Dalam catatan sejarah, khususnya konflik panjang yang hadir di wacana pasang-surut perebutan wilayah kemaritiman Laut China Selatan, RRT (Republik Rakyat Tiongkok) menempati posisi paling atas sebagai tokoh sentral. Dibarengi Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina, sebagai peran-peran pendukung konfrontasi.Â
Sedang Indonesia tersendiri terkait dalam hal ini--berdasarkan aspek kualifikasi dan indikasi dari bundaran kisah pertikaian--nahasnya, mendapatkan peran utama namun sebagai tokoh yang tertindas meski rada halus dalam konteks pertahanan penuh keterpaksaan sebab pengekangan tidak berdasar hukum-hukum yang jelas. Seperti membuang-buang waktu, Indonesia tetap harus meladeni setiap rincian persoalan yang menghadapkan NKRI sebagai tergugat luar persidangan.Â
Mau tak mau, dominasi hukum alam yang notabennya liar bahkan nyaris tanpa obsesi adu pendapat, menggiring Indonesia kepada rumitnya titik penyelesaian setelah terjebak secara sadar berabad-abad sejak kisah para pejuang negeri Merah Putih baru saja mengumandangkan kemerdekaan bangsa. Konflik kemaritiman NKRI-RRT menambah pekerjaan rumah bagi negara Indonesia tersendiri yang bahkan belum berlabel maju ini. Entitasnya, permasalahan demi permasalahan yang hadir mempersulit kemajuan negeri.
Sebut saja pembentukan peta perairan sepihak oleh RRT (1947) dan ketetapan UNCLOS (1982) perihal batas-batas kemaritiman yang dibantah mentah oleh pihak RRT pula. Dari sejumlah konflik antara Indonesia dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok)--termasuk yang tidak disebutkan di atas--umumnya aksi-aksi yang demikian itu telah mencederai hukum internasional, melukai hak-hak kebebasan, mematikan kedaulatan secara perlahan.Â
Ada yang hanya sebuah kode, transparan memicu bom waktu, juga tak jarang menghadirkan perselisihan argumen maupun agresi militer. Namun, hal-hal demikian memiliki satu buah kesamaan konsep terukur; pengklaiman sepihak atas keyakinan personal berlatar belakang pertahanan kawasan kemaritiman.Â
Singkatnya, kita ditawarkan gaya dan watak penokohan RRT yang tergambarkan sebagai negara prominen berani dan kuat serta memiliki kedisiplinan tinggi dalam pengelolaan sistem ketatanegaraan. Akan tetapi, sifat minim menghargai terhadap negara lain--semisal konflik maritim dengan Indonesia yang tengah dibahas ini--menjadikan wajah gagah RRT tercoreng topeng ketamakan yang lama-kelamaan melekat, berubah ke arah karakter dan kebiasaan berkelanjutan. Yang entah mengapa, konsep pemerintahan RRT semacam ini justru diadopsi dan dipelihara.
Semesta Laut China Selatan telah menghadirkan RRT sebagai tokoh utama yang penuh ambisi dengan berbagai problematika yang mengelilingi--baik sebab maupun akibat dari uji konflik beralas daya tahan jati diri negeri. Di tulisan ini, kita akan mengulik lebih spesifik tentang bagaimana selisih bermajas elipsis Tiongkok dengan Indonesia secara personal hingga mengarahkan LCS kepada wacana kuburan tanpa dasar atas kedaulatan NKRI.
Merujuk pada konflik, sebelum membahasnya lebih jauh, adapun kita perlu menyelidiki bagaimana struktur naratif genetika Laut China Selatan dan elemen unggul yang disuguhkannya sehingga memicu perebutan antarnegara. Karena pada hakikatnya, setiap aspek yang terletak pada bagian inti, biasanya memiliki nilai lebih dari sekelilingnya. Untuk melacak detail keistimewaan tersebut, kita butuh dukungan dari catatan berkerak sejarah segala lini yang memadai. Sebab sebaiknya kita tidak melihat berdasarkan argumen sepihak, wacana--sebuah persoalan lebih-lebihnya--tidak hadir secara kebetulan apalagi serampangan.
Perkenalan
Laut China Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km2. Karena letaknya yang strategis akan tempat lalu-lalang perlintasan laut, rata-rata logistik dunia dikelola di sini. Dan faktanya, Laut China Selatan juga jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.
Dikutip dari CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan LCS pada 2016 saja mencapai US$3,37 triliun. Selain itu, Laut China Selatan memiliki cadangan minyak bumi sebesar 1,2 km3 (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km3 (28 miliar barel). Sedangkan cadangan gas alamnya sekitar 7.500 km3 (266 triliun kaki kubik). Ditambah laporan dari U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak menjadi 11 miliar barel.
Lebih dari pada itu, Laut China Selatan juga memiliki 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Meski sebagian besar pulau tidak berpenghuni bahkan ada pula yang tenggelam, keragaman biota laut yang memenuhi pedalaman perairan di wilayah LCS menjadi daya tarik tertinggi di antara pulau-pulau yang berkeliling pada daerah kemaritiman ini. Berdasarkan kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati laut dunia.
Sampai di sini, kita bisa melihat bagaimana keindahan dan kekayaan yang dimiliki LCS kemudian membangun rasa keinginan banyak pihak untuk memilikinya. Selain itu, terkhusus pada kubu RRT, kita sama-sama tahu ada niat tersembunyi yang menjadi tolak ukur mereka menggaungkan berbagai teknik perampasan bertembok pertahanan. Wajah asli Tiongkok yang seperti apa sesungguhnya, untuk mengetahui itu kita perlu mengulik lebih dalam.
Mengesampingkan RRT sejenak, yang perlu digarisbawahi adalah posisi NKRI yang tidak menuntut klaim atas LCS. Seperti yang diungkapkan Guru Besar Departemen Hubungan Internasional, Profesor Dr. Makarim Wibisono pada Rabu (8/6/2016) lewat forum diskusi Reboan rutin FISIP UNAIR. Beliau menegaskan posisi Indonesia dalam sengketa terkait LCS adalah non-claimant states.
Dari dua fakta di atas yang bila dikaitkan inilah kita akan lebih terang memahami penokohan Indonesia dalam kasus kemaritiman bertajuk Laut China Selatan tersebut. Intinya kita tak perlu ragu menyebutkan Indonesia sebagai korban "penindasan jati diri negeri" secara transparan maupun sekedar bayang-bayang ancaman dari tokoh utama konflik, RRT. Bagaimana tidak, Indonesia yang sejatinya tidak mau meributkan masalah LCS masih saja diganggu gugat oleh pihak Tiongkok.
Gugatan Luar Persidangan
Semua bermula, ketika peta yang dibuat Tiongkok pada tahun 1947 yang meliputi Pulau Harian sampai ke Teluk Kalimantan tidak sesuai Landasan Kontinen dan ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Lebih terukur, konflik NKRI-RRT berpusat pada klaim atas kekuasaan Natuna yang termasuk kawasan ZEE Indonesia.Â
RRT menyatakan Natuna masuk ke dalam area teritorial kemaritimannya berdasarkan sembilan garis putus-putus dari peta yang dibuat sepihak oleh mereka pada tahun 1947 tersebut. Yang sesungguhnya peta itu telah ditentang keras lewat hukum UNCLOS 1982 di mana dengan jelas mengatur batas-batas wilayah laut berdasarkan garis pangkal pantai.
Bagi pihak Tiongkok, Laut Natuna begitu penting karena berperan sebagai jalur pelayaran penghubung komunikasi Utara-Selatan maupun Timur-Barat. Tak hanya itu, Natuna juga memiliki cadangan minyak bumi mencapai 1.400.386.470 barel dan cadangan gas bumi hingga 112.356.680.000 barel.Â
Lebih-lebihnya, Perairan Natuna yang kaya akan terumbu karang terbaik dunia ini memiliki 300 spesies karang dan 600 spesies ikan, serta dipenuhi habitat fauna langka seperti; penyu sisik, penyu hijau, lumba-lumba irrawaddy, dan paus bungkuk. Dikutip dari natunakab.go.id Kepulauan Natuna bahkan memiliki luas wilayah kurang lebih 264.198,37 km2 dengan luas daratan 2.001,30 km2 dan lautan 262.197,07 km2.
Dengan atau tanpa keunggulan-keunggulan di atas, Indonesia sebagai negara merdeka sejatinya akan terus melakukan pembelaan hak-hak berdaulat atas segala area teritorialnya, termasuk Natuna. Terlebih lagi, dengan jelas, ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional sudah menetapkan Kepulauan Natuna adalah sah berada di bawah kekuasaan NKRI.
Tapi RRT yang sudah mabuk kepayang akan segala potensi Natuna, tak berhenti mencari berbagai "taktik" untuk melancarkan aksi pembangkangan atas ketidaksepakatan NKRI. Maka, sengketa pun berlanjut pada tahun 2010, dengan fakta Tiongkok mengklaim lebih spesifik kepemilikannya secara agresif atas ZEE Indonesia di wilayah Utara Kepulauan Natuna. Indonesia lagi-lagi tidak mengizinkan klaim tersebut landai dengan mudah.
Pantang mundur dari klaim-klaim sepihaknya, penuh angkuh, pada tahun 2016 persaingan memanas ketika kapal penangkap ikan Tiongkok melakukan aktivitas sembarang penangkapan laut ilegal di wilayah perairan Natuna. Mengambil langkah lebih tegas, TNI AL terpaksa menangkap kapal-kapal nelayan Tiongkok yang dituding mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tersebut. Di kasus ini, Tiongkok masih saja mengganggap Natuna sebagai bagian dari traditional fishing grounds mereka.
Sikap ketidakpedulian Tiongkok terhadap ketetapan hukum internasional semakin tergambar jelas. Bagaimana tidak, episode kekacauan tak habis-habisnya dibuat oleh pihak mereka. Pada Senin (30/12/2019) kapal pencari ikan beserta kapal penjaga pantai Tiongkok masuk ke wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia lagi-lagi. Menjadi pergunjingan besar di masing-masing negara terlibat konflik, semua pasti masih ingat pula, bagaimana Presiden Ir. H. Joko Widodo sampai turun langsung ke lokasi Natuna pada Rabu (8/1/2020) untuk memastikan secara mendetail keamanan maritim NKRI. Pada kunjungannya yang dihadiri para nelayan setempat tersebut pula, Presiden RI ke- 7 itu tak ragu menyatakan jika Natuna adalah seratus persen milik Indonesia dari dulu hingga kini dan yang akan datang.
Kembali ke persoalan-persoalan yang telah teruraikan, hal terkait bisa kita katakan sebuah bentuk pelanggaran berat berdasar kesadaran dari pihak Tiongkok secara berulang-ulang. Kepatuhan Tiongkok terhadap hukum internasional terutama UNCLOS 1982 mengenai landasan pembagian wilayah LCS nyatanya nihil. Cenderung bersikap atas dasar prestise yang unggul di negeri Tirai Bambu tersebut, tak heran Tiongkok memilih bersembunyi di balik "tembok pertahanan diri" atau self-defense wall yang palsu.
Relevan dengan pengetahuan yang kita dapatkan dari uraian konflik beserta tanggapan Tiongkok di antaranya, ditarik kesimpulan setidak-setidaknya bahwa kasus kemaritiman berjudul Laut China Selatan ini akan bergulir lebih panjang sebab-sebab wajah keangkuhan Tiongkok dengan mudah dapat terprediksi sulit memudar apalagi hilang.
"Kuburan Tak Berdasar" Laut China Selatan: Di Antara Ancaman dan Kenyataan
Melalui wawancara eksklusif bersama The New Straits Times pada Senin (8/5/2023), Presiden RI ke- 7 Ir. H. Joko Widodo pernah menyampaikan dengan tegas argumen penolakan mengenai apa pun bentuk pengakuan klaim sepihak terhadap Laut China Selatan yang tanpa memiliki dasar hukum. Bahkan sang presiden menegaskan seharusnya klaim-klaim tersebut tidak pernah terjadi.
Sayangnya, harapan Presiden RI ke- 7 tersebut--yang mewakili seluruh rakyatnya demikian--tidak pernah terlaksana dengan baik. Klaim sepihak tanpa dasar bahkan sudah terjadi sejak lama. Dan itulah akar dari permasalahan berkepanjangan Indonesia terkhusus aspek regional kemaritimannya, Natuna-Laut China Selatan. Berawal dari pengklaiman sepihak (1947) inilah, pelan-pelan Tiongkok mencondongkan diri menggeser sedikit demi sedikit Indonesia ke luar kawasan Laut China Selatan termasuk Kepulauan Natuna. Baik dengan cara halus berbasis argumen penolakan atas ketetapan UNCLOS maupun kasar--teridentifikasi dalam tahap persiapan--seperti jajaran agresi militer yang sudah ada di beberapa bagian pulau LCS. Hal tersebut sungguh ancaman nyata terusirnya hak-hak berdaulat Indonesia terhadap wilayah kemaritimannya.
Sebelum ancaman itu menjadi kenyataan, yang sudah terjadi saat ini adalah terusiknya ketenangan dan kenyamanan Indonesia untuk mengeksplorasi wilayah kemaritimannya terutama di sekitar Laut China Selatan. Pengakuan tersebut diperoleh dari berbagai masalah yang diakibatkan oleh serampangannya kapal-kapal RRT memasuki wilayah perairan Indonesia--semisal yang sudah diuraikan di atas. Ini jelas mengakar ke permasalahan ekonomi Indonesia. Bila saja problematika tidak berkesudahan, nasib para nelayan atau para pekerja sekitaran maupun NKRI sebagai yang bertugas mengeksplorasi maritim akan lambat laun mengalami penurunan kualitas. Bekerja di bawah tekanan ancaman agresi militer RRT yang berpatroli di berbagai sudut kepulauan LCS membuat Indonesia tidak fokus sehingga menjadi penghambat kemajuan inovasi.
Mendekonstruksi pembahasan singkat tersebut, ditarik kesimpulan kembali bahwa kuburan tak berdasar sejatinya sudah ada dan tengah digali diam-diam oleh RRT. Bertopeng pada pertahanan area kemaritiman berbasis peta garis sembilan putus-putus, RRT terus mengorek lubang sedikit demi sedikit untuk tempat tergelincirnya Indonesia sewaktu-waktu jika saja lengah.
Bukan hal mustahil untuk kuburan tak berdasar itu kelak ada. Setengah darinya--atau klaim tak berdasar beserta efeknya--sudah lebih dulu tiba di kawasan. Tinggal lagi sekarang, kuburan itu seperti apa? Karena tidak selamanya, kuburan berartikan "tempat tidur terakhir" suatu raga. Dalam tulisan ini, penulis mempresentasikan kuburan sebagai bentuk penegasan serumit-rumitnya beban psikologis NKRI yang penuh tekanan. Lebih luas lagi, kuburan mengumpamakan hak-hak berdaulat yang tertimpa hukum liar berkelanjutan hingga kelak tak dipungkiri bisa saja lenyap terkubur baik hidup maupun mati.
Dengan demikian, satu hal yang pasti dari yang telah terjadi maupun yang akan, efek konflik Laut China Selatan tidak mustahil menenggelamkan kedaulatan Indonesia secara utuh. Menjadikan kuburan tanpa dasar hak kebebasan berdaulat NKRI lebih spesifik hancur terlebih ketika perang terbuka yang sudah ditimbang sejak lama dalam forum perdebatan benar-benar terlaksana. Jika saja demikian, dampak yang tak kalah lebih penting selain remuknya kursi kuasa regional kemaritiman Indonesia adalah status kemerdekaan RI memasuki mode siaga dan berulang, sedang kemajuan bangsa terus menjadi tanda tanya besar.
Memaknai Kedaulatan dan Peran Rakyat
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, kedaulatan negeri Merah Putih berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jauh sebelum di Indonesia metode kedaulatan rakyat diberlakukan, Jean Bodin, seorang profesor hukum asal Prancis di masanya (1530-1596), memaknai kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang dihadapkan pada rakyat dan negara tanpa adanya pembatas dari hukum. Adapun sifat-sifat kedaulatan menurutnya adalah tunggal, asli, abadi, dan bulat. Ditambahkannya lagi, teori kedaulatan terbagi menjadi dua jenis, yaitu kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Di mana kedaulatan ke dalam berartikan kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Sedang itu, kedaulatan ke luar diterjemahkan sebagai kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengadakan hubungan dengan negara lain serta mempertahankan wilayahnya dari ancaman yang berasal dari luar.
Kembali berbicara soal ancaman yang datang dari pihak luar, Indonesia sendiri sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya bela negara menggunakan metode kedaulatan ke luar pula. Berbagai kerja nyata kepemimpinan pemerintahan Indonesia itu adalah:
• Menjalin kerja sama dengan negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, India, dan Singapura demi meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan maritim lebih luas di kawasan Indo-Pasifik.
• Memperkuat keamanan terkhusus perairan Natuna dengan mengirimkam pasukan militer, kapal perang, pesawat tempur, serta drone agar lebih detail mengawasi gerak-gerik mencurigakan dari pihak asing yang berani menerobos area teritorial ZEE Indonesia.
• Mengajukan nota keberatan secara berulang kepada badan hukum kelautan internasional untuk mendapatkan hasil yang lebih kompleks dan kuat demi kejelasan status hak kepemilikan atas wilayah teritorial kemaritiman negeri Merah Putih.
Namun, seperti yang sudah terjabarkan pada rangkuman wacana di atas, cara-cara itu nyatanya belum cukup ampuh untuk menekan mundur pihak Tiongkok secara permanen. Oleh sebab karenanya, perlu kesadaran dan kepedulian lebih luas dari rakyat untuk ikut berperan dalam mempertahankan kedaulatan NKRI adalah jawaban terbaik. Sebagai negara yang berpegang teguh kepada konsep kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya bila rakyat justru mengambil posisi penting dalam hal penyelesaian permasalahan bangsa. Rakyat tidak bisa hanya berserah pada apa-apa yang dilakukan oleh negara/pemerintah.
Di era digital ini, kita sudah dengan mudah menemukan berbagai macam aplikasi/platform baik sosial media maupun blog yang dapat digunakan sebagai tempat untuk mengemukakan argumen, pesan, saran, opini, bahkan kritik. Maka itu, cara tersebut juga bisa diterapkan pada kasus konflik kemaritiman Indonesia dengan Tiongkok perihal LCS ini. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak--usia pelajar menengah hingga dewasa kini lebih tepatnya--pendapat-pendapat yang tertuang dalam bentuk surat-surat digital tersebut akan meluas dan dilihat oleh dunia. Dengan ini permasalahan akan dilirik serius oleh pihak-pihak asing. Ketika demikian mendunianya, problematika LCS akan dikuliti lebih detail dan terperinci. Hingga suatu kesempatan dan peluang kelak datang dari beragam aspek yang mendorong terwujudnya solusi sejati pada konflik kemaritiman, terkhusus RRT-NKRI tersebut. Kita dapat mengidentifikasi pertanyaan orang-orang apakah solusi demikian efektif. Penulis belajar dan berkaca dari contoh kasus-kasus viral lainnya, baik yang di era kini maupun di zaman dahulu.
"Bukankah ketika banyak kepala yang sama-sama berpikir mencari suatu jawaban atas sebuah soal tentu mempermudah lagi mempercepat permasalahan itu selesai?"
Panjang pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Karena pemikiran dan monolog lebih baik hadir pada "ruang diskusi terbuka" bertajuk solusi konflik Laut China Selatan.
Sebab sudah semestinya, kecanggihan teknologi dan pesatnya kemajuan bidang informatika adalah aspek terbaik yang digunakan sebagai alat mengemukakan pemikiran bahkan dari keterkungkungan jiwa. Termasuk Indonesia yang terkekang hak kebebasan berdaulatnya terhadap Natuna-Laut China Selatan.
Bagaimana Indonesia memanggul tekanan sejak klaim sepihak bermerek nine-dash line oleh pihak Tiongkok beroperasi, kini giliran NKRI melalui struktur hidup "klaim-estapet" lewat sosmed guna menekankan kebenaran bahwa sesungguhnya kenyataan mengenai Natuna sepenuhnya milik Indonesia. Gerakan rakyat ini penting dan tak luput mempertegas pernyataan Presiden RI ke- 7 Ir.H. Joko Widodo sewaktu berkunjung ke Natuna, Rabu (8/1/2020) bahwa; tidak ada tawar-menawar untuk harga kedaulatan Natuna maupun Indonesia.
Dengan demikian, bersama-sama maju membela kedaulatan Republik Indonesia, bukan mustahil untuk negeri Merah Putih lepas dari tekanan dan bayang-bayang ancaman konflik Laut China Selatan secara utuh dan permanen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H