Tapi RRT yang sudah mabuk kepayang akan segala potensi Natuna, tak berhenti mencari berbagai "taktik" untuk melancarkan aksi pembangkangan atas ketidaksepakatan NKRI. Maka, sengketa pun berlanjut pada tahun 2010, dengan fakta Tiongkok mengklaim lebih spesifik kepemilikannya secara agresif atas ZEE Indonesia di wilayah Utara Kepulauan Natuna. Indonesia lagi-lagi tidak mengizinkan klaim tersebut landai dengan mudah.
Pantang mundur dari klaim-klaim sepihaknya, penuh angkuh, pada tahun 2016 persaingan memanas ketika kapal penangkap ikan Tiongkok melakukan aktivitas sembarang penangkapan laut ilegal di wilayah perairan Natuna. Mengambil langkah lebih tegas, TNI AL terpaksa menangkap kapal-kapal nelayan Tiongkok yang dituding mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tersebut. Di kasus ini, Tiongkok masih saja mengganggap Natuna sebagai bagian dari traditional fishing grounds mereka.
Sikap ketidakpedulian Tiongkok terhadap ketetapan hukum internasional semakin tergambar jelas. Bagaimana tidak, episode kekacauan tak habis-habisnya dibuat oleh pihak mereka. Pada Senin (30/12/2019) kapal pencari ikan beserta kapal penjaga pantai Tiongkok masuk ke wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia lagi-lagi. Menjadi pergunjingan besar di masing-masing negara terlibat konflik, semua pasti masih ingat pula, bagaimana Presiden Ir. H. Joko Widodo sampai turun langsung ke lokasi Natuna pada Rabu (8/1/2020) untuk memastikan secara mendetail keamanan maritim NKRI. Pada kunjungannya yang dihadiri para nelayan setempat tersebut pula, Presiden RI ke- 7 itu tak ragu menyatakan jika Natuna adalah seratus persen milik Indonesia dari dulu hingga kini dan yang akan datang.
Kembali ke persoalan-persoalan yang telah teruraikan, hal terkait bisa kita katakan sebuah bentuk pelanggaran berat berdasar kesadaran dari pihak Tiongkok secara berulang-ulang. Kepatuhan Tiongkok terhadap hukum internasional terutama UNCLOS 1982 mengenai landasan pembagian wilayah LCS nyatanya nihil. Cenderung bersikap atas dasar prestise yang unggul di negeri Tirai Bambu tersebut, tak heran Tiongkok memilih bersembunyi di balik "tembok pertahanan diri" atau self-defense wall yang palsu.
Relevan dengan pengetahuan yang kita dapatkan dari uraian konflik beserta tanggapan Tiongkok di antaranya, ditarik kesimpulan setidak-setidaknya bahwa kasus kemaritiman berjudul Laut China Selatan ini akan bergulir lebih panjang sebab-sebab wajah keangkuhan Tiongkok dengan mudah dapat terprediksi sulit memudar apalagi hilang.
"Kuburan Tak Berdasar" Laut China Selatan: Di Antara Ancaman dan Kenyataan
Melalui wawancara eksklusif bersama The New Straits Times pada Senin (8/5/2023), Presiden RI ke- 7 Ir. H. Joko Widodo pernah menyampaikan dengan tegas argumen penolakan mengenai apa pun bentuk pengakuan klaim sepihak terhadap Laut China Selatan yang tanpa memiliki dasar hukum. Bahkan sang presiden menegaskan seharusnya klaim-klaim tersebut tidak pernah terjadi.
Sayangnya, harapan Presiden RI ke- 7 tersebut--yang mewakili seluruh rakyatnya demikian--tidak pernah terlaksana dengan baik. Klaim sepihak tanpa dasar bahkan sudah terjadi sejak lama. Dan itulah akar dari permasalahan berkepanjangan Indonesia terkhusus aspek regional kemaritimannya, Natuna-Laut China Selatan. Berawal dari pengklaiman sepihak (1947) inilah, pelan-pelan Tiongkok mencondongkan diri menggeser sedikit demi sedikit Indonesia ke luar kawasan Laut China Selatan termasuk Kepulauan Natuna. Baik dengan cara halus berbasis argumen penolakan atas ketetapan UNCLOS maupun kasar--teridentifikasi dalam tahap persiapan--seperti jajaran agresi militer yang sudah ada di beberapa bagian pulau LCS. Hal tersebut sungguh ancaman nyata terusirnya hak-hak berdaulat Indonesia terhadap wilayah kemaritimannya.
Sebelum ancaman itu menjadi kenyataan, yang sudah terjadi saat ini adalah terusiknya ketenangan dan kenyamanan Indonesia untuk mengeksplorasi wilayah kemaritimannya terutama di sekitar Laut China Selatan. Pengakuan tersebut diperoleh dari berbagai masalah yang diakibatkan oleh serampangannya kapal-kapal RRT memasuki wilayah perairan Indonesia--semisal yang sudah diuraikan di atas. Ini jelas mengakar ke permasalahan ekonomi Indonesia. Bila saja problematika tidak berkesudahan, nasib para nelayan atau para pekerja sekitaran maupun NKRI sebagai yang bertugas mengeksplorasi maritim akan lambat laun mengalami penurunan kualitas. Bekerja di bawah tekanan ancaman agresi militer RRT yang berpatroli di berbagai sudut kepulauan LCS membuat Indonesia tidak fokus sehingga menjadi penghambat kemajuan inovasi.
Mendekonstruksi pembahasan singkat tersebut, ditarik kesimpulan kembali bahwa kuburan tak berdasar sejatinya sudah ada dan tengah digali diam-diam oleh RRT. Bertopeng pada pertahanan area kemaritiman berbasis peta garis sembilan putus-putus, RRT terus mengorek lubang sedikit demi sedikit untuk tempat tergelincirnya Indonesia sewaktu-waktu jika saja lengah.
Bukan hal mustahil untuk kuburan tak berdasar itu kelak ada. Setengah darinya--atau klaim tak berdasar beserta efeknya--sudah lebih dulu tiba di kawasan. Tinggal lagi sekarang, kuburan itu seperti apa? Karena tidak selamanya, kuburan berartikan "tempat tidur terakhir" suatu raga. Dalam tulisan ini, penulis mempresentasikan kuburan sebagai bentuk penegasan serumit-rumitnya beban psikologis NKRI yang penuh tekanan. Lebih luas lagi, kuburan mengumpamakan hak-hak berdaulat yang tertimpa hukum liar berkelanjutan hingga kelak tak dipungkiri bisa saja lenyap terkubur baik hidup maupun mati.