yang telah dipengaruhi Barat. Di dalam kebanyakan kasus kaum muslimin berada pada keadaan demikian karena tak mempunyai formasi-formasi politik yang sanggup menjalankan pemerintahan[7]. Sistem politik di berbagai negara Islam atau mayoritas Islam sudah bercampur tangan dengan sistem politik barat. Islam diyakini tidak memiliki ajaran tentang sistem negara. Islam tidak menyebutkan soal negara ideal, Islam bisa menjadi besar kalau tidak menampilkan wajah politik melainkan wajah moralnya. Atau dengan kata lain, Islam mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan sebagai institusi[8].

Dalam wacana politik Islam dikenal tiga paradigma relasi hubungan Islam dan Negara. Pertama, Islam tidak dipisahkan dengan negara, atau disebut paradigma integralistik. Menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan sekaligus keagamaan. Menurut tokoh paradigma ini mempunyai tiga dasar keyakinan pokok. Ketiga pokok gagasan tersebut adalah, pertama, Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur kehidupan. Kedua, kedaulatan tertinggi ada di kekuasaan Allah. Dan yang ketiga, sistem politik Islam tidak mengenal batas-batas geografis, bahasa dan kebangsaan[9].

Kedua, paradigma ini memandang agama dan pemerintahan berhubungan secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling membutuhkan. Pemerintah ditempatkan sebagai sarana penunjang perkembangan agama, dan agama diposisikan sebagai pembimbing etika dan moral suatu negara.

Ketiga, paradigma bersifat sekularistik yang menolak pendasaran pemerintahan pada Islam. Menurut tokoh paradigma ini, Islam merupakan entitas keagamaan yang bertujuan untuk mewujudkan komunitas keagamaan yang tunggal, berdasarkan keyakinan dan tidak mengajarkan pembentukan sistem pemerintahan tertentu. Kekuasaan politik bukan karena tuntutan agama melainkan tuntutan sosial dan politik itu sendiri.

Sisi lain, Politik Islam mempunyai pilar-pilar dasar dalam pemerintahan antara lain adalah Kedaulatan di Tangan Syara’(hukum Islam), Kekuasaan di Tangan Umat, Hanya Khalifah yang Berhak Mengadopdi Hukum, Wajib Membai’at Satu Khalifah.

Dari penjelasan diatas jelas bahwa politik Islam dapat digunakan untuk menguatkan umat Islam, karena al-Maslahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam diskursus tentang politik Islam yang erat kaitannya dengan komunitas sosial, sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan demikian penyusun dapat menyimpulkan bahwa politik islam adalah cara-cara dalam berpolitik yang sesuai tuntunan Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu sistem politik Islam yang melihat dokumen-dokumen dari Al-Qur‟an ini memuat prinsip-prinsip politik berupa keadilan, musyawarah, toleransi, hak-hak dan kewajiban, amar ma’ruf dan nahi mungkar, kejujuran, dan penegakan hukum.

Jadi dengan sistem dan peraturan-peraturan hukum yang sesuai dengan Al-Qur‟an sudah pasti sistem politik Islam lebih baik dibandingkan dengan sistem Politik yang lain.

  1. Ekonomi

Al-Faruqi menjelaskan Umat Islam belum maju dan terbelakang, mayoritas buta huruf. Produksi barang dan jasa berada jauh dari kebutuhan, bahkan kebutuhan yang bersifat strategis seperti mak anan-makanan pokok, pakaian, energi dan perlengkapan militer tidak ada negara Islam yang dapat mencukupi kebutuhan tersebut[10]. Artinya kebutuhan umat Islam masih sangat bergantung pada produk dan jasa dari Barat. Bagi orang Barat ketergantungan tersebut sangat menguntungkan mereka. mereka akan selalu berusaha agar kaum Muslimin tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri dengan cara menjanjikan kehidupan yang lebih baik di kota-kota. Setelah umat Islam mengantungkan nasib ke kota-kota besar mereka akan bergantung pada makanan-makanan pokok impor dari Barat[11].

Kekayaan yang telah Allah SWT berikan kepada negara Islam sangat memiliki potensi untuk dikembangan secara mandiri seperti minyak, pertanian dan Industri yang dapat mensejahterakan umat Islam di dunia tetapi umat Islam masih kekurangan para ahli dan modal untuk membiayainya.

Islam adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna. Salah satu aspek penting yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah ekonomi.  Ajaran Islam tentang ekonomi memiliki prinsip-prinsip yang bersumber Alquran dan Hadits. Prinsip-prinsip umum tersebut bersifat abadi, seperti prinsip tauhid, adil, maslahat, kebebasan dan tangung jawab,  persaudaraan, dan sebagainya.

Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi. Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.

Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah,  dapat  memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, semua sumber daya yang ada, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. ( QS. 14: 34 )

Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited ). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ).

Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, termasuk dalam menggunakan sarana dan sumber daya harus disesuaikan dengan syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid (keilahian) dan berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah dan ridha Allah.

Seorang muslim yang bekerja dalam bidang produksi misalnya, maka itu tidak lain diniatkan untuk memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15). Seorang muslim hanya akan memproduksi barang yang terjaga terjaga kebaikan dan kehalalannya, tidak akan memproduksi barang-barang yang membawa mudharat seperti rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya.

Prinsip konsumsi yang sesuai syariah salah satunya adalah tidak berlebih-lebihan, menjauhi  israf (mubazzir). Perilaku  tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya haruslah dilakukan secara efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.

Prinsip kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri.

Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpukan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syariah Allah ”. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada  syariah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.

Prinsip adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus  Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.

Dalam doktrin Islam, manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi (QS.2;30, 6:165), 35:39). Manusia telah diberkahi dengan semua kelengkapan akal, spiritual,  dan material yang memungkinkannya  untuk mengemban misinya dengan efektif. Fungsi kekhalifahan manusia adalah uttuk mengelola alam dan memakmurkan  bumi sesuai dengan ketentuan dan syariah Allah. Dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah ia diberi kebebasan dan juga dapat berfikir serta menalar untuk memilih antara yang benar dan yang salah, fair dan tidak fair dan mengubah kondisi hidupnya ke arah yang lebih baik (Ar-Ra’d : 11).

Al-Quran  mengajarkan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia, termasuk dan terutama ukhuwah dalam perekonomian.[2] Al-Quran mengatakan, ”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.(QS.49:13). ”Kami menjadikan kamu dari diri yang satu” (QS.4:1). Konsep persamaan manusia, menunjukan bahwa Islam menolak pengklasifikasian manusia yang berdasarkan atas kelas – kelas. Implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin rasa persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh dan mudharabah ( profit and lost sharing ).

  1. Regio-Kultural

Kemunduran kaum muslimin telah menyebabkan berkembangnya buta huruf dan kebodohan. Tanpa disadari masyarakat muslim tergoda dengan contoh keberhasilan yang diperoleh Barat dan orang-orang Barat atau orang-orang yang mengalami westernisasi. Pemimpin-pemimpin Muslim yang telah mengalami westernisasi tidak mengetahui bahwa cepat atau lambat program-program mereka akan merobohkan agama Islam dan budaya warga-warganya[12]. Suatu sistem pendidikan yang sekuler dibangun dan diajarkan dengan nilai-nilai dan metode Barat kemudian lulusan-lulusan dengan sistem pendidikan barat tersebut terjun ke masyarakat dengan tidak mengetahui khasanah Islam.

Semua hal yang berbau Islam ditanamkan keraguan didalamnya, integritas Al-Qur’an, kerasulan Nabi Muhammad SAW, kebenaran sunnahnya, kesempurnaan syari’ah dan semua prestasi-prestasi yang dicapai kaum muslimin didalam kultur dan kebudayaan. Negara-negara kolonial menanamkan keraguan kepada seorang Muslim terhadap dirinya sendiri, terhadap agamnya dan terhadap leluhurnya untuk melepaskan kesadaran Islam dalam dirinya[13]. Seperti halnya fenomena ISIS saat ini, ISIS menganggap bahwa hal itu merupakan langkah awal dari perwujudan cita-cita mendirikan kekhalifahan Islam secara global. Sekelompok orang ini berasal dari Negara yang berbeda, termasuk dari Indonesia. Mereka berjumlah beberapa orang saja, tapi karena militansi dan sikapnya yang radikal mengharuskan agar tetap diwaspadai keberadaan dan aktifitasnya. Tidak menutup kemungkinan sekelompok orang ini akan memengaruhi dan merekrut orang lain masuk ke dalam kelompok mereka. Yang lebih mengkhawatirkan dan perlu diwaspadai, sekelompok orang ini jangan sampai melakukan aksi sebagaimana yang dilakukan kelompok ISIS di luar negeri, yakni dengan menggunakan terror, kekerasan, kebiadaban dan tidak toleran.

Menurut DR. KH. Ma’ruf Amin apabila diidentifikasi, sekelompok orang yang mendukung dideklarasikannya ISIS ini mempunyai karakter yang hampir sama, yakni kecenderungan mempunyai pemahaman yang kurang pas terhadap ajaran agama, sehingga menimbulkan distorsi pemahaman dan sikap radikal dalam beragama, dimana hal itu bisa berpotensi memunculkan tindakan kekerasan dan tidak toleran. Oleh karena itu, upaya pencegahan agar kelompok ini tidak bisa berkembang bukan hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan (security aproach) saja tapi juga melalui pelurusan pemahaman keagamaan[14].

Menurut sebagian kajian, ada banyak faktor yang menjadi akar dari munculnya radikalisme agama. Yang paling menonjol adalah faktor distorsi pemahaman agama dan faktor anti barat. Faktor distorsi pemahaman agama juga menjadi akar dari munculnya sikap radikal dalam beragama. Salah satu penyebab terjadinya distorsi dalam memahami agama adalah pemahaman terhadap dalil al-Quran dan Hadis hanya secara harfiyah atau literer. Pemahaman terhadap dalil al-Quran dan Hadis hanya dengan menggunakan pendekatan literer ini membahayakan, karena dapat menggelincirkan seseorang dalam kesalahan pemahaman. Dalam pengambilan suatu hukum dari dalil-dalil syar'i (istinbath al-hukm) harus melewati seperangkat metodologi yang telah diformulasikan oleh para ulama, baik dengan cara pemahaman terhadap makna harfiyah dari dalil al-Quran dan Hadis (manthuq an-nash) ataupun dengan cara menggali lebih dalam makna tersebunyi dari dalil al-Quran dan Hadis (mafhum an-nash).

Kultur Barat dipromosikan melalui media koran-koran, buku-buku, majalah-majalah poster-poster dan sebagainya. Negara-negara Islam bangga dengan dibangunnya perkantoran, apartemen, public hall ala Barat. Integritas kultur Islam dan way of life Islam terpecah-pecah dalam individu diri mereka, di pikiran mereka dan dalam sikap mereka.

Oleh karena hal tersebut pula faktor anti barat menjadi akar yang kuat dalam mendorong lahirnya sikap radikal. Radikalisme agama yang tidak jarang kemudian melahirkan aktifitas kekerasan dan terorisme pada umumnya merupakan respons dan perlawanan terhadap kebijakan Amerika dan sekutunya terhadap kezaliman yang terjadi di negara-negara Islam. Menurut kelompok ISIS ini kebijakan Amerika dan sekutunya yang mengobarkan perang global melawan terorisme dipahami sebagai perang melawan umat Islam secara global. Pada akhirnya sikap keras Amerika dan sekutunya dalam menjalankan agenda perang melawan terorisme menjadi penyebab semakin radikalnya kelompok ini[15].

  1. Inti malaise pada dunia pendidikan

Menurut al-Faruqi keadaan pendidikan di dunia Islam pada masa kini telah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan westernisasi dan sekularisasi. Meskipun westernisasi dan sekularisasi telah dilaksanakan dengan sistem yang tidak sesuai dengan Islam, hasil yang dicapai  bukanlah sistem pendidikan model Barat, tetapi hanya sebuah karikatur saja. Hal tersebut disebabkan karena pendidikan di dunia Islam tidak memiliki ketajaman wawasan. Kepemimpinannya tidak memiliki ketajaman wawasan Barat karena terpaksa dan tidak memiliki wawasan Islam karena pilihannya, seperti profesor di Universitas Islam yang meraih doktor di sebuah Universitas Eropa. Dia mendapatkan pendidikan Barat dengan angka yang sedang, merasa cukup puas dan kembali ke negara asalnya dan mendapatkan posisi yang menguntungkan.

  1. Berbagai Respon Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Islamisasi ilmu pengetahuan ini menuai berbagai respon dari beberapa kalangan pemikir yaitu:

  1. Ziauddin Sardar a paradigm option

Ziauddin Sardar mengkritik konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dari al-Faruqi, ia juga melakukan rekonstruksi terhadap konsep tersebut dengan menggunakan terminologi sains Islam. Kritik Sardar diarahkan pada pendapat adanya relevansi antara sains Islam dan sains Barat. Ia tidak setuju dengan al-Faruqi yang menyatakan perlunya penguasaan terhadap sains Barat terlebih dahulu untuk menguasai sains Islam. Sardar menjelaskan bahwa “Semua ilmu dilahirkan dari pandangan tertentu dan dari segi hirarki tunduk kepada pandangan tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk menemui epistemologi tidak boleh diawali dengan memberi tumpuan kepada ilmu modern, karena Islamisasi ilmu modern hanya bisa terjadi dengan membina paradigma yang mengkaji aplikasi luar peradaban Islam yang berhubungan dengan keperluan realitas kontemporer. Jika tetap bertahan pada corak berpikir seperti itu berarti hanya sebatas mengeksploitasi ilmu pengetahuan Islami namun tetap menggunakan corak berpikir Barat”[16].

Sardar memberikan solusi dengan mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan harus berangkat dari membangun epistemologi Islam sehingga hal ini bisa menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam.

Sardar menekankan perlunya penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer sebagai counter atas ilmu pengetahuan modern Barat. Yaitu, suatu sistem ilmu pengetahuan yang berpijak pada nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Nasr yang menggali kritiknya melalui perspektif kaum tradisional (perenial), Sardar dengan cerdas memanfaatkan kritik dari kalangan filosof dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, kaum pemikir environmentalist, bahkan kelompok radikal kiri di Barat yang marak semenjak tahun 1960-an. Kritiknya tersebut berujung kepada kenyataan ketidaknetralan ilmu pengetahuan modern dan besarnya pengaruh budaya Barat modern dalam bentuk ilmu pengetahuan serta dampak-dampaknya.

Karena itu, menurut Sardar, yang diperlukan adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke tingkat epistemologi dan pengisian pandangan dunianya dengan nilai-nilai Islam agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam yang lebih sesuai dengan kebutuhan fisik dan spiritual umat Islam. Sardar menyebut usahanya ini dengan “kontemporerisasi ilmu pengetahuan Islam.” Nilai-nilai yang dijadikan pijakan epistemologi oleh Sardar adalah sepuluh nilai, yaitu tawhīd, khilāfah, ‘ibādah, ‘ilm, halāl, harām, ‘adl vs zulm, istishlāh vs dhiyā’[17]. Kesepuluh rumusan nilai ini dapat diletakkan sebagai basis untuk menilai apakah program-program riset dan teknik masuk dalam kategori islamic science atau tidak. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan dapat diajukan apakah hasil dari program tersebut menjadi ukuran bagi keadilan sosial ataukah memperkuat dan memunculkan suatu bentuk tirani; apakah ia membawa kepada penghormatan kepada kekhalifahan manusia berkenaan dengan dunia alam; dan apakah membawa kepada kesejahteraan manusia atau kesia-siaan[18].

  1. Ja’far Syekh Idris

Konsep Islamisasi Pengetahuan yang dicanangkan Isma’il Raji Al-Faruqi mempunyai pengaruh besar kepada para intelektual muslim lain salah satunya adalah Ja’far Syaikh Idris dari Sudi Arabia. Ja’far Syekh Idris mengajak para cendikiawan muslim untuk memasukan ajaran Islam ke dalam ranah studi dan karya akademis mereka dalam rangka melakukan perombakan ilmu sosial Islam. Ia  mengajukan lima pertanyaan sebagai panduan untuk menuju ke arah Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut.

  • Apakah makna mengIslamkan Ilmu?

Mengislamkan ilmu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin di bawah kerangka Islam, berarti membuat teori-teori, metode-metode, prinsip-prinsip, dan tujuan-tujuan yang sesuai dengan Keesaan Allah, Keesaan Alam Semesta, Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, Kesatuan hidup dan Kesatuan umat manusia.

  • Apakah ilmu pengetahuan itu bersifat “mungkin”?

Ilmu pengetahuan objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji. Ilmu pengetahuan yang mungkin untuk di Islamisasikan. Karena tidak mungkin kita mengislamkan agama kristen.

  • Apakah semua ilmu pengetahuan itu dipelajari atau sebagiannya bawaan sejak lahir?

Jika ilmu tersebut adalah innate maka tidak dapat diislamkan sebaliknya jika dipelajari maka mungkin untuk diislamkan.

  • Apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan itu?

Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islampun telah mengatur dan menggariskan kepada ummatnya agar mereka menjadi ummat yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal) dan agar mereka tidak salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya sebagai berikut: Al-Qur’an dan Sunnah, Alam semesta, Diri manusia dan Sejarah.

  • Apakah metode ilmiah itu?

Persoalan metodologi dalam sains Islam secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir kognisi manusia yang berkaitan dengan persoalan tujuan rohaniah manusia. Itu berarti harus ada pendasaran pada gagasan keesaan (tauhid) yang berasal dari pandangan Al-Quran dan Al-Hadits.

Kelima pertanyaan tersebut memandu para akademisi muslim ketika mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan mereka harus mampu menjawabnya dengan terlibat secara proaktif dalam penelitian-penelitian ilmiah.

 

  1. Kuntowijoyo: a Islamic application

Salah satu bukunya yang berjudul Islam sebagai Ilmu memuat kritik membangun terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan. Baginya tidak semua entitas dalam pengetahuan Islam bisa diIslamikan. Metode, teknologi, kesenian, dan ilmu yang benar-benar objektif, seperti kimia tidak bisa diIslamkan[19]. Lebih jauh lagi, kritik Kuntowijoyo mengarah pada usaha untuk meninggalkan Islamisasi pengetahuan, dalam ungkapan awalnya dalam buku Islam sebagai Ilmu dengan mengatakan bahwa :

”...Saya tidak lagi memakai ‘Islamisasi pengetahuan’, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti ‘Islamisasi pengetahuan’ menjadi ‘pengilmuan Islam’. Dari reaktif menjadi proaktif....’Pengilmuan Islam’ adalah proses, ‘Paradigma Islam’ adalah hasil, sedangkan ‘Islam sebagai ilmu’ adalah proses dan hasil sekaligus...”[20]

Menurutnya, konsep Islamisasi pengetahuan bergerak dari konteks ke teks, yaitu dari realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah dihadapkan pada teks al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu konsep ini tidak bergerak menuju wilayah praksis (realitas), tapi hanya menggurita di ranah teoritis (teks al-Quran dan Sunnah). Sebaliknya, umat Islam perlu melakukan “pengilmuan Islam” yang bergerak dari teks ke konteks, yaitu dari teks al-Quran dan Sunnah ke realitas[21].

Pergantian Islamisasi pengetahuan’ menjadi ‘pengilmuan Islam’ menurut penyusun tidak tepat, karena Islam itu adalah suatu kebenaran yang mutlak, sedangkan ilmu hanya bagian yang nisbi. Maka, sesuatu yang bersifat nisbi tidak bisa menduduki suatu kebenaran yang sudah mutlak. Jika hal itu dilakukan, maka sama halnya dengan menjadikan Islam sebagai bagian yang nisbi. Konsep Islamisasi pengetahuan juga idealnya mempunyai dua arah teks ke konteks dan sebaliknya.

  1. Fazlun Rahman

Fazlur Rahman menyatakan “ilmu pengetahuan tidak bisa di Islamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya[22].

Pemikiran Fazlur Rahman bertentangan dengan apa yang diungkapkan Aristoteles, menurut Aristoteles ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Karena berasal dari pemikiran manusia, mungkin saja ilmu pengetahuan tersebut salah terutama pengetahuan rasional Praktike (pengetahuan praktis) dan Poietike (pengetahuan produktif) kecuali Theoreitike (pengetahuan teoritis). Theoritike atau pengetahuan teoritis oleh Aristoteles dibedakan pula menjadi tiga kelompok dengan sebutan Mathematike (pengetahuan matematika), Physike (pengetahuan fisika) dan Prote philosophia (filsafat Pertama).

  1. Abdul Karim Soroush

Abdul Karim Soroush berargumen bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan tidak mungkin. Menurutnya, Islamisasi ilmu pengetahuan tidak masuk akal karena tidak ada realitas yang Islami dan tidak Islami. Sains adalah realitas yang netral. Secara ringkas Soroush menjelaskan bahwa[23];

  • Metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa di Islamkan. Karena pada dasarnya ada metode yang Islami dan ada metode yang tidak Islami.
  • Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa di Islamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa di Islamkan. Namun, kebenaran yang sejalan dengan Islam saja yang disebut kebenaran. Jika kebenaran tersebut tidak sejalan dengan Islam, maka tidak bisa disebut kebenaran.
  • Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh non-muslim.
  • Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diIslamkan

 

 

  1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Persoalan Metodologi
  2. Aplikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan agar tujuan-tujuan dari islamisasi ilmu pengetahuan dapat tercapai. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12 langkah yang secara kronologis harus diaplikasikan[24].

  1. Langkah 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern : Penguraian Kategoris

Pada langkah awal ini, disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metode, problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah buku daras (pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan. Hasil uraian tersebut harus berbentuk kalima-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problem dan tema pokok disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan.[25]

 

  1. Langkah 2. Survei Disiplin Ilmu

Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu modern harus disurvei dan ditulis dalam bentuk bagan (skema) mengenai asal-usul, perkembangan dan pertumbuhan metodologinya, keluasan cakupannya serta sumbangan pemikiran yang telah diberikan para tokoh utamanya. Bibliografi keterangan yang memadai dari karya-karya terpenting di bidang ini harus pula dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing disiplin[26]. Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pamahaman muslim terhadap berbagai disiplin ilmu modern yang berkembang di Barat, sehingga mereka benar-benar mengetahui secara detail dan menyeluruh tentang kekurangan dan kelebihan disiplin-disiplin ilmu tersebut.

 

  1. Langkah 3. Penguasaan Khasanah Islam

Pada tahap ini, perlu ditemukan sampai sejauh mana khazanah Islam menyentuh dan membahas objek disiplin ilmu modern tersebut. Tujuannya agar dapat ditemukan relevansi di antara khazanah barat dan Islam. Ini penting, karena banyak ilmuan muslim didikan barat tidak mengenal khazanah Islam sendiri, kemudian mengangap bahwa khazanah keilmuan Islam tidak membahas disiplin ilmu yang ditekuni. Padahal, yang terjadi adalah bahwa ia tidak mengenal kategori-kategori khazanah ilmiah Islam yang digunakan oleh ilmuan Muslim tradisional untuk mengklasifikasi objek disiplin ilmu yang ditekuninya.[27]

 

  1. Langkah 4. Penguasaan Khasanah Islam Tahap Analisa

Untuk dapat memahami cakupan wawasan Islam setiap katya perlu adanya analisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun, analisa ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas, dan yang paling penting adalah bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi, yakni tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansinya kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam[28].

Tahap ini bertujuan untuk untuk mengenal lebih jauh tentang konstruksi khazanah Islam dan mendekatkan karya-karya khazanah Islam kepada para sarjana didikan barat, sehingga diketahui secara lebih jelas jangkauan gagasannya.

  1. Langkah 5. Penentuan Relevansi Islam Yang Khas Terhadap Disiplin-Disiplin Ilmu

Pada tahap ini, hakekat disiplin ilmu modern beserta metode dasar, prinsip, problem, tujuan, hasil capaian dan segala keterbatasannya, semua dikaitkan dengan khazanah Islam. Begitu pula relevansi-relevansi khazanah Islam spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis dari sumbangan mereka.

Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dijawab. (1) Apa yang telah di sumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur`an hingga kaum modernis saat ini, kepada keseluruhan masalah yang dikaji disiplin-disiplin ilmu modern? (2) Seberapa besar sumbangan Islam tersebut dibanding ilmu-ilmu Barat? Sejauh mana tingkat pemenuhan, kekurangan serta kelebihan khazanah Islam dibanding wawasan dan lingkungan disiplin ilmu modern?. (3) Jika ada bidang masalah yang sedikit disentuh, atau bahkan di luar jangkauan khazanah Islam, ke arah mana ilmuan Islam harus mengisi kekurangan, merumuskan kembali permasalahannya dan memperluas cakrawala wawasan disiplin ilmu tersebut?[29]

 

  1. Langkah 6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern : Tingkat Perkembangannya Di Masa Kini

Setelah mendiskripsikan dan menganalisis berbagai sisi dan relevansi antara khazanah Islam dan Barat, sekarang melakukan analisa kritis terhadap masing-masing ilmu dilihat dari sudut Islam. Inilah langkah utama dalam Islamisasi ilmu. Di sini ada beberapa hal yang harus dijawab. Benarkah disiplin ilmu tersebut telah memenuhi visi pelopornya? Benarkah ini telah merealisasikan peranannya dalam upaya mencari kebenaran? Sudahkah disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan manusia dalam tujuan hidupnya? Sudahkah ilmu tersebut mendukung pemahaman dan perkembangan pola ciptaan Ilahi yang harus direalisasikan? Jawaban atas berbagai persoalan ini harus terkumpul dalam bentuk laporan mengenai tingkat perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari perspektif Islam[30]. Jawaban-jawaban harus terkumpul dan di pecahkan dengan perbaikan, penambahan, perubahan atau penghapusan Islami.

 

  1. Langkah 7. Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam : Tingkat Perkembangannya Dewasa Ini

Yang dimaksud khazanah Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Namun, ini tidak berarti bahwa kedua sumber tersebut harus menjadi objek kritik atau penilaian. Status ilahiah al Quran dan sifat normatif sunnah adalah ajang yang tidak diperdebatkan. Akan tetapi, interpretasi muslim terhadap keduanya yang historis kontekstual boleh dipertanyakan, bahkan harus selalu dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip dari kedua sumber pokok tersebut.

Relevansi pemahaman manusiawi tentang wahyu Ilahi diberbagai aspek persoalan manusia harus dikritik dari tiga sudut. (1) Wawasan Islam sejauh yang dapat ditarik dari sumber-sumber wahyu beserta bentuk kongkretnya dalam sejarah kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan keturunanya. (2) Kebutuhan umat manusia saat ini. (3) Semua disiplin ilmu modern yang diwakili oleh disiplin ilmu tersebut. Apabila khazanah Islam tidak relevan lagi, harus dilakukan koreksi terhadapnya dengan usaha-usaha yang sesuai masa kini. Sebaliknya, jika relevan, khazanah Islam perlu dikembangkan dan disosialisasikan.[31]

  1. Langkah 8. Survei Permasalahan Yang Dihadapi Umat Islam

Langkah berikutnya adalah mengadakan survei terhadap berbagai problem intern di segala bidang. Problem ekonomi, sosial dan politik yang sedang dihadapi dunia Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan gunung es dari kelesuhan moral dan intelektual yang terpendam. Untuk bisa mengidentifikasi semuanya dibutuhkan survei empiris dan analisa kritis secara konprehensif. Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu harus dimanfaatkan untuk memecahkan problem umat Islam. Tidak seorang muslimpun boleh membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan keinginan intelektulitasnya, lepas dari realitas, harapan dan aspirasi umat Islam.[32]

 

  1. Langkah 9. Survei Permasalahan Yang Dihadapi Umat Manusia

Sudah menjadi bagian dari wawasan dan visi Islam bahwa tanggung-jawabnya yang tidak terbatas pada kesejahteraan umat Islam saja, tetapi juga menyangkut kesejahteraan seluruh umat manusia di dunia dengan segala hiterogenitasnya, bahkan mencakup seluruh alam semesta (rahmat li al-alamin). Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa lain, tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam upaya proses integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika dan material.[33]

 

  1. Langkah 10. Analisa Kreatif Dan Sintesa

Setelah memahami dan menguasai semua disiplin ilmu modern dan disiplin keilmuan Islam tradisonal, menimbang kelebihan dan kelemahan masing-masing, setelah menentukan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin-disiplin ilmu modern, mengidentifikasi problem yang dihadapi umat Islam dalam lintasan sejarah sebagai hamba sekaligus khalifah, dan setelah memahami permasalahan yang dihadapi dunia, maka saatnya mencari lompatan kreatif untuk bangkit dan tampil sebagai protektor dan developer peradaban manusia.

Sintesa kreatif yang akurat harus dibuat di antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin ilmu-ilmu modern untuk dapat mendobrak stagnasi intelektual selama beberapa abad. Khazanah ilmu-ilmu Islam harus terkait dengan hasil-hasil ilmu modern dan harus mulai menggerakkan barisan depan pengetahuan sampai cakrawala lebih jauh dari apa yang bisa diprediksikan oleh ilmu modern. Sintesa kreatif ini harus mampu memberikan solusi tuntas bagi permasalahan dunia, di samping permasalahan yang muncul dari harapan Islam[34]. Apa harapan Islam di setiap bidang kehidupan, dan bagaimana sintesa baru tersebut menggerakan umat Islam maupun umat manusia ke arah terwujudnya harapan tersebut? Jika diketahui relevansi ilmuilmu Islam untuk topik tertentu dan setelah diketahui pula ciri khas permasalahan yang dihadapi, pilihan mana yang harus diambil? Apa kriteria yang digunakan bahwa Islam relevan dengan persoalan yang dihadapi? Bagaimana metodenya? Bagaimana tata kerjanya, alat evaluasi dan pertanggung-jawaban atas teorinya?[35]

 

  1. Langkah 11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam Kerangka Islam

Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah.

Berdasarkan wawasan-wawasan baru tentang makna Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna tersebut, maka ditulislah buku-buku daras untuk perguruan tinggi, dalam semua bidang ilmu. Inilah puncak dari gerakan islamisasi pengetahuan. Namun, penulisan buku-buku daras ini sendiri bukan pencapaian final, melainkan justru baru sebagai permulaan dari sebuah perkembangan peradaban Islam dimasa depan. Buku-buku daras hanya sebagai pedoman umum bagi perkembangan selanjutnya. Karena itu, essei-essei yang mencerminkan dobrakan pandangan bagi setiap topik dan cabang ilmu harus pula ditulis sebagai “wawasan latar belakang” atau “bidang relevansi” yang dari sana diharapkan akan muncul wawasan baru Islam bagi masing-masing cabang ilmu modern.

 

  1. Langkah 12. Penyebaran ilmu-ilmu yang telah diislamiskan.

Adalah suatu kesiasiaan apabila karya-karya yang berharga tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu atau dalam kalangan terbatas. Maka yang pertama, sudah seharusnya karya yang dibuat berdasarkan Lillahi Ta’ala adalah menjadi milik seluruh umat Islam. Yang kedua, karena produk itu dihasilkan demi Allah SWT dan membawa wawasan Islam, maka tentu saja yang diharapkan lebih dari sekedar memberikan informasi. Membuat pembaca menjadi alat untuk maju dan berjaya dengan nama Allah SWT mencapai apa yang belum dicapai umat Islam.  Yang ketiga, digarapkan hasil dari rencana kerja disajikan disemua perguruan tinggi Muslim dunia sebagai bacaan wajib di fakultas yang sesuai.

Selain itu, alat-alat bantu untuk mempercepat program Islamisasi ilmu pengetahuan, pertama, perlu sering dilakukan seminar dan konferensi yang melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan disekitar pengkotaan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas, maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan sekitar praanggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori, prinsip dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut. Selain itu, dalam pertemuan tersebut harus pula dijajaki sekitar persoalan metode pengajaran yang diperlukan untuk memahami buku-buku yang dimaksud, sehingga para staf pengajar dapat terbantu dalam upayanya mencapai tujuan akhir secara lebih efisien.[36]

Bagan : 12 Langkah Islamisasi Ilmu Faruqi

Sumber : Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. (Bagan  Diolah)

 

Penguasaan Disiplin Ilmu Modern (1)

Analisa & Sintesa (10)

Khazanah Islam dengan Ilmu Modern

Penilaian Atas Khazanah Islam (7)

Survei Masalah-Masalah Umat Manusia (9)

Survei Disipliner (2)

Analisa terhadap Khasanah Islam (4)

Menentukan Relevansi Islam Untuk (5) Untuk Disiplin-Disiplin Ilmu Modern

Perumusan & Penulisan Kembali Disiplin

Buku-Buku Teks (11)

Penyebaran Pengetahuan

yang sudah diislamisasikan (12)

Survei Masalah-Masalah Umat Islam (8)

Penilaian Terhadap Disiplin Ilmu Modern (6)

Penguasaan Khasanah Ilmu Keislaman (3)

 

 

  1. Pola-Pola Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Untuk merealisasikan gagasannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi meletakkan pola pemikiran fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid. Al-Faruqi menegaskan bahwa prinsip tauhid harus menjadi landasan atau fondasi utama dalam upaya pengembangan ilmu dalam Islam yang terdiri lima macam kesatuan.

  1. Keesaan Allah

Keesaan Allah, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara semesta. Penyebab yang pertama dan terakhir dari segala sesuatu.

  1. Kesatuan Alam Semesta

 Kesatuan ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis, spasial (ruang), biologis, sosial maupun estetis, adalah kesatuan yang integral. Masing-masing saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun, bersamaan dengan itu, Dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga mereka bisa mengubah polanya dan mendayagunakannya demi kesejahtaraan umat[37].

  1. Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan

Kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan, maka kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karena Dialah yang menciptakan keduanya. Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai berikut, (1) bahwa berdasarkan wahyu, kita tidak boleh membuat klaim yang paradoksal dengan realitas. Pernyataan yang diajarkan wahyu pasti benar dan harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi perbedaan atau bahkan pertentangan antara temuan sainsdan wahyu, seorang muslim harus mempertimbangkan kembali pemahamannya atas teks atau mengkaji ulang data-data penelitiannya. (2) Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara nalar dan wahyu, berarti tidak ada satupun kontradiksi, perbedaan, atau variasi antara realitas dan wahyu yang tidak terpecahkan. (3) Bahwa pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tidak akan pernah berakhir, karena pola-pola Tuhan tidak terhingga.

  1. Kesatuan Hidup

Menurut Faruqi, kesatuan hidup terdiri dari tiga yaitu (1) Amanah Tuhan, berupa hukum alam (sunnatullah) dengan segala regularitasnya yang memungkinkan diteliti dan diamati, materi; (2) khilafah, berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada dan seirama dalam kepribadian seorang muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani; (3) Syari’ah, hubungan islam dengan aspek kehidupan.[38]

  1. Kesatuan Manusia

Tata sosial Islam, menurut Faruqi, adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim tidak disebut bangsa, suku atau kaum melainkan umat. Pengertian umat bersifat trans lokal dan tidak ditentukan oleh pertimbangan geografis, ekologis, etnis, warna kulit, kultur dan lainnya, tetapi hanya dilihat dari sisi taqwanya. Meski demikian, Islam tidak menolak adanya klasifikasi dan stratifikasi natural manusia ke dalam suku, bangsa dan ras sebagai potensiyang dikehendaki Tuhan. Yang ditolak dan dikutuk Islam adalah faham ethnosentrisme, karena hal ini akan mendorong penetapan hukum, bahwa kebaikan dan kejahatan hanya berdasarkan ethnisnya sendiri, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar[39].

Sebagai penggagas utama ide Islamisasi ilmu pengetahuan, Al-Faruqi memberikan gambaran tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja Islamisasi ilmu, yaitu:

  1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
  2. Penguasaan khazanah Islam.
  3. Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu.
  4. Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu-ilmu modern.
  5. Mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rancana Allah swt[40].

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Jurnal, Buku, Makalah.

Abdurrahman Wahid, Islam Sebagai Moral Bukan Institusi, Jurmal Prisma No.2-1995.

Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Dr. Kh. Ma’ruf Amin. Isis: Gerakan Kekhalifahan Islam Global Dan Tantangan Bagi Nkri Dan Islam Rahmatan Lil’alamin. Makalah “Seminar Nasional Fenomena Isis Bagi Nkri Dan Islam Rahmatan Lil’alamin”.

Glyn Ford, 1984, “Rebirth of Islamic Science”, dalam Sardar (ed), The Touch of Midas.

Kuntowijoyo. 2005. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta Selatan: Teraju.

Munawir Syadzali, 1993, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta : UI Press.

Nata, Abuddin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Sardar, “Why Islam Needs Islamic Science”, New Scientist, Vol. 94, 1982.

Ziauddin Sardar. 2000. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Web

http://cecengsalamudin.wordpress.com/2010/07/20/islamisasi-ilmu-pengetahuan/#_ftn34 diakses pada tanggal 12 September 2014.

http://kbbi.web.id/Islamisasi diakses pada tanggal 12 September 2014.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1663/1/arab-rahimah.pdf diakses pada tanggal 20 September 2014.

 

[1] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surah Ar-Ra’d (13) Ayat 11

[2] http://kbbi.web.id/Islamisasi

[3] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1663/1/arab-rahimah.pdf

[4] Nata, Abuddin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, hlm. 151

[5]Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 11-14

[6] Ibid, hlm. 4.

[7] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka, hlm.5

[8] Abdurrahman Wahid, Islam Sebagai Moral Bukan Institusi, dalam Jurmal Prisma No.2-1995, hlm 67

[9] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : UI Press 1993. Hlm 166

[10] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka, hlm. 6

[11] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka, hlm. 6

[12] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm.8

[13] Ibid, hlm. 9

[14] Dr. Kh. Ma’ruf Amin. Isis: Gerakan Kekhalifahan Islam Global Dan Tantangan Bagi Nkri Dan Islam Rahmatan Lil’alamin. Makalah “Seminar Nasional Fenomena Isis Bagi Nkri Dan Islam Rahmatan Lil’alamin”. Hlm 2

[15] Dr. Kh. Ma’ruf Amin. Isis: Gerakan Kekhalifahan Islam Global Dan Tantangan Bagi Nkri Dan Islam Rahmatan Lil’alamin. Makalah “Seminar Nasional Fenomena Isis Bagi Nkri Dan Islam Rahmatan Lil’alamin”. Hlm 3

[16] Ziauddin Sardar,. 2000. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, , cet. 1, hlm. 22.

[17] Sardar, “Why Islam Needs Islamic Science”, New Scientist, Vol. 94, 1982, hlm. 25-8

[18] Glyn Ford, “Rebirth of Islamic Science”, dalam Sardar (ed), The Touch of Midas…., 1984, hlm. 36

[19] Kuntowijoyo. 2005. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta Selatan: Teraju. hlm. 8-9

[20] Ibid, hlm. vi

[21] Kuntowijoyo. 2005. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta Selatan: Teraju. hlm. 1

[22] http://cecengsalamudin.wordpress.com/2010/07/20/islamisasi-ilmu-pengetahuan/#_ftn34

[23] ibid

[24] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 99

[25] Ibid. hlm, 99.

[26] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka, hlm.100

[27] Ibid. hlm 101

[28] Ibid. hlm, 104

[29] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 105

[30] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 107.

[31] Ibid. hlm, 108.

[32] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 110.

[33] Ibid. hlm, 111.

[34] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 112.

[35] Ibid. hlm, 113.

[36] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 118.

[37] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 58.

[38] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm72

[39] Ibid, hlm 95

[40] Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Pustaka. hlm 98

 

*Mahasiswi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syariah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun