"Enak tidaknya sebuah pernikahan bukan disebabkan oleh situasi dan kondisi; tua-muda, kaya-miskin, ganteng- cantik dll, namun ditentukan bagaimana Anda menjalaninya"Â Sri Hartono
Pernahkan Anda ngomong atau mendapat omongan; Sudah tua kok anaknya masih kecil kecil. Kayak momong cucu saja.. ?Â
Kalau saya sih sering mendengarnya.Â
Ada yang bernada mengejek, ada yang mengasihani, sebagian lagi cuma bercanda.Â
Saat ini saya berusia 53 tahun, istri lebih muda 4 tahun. Umur anak sulung 13 tahun lebih dan si bungsu menjelang 10 tahun. Saya menikah ketika berumur 38 tahun. Cukup tua untuk kebanyakan  pasangan Indonesia.Â
Anak sulung lahir ketika saya berumur 40 tahun. Sedangkan si bungsu hadir saat saya menginjak 43 tahun. Anak pertama cewek dan adiknya cowok. Lengkap sudah keluarga saya.Â
Kondisi saya saat ini kepala mulai botak, rambut banyak yang memutih. Wajar jika orang melihat saya sudah seperti kakek kakek. Orang sering mengira anak anak adalah cucu saya.Â
Karenanya, ketika saya beritahu bahwa kedua kakak beradik itu adalah anak saya, maka kalimat diatas sering diucapkan.Â
Saya lebih sering tersenyum saja mendengarnya. Orang orang itu tidak tahu, betapa saya menikmati kehidupan dengan kondisi yang seperti itu.
Nah, ini nikmatnya menikah tua.Â
1. Puas momong anak karena seperti momong cucu
Banyak aki nini yang mengeluh karena tidak bisa momong cucunya. Entah karena jauh di luar kota, entah pula karena sang cucu tidak pernah diajak main ke rumah walau sebenarnya rumah mereka dekat.
Saya bisa selalu berdekatan dengan anak yang se-usia cucu. Tiap hari saya masih bisa memeluknya baik ketika tidur atau sedang bersantai.Â
Karena saya senang memeluk, maka saya puas puaskan betul mendekap anak. Saya elus rambutnya, cium bau keringatnya yang khas anak anak.Â
Ada perasaan sayang dan gemas. Saking gemasnya, kadang saya guncang guncang tubuhnya atau mengusap usap kepalanya agak keras. Suka memeluk berlaku untuk si bungsu yang laki laki.Â
Saya setiap hari melakukan hal diatas. Momen itu juga kami gunakan saling bercerita. Kami bercerita apa saja.Â
Si bungsu senang memperlihatkan game yang dimainkannya di smartphone dan video lucu yang dia tonton. Dia juga sering menceritakan teman teman sekolahnya.Â
Anak sulung yang cewek sudah menginjak remaja. Dia sudah punya dunia sendiri. Jika dulu anak cewek ini masih sering ikut kumpul diruang tamu, sekarang sudah jarang. Selain sibuk dengan sekolahnya, dia juga lebih suka berkumpul dengan para bestienya. Makanya dia tidak pernah saya peluk lagi tetapi hanya mengusap rambutnya.Â
Sebagai gantinya saya senang menggoda dia soal apa saja. Kadang hobi, kadang pertemanan lebih sering ke penampilannya yang mulai remaja banget.Â
Saya tidak terlalu kuatir dengan polah tingkahnya. Kami sudah banyak berbincang soal dia dan kehidupannya.Â
Kedua anak kami memang dibiasakan bercerita. Hal ini memudahkan saya dan istri mengetahui kejadian yang mereka alami. Dari situlah kami bisa membekali banyak hal agar kehidupan kedua anak kami berjalan baik.Â
Mumpung kedua anak masih tinggal bersama, saya menikmati betul kebersamaan ini.Â
- 2. Bekal berkeluarga sudah cukup.Â
Kata orang; menjadi orang tua itu tidak ada sekolahnya. Saya setengah setuju dengan anggapan tersebut.Â
Setengah setuju karena banyak orang ketika menjadi orang tua berjalan apa adanya. Mereka mengikuti insting atau intuisi, belajar dari pengalaman.Â
Setengah setujunya lagi karena menjadi orang tua juga bisa dipersiapkan.Â
Saat anak anak kami lahir, saya dan istri sudah mempersiapkan mental, Â pikiran dan ketrampilan.Â
Melalui buku, internet, pelatihan dan belajar dari pengalaman orang lain, kami berdua sudah siap berkeluarga termasuk menyongsong kelahiran anak.Â
Saya tidak panik ketika istri ada tanda tanda akan melahirkan. Kami sudah menyiapkan tas yang berisi segala keperluan menjelang kelahiran anak. Tujuannya ketika istri mengalami tanda akan melahirkan, saya tinggal panggil taksi lalu meluncur ke rumah sakit yang sudah kami pilih.Â
Tiga bulan sebelumnya kami sudah berkeliling ke beberapa rumah sakit. Kami akan memilih salah satu dengan pertimbangan pelayanan, jarak, biaya, fasilitas dan dokternya.Â
Makanya ketika istri tiba waktunya melahirkan, kami tenang tenang saja. Tidak ada kepanikan, bahkan saat istri harus operasi cesar. Saya sudah siap mental karena tahu operasi cesar adalah kondisi yang sering terjadi dan aman aman saja.Â
Kejadian diatas adalah salah satu contoh bagaimana kami mempersipkan diri menjadi orang tua. Bukan dari intuisi atau instink namun dari pembelajaran.Â
Demikian pula ketika kami harus membesarkan anak.
Beruntung saya dan istri bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan yang berfokus pada anak. Jadi untuk urusan momong anak, dari mulai anak hingga SMA, kami sudah melakukannya.Â
Setiap fase pertumbuhan anak membutuhkan penanganan yang berbeda. Tidak mudah untuk menjalaninya. Walaupun sudah sering mendampingi anak, kami tetap harus terus menerus belajar untuk menjadi orang tua yang baik.Â
Memperbarui pengetahuan dan ketrampilan adalah sebuah kewajiban. Dan semua itu bisa dilakukan baik dipelajari maupun belajar dari pengalaman. Karena menikah sudah cukup umur, kami punya cukup bekalnya.Â
3. Cukup pengetahuan mengelola ekonomi keluarga
Banyak perpisahan rumah tangga yang terjadi karena masalah ekokomi.Â
Jangan salah, masalah ekonomi bukan hanya karena ekonomi lemah namun banyak pula justru karena sebuah keluarga sudah meningkat.Â
Menjadi keluarga miskin memang rentan terjadi perpisahan. Siapa yang kuat jika untuk makan sehari hari saja sulit, apalagi untuk mengakses hiburan.Â
Namun menjadi kaya juga bertambah godaanya. Seringkali orang kaya ingin lebih dari pada yang dia miliki. Ada sebuah pepatah yang bisa mewakilinya " Punya istri satu cukup, namun punya dua malahan kurang".Â
Kalimat diatas untuk menggambarkan bahwa betapa manusia punya sifat serakah. Tidak hanya harta, pasangan juga ingin lebih dari satu. Tidak tahan godaan, perpisahan lah ancamannya.Â
Saya dan istri bukan orang berada. Menjadi pekerja sosial adalah profesi yang tidak menjanjikan kekayaan. Kami berdua memang tidak terlalu memikirkan soal harta. Kadang kami kekurangan uang, namun lebih sering cukup.Â
Menjadi tukang ojol maupun jualan bubur ayam membuat rejeki saya tidak menentu. Walaupun istri juga berjualan snack, namun kadang pengeluaran kebih besar dari pendapatan.Â
Kondisi itulah malahan membuat kami saling memahami. Walaupun penghasilannya tidak banyak, saya tetap mau bekerja keras. Hal ini yang membuat istri mengerti bahwa saya adalah tipe orang yang bertanggung jawab. Saya juga paham dan bersyukur istri saya menerima apa adanya. Dia adalah tipe wanita yang tidak banyak menuntut.Â
Walaupun berekonomi pas pasan, kami tetap berusaha membekali anak anak dengan berbagai hal. Tentunya dengan biaya seminim mungkin.Â
Untunglah kehidupan sosial kami cukup baik. Banyak relasi yang bisa dimanfaatkan. Tidak melulu untuk manfaat keuangan namun kerjasama yang dilakukan bisa mengurangi pengeluaran.Â
Si sulung sedang belajar bahasa Jepang gratis dari seorang gadis Jepang, teman kami. Mereka barter pengetahuan bahasa. Anak kami belajar bahasa Jepang, si nona  belajar bahasa Indonesia.Â
Tahun depan giliran dia memperdalam bahasa Inggrisnya. Saya akan mencarikan seorang native speaker sebagai pembimbingnya, tentu yang gratis pula.Â
Anak pertama kami juga mendapat ketrampilan membuat anime dan berbahasa Inggris via Smartphonenya. Ketika seorang anak diajari menggunakan gawai secara bijak maka dia bisa memanfaatkan isinya untuk kepentingan masa depan.
Si bungsu sering diajak ke warung saya maupun istri. Dia bisa melihat bagaimana kedua orang tuanya bekerja. Tampaknya cowok 9 tahun ini punya bakat usaha. Di beberapa kesempatan dia mulai bisa berpikir tentang bagaimana menjual sesuatu. Dengan mengajak dia ke tempat usaha, kami berharap insting wiraswastanya bisa diasah.Â
4. Sudah cukup puas bersenang senang.Â
Saya dan istri punya kesenangan yang hampir sama; traveling, nonton bioskop, makan enak, hang out bersama teman teman. Semua itu sudah banyak kami lakukan saat masih muda.
Saat sudah menikah dan belum punya anak, kami berdua juga masih sering melakukannya. Bersenang senang memang tidak ada habis, namun rasanya kami sudah cukup. Kesenangan pribadi sudah bisa dikesampingkan.Â
Kemudian anak anak lahir.
Kami acapkali mengajak mereka piknik atau sekedar main. Kali ini tujuannya sedikit berbeda. Selain bersenang senang, saya dan istri juga melakukan edukasi kepada anak anak. Sekali dayung, dua tiga pulau dilalui.Â
Selama piknik atau bepergian, kami banyak mengajari mereka tentang segala sesuatu yang dilalui dan dilihat. Efek positif lain yang didapat adalah bersosialisasi.
Anak anak bertemu dengan banyak orang baru. Ada etika yang harus dijalankan. Hal tersebut bisa diketahui, dipelajari dan dijalankan ketika mereka keluar dari lingkungan rumah. Ini pendidikan gratis, tak perlu belajar khusus.Â
Kegiatan tersebut kami lakukan tanpa ada jadwalnya. Kadang terencana kadang pergi begitu saja. Karena keuangan terbatas, kami harus pandai pandai mengatur strategi agar tujuan bersenang senang dan edukasi bisa dicapai.Â
Ternyata edukasi seperti itu punya banyak manfaat. Selain mendapat pengetahuan dan ketrampilan, anak kami juga menjadi anak yang pengertian. Mereka tidak banyak menuntut.
Saya dan istri sudah cukup puas bersenang senang, kini giliran anak anak kami mengalaminya.Â
5. Lebih mudah mengelola konflik.Â
Dalam berumah tangga pasti ada konflik. Beda penanganan beda pula hasilnya.Â
Banyak kejadian yang berujung perceraian dialami saudara, teman, tetangga dan kader kader binaan kami.
Semua biasanya berawal dari konflik yang tidak terselesaikan dengan baik. Makin lama makin menumpuk, ketika meletus berakhir dengan perpisahan.
Kejadian diatas menjadi pelajaran untuk kami. Karena sering mendampingi konflik kami cukup dewasa untuk mengelola perbedaan yang terjadi.Â
Perselisihan tentu saja masih terjadi. Umpamanya saya suka bubur dicampur sementara istri lebih senang yang dipisah, perbedaan itu bisa memicu pertengkaran. Anggap saja hal tersebut bumbu rumah tangga.Â
Masih ada hal lain yang lebih enak ketika menikah tua. Masalah seks, hubungan kekerabatan, hubungan sosial dll. Kami lebih mudah menjalaninya karena sudah dewasa.Â
Bagi Anda yang merasa galau dan bimbang untuk menikah karena merasa sudah tua, pengalaman kami mungkin bisa menjadi referensi.Â
Salatiga, 11102023.178
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H