Laut China Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km2. Karena letaknya yang strategis akan tempat lalu-lalang perlintasan laut, rata-rata logistik dunia dikelola di sini. Dan faktanya, Laut China Selatan juga jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.
Dikutip dari CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan LCS pada 2016 saja mencapai US$3,37 triliun. Selain itu, Laut China Selatan memiliki cadangan minyak bumi sebesar 1,2 km3 (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km3 (28 miliar barel). Sedangkan cadangan gas alamnya sekitar 7.500 km3 (266 triliun kaki kubik). Ditambah laporan dari U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak menjadi 11 miliar barel.
Lebih dari pada itu, Laut China Selatan juga memiliki 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Meski sebagian besar pulau tidak berpenghuni bahkan ada pula yang tenggelam, keragaman biota laut yang memenuhi pedalaman perairan di wilayah LCS menjadi daya tarik tertinggi di antara pulau-pulau yang berkeliling pada daerah kemaritiman ini. Berdasarkan kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati laut dunia.
Sampai di sini, kita bisa melihat bagaimana keindahan dan kekayaan yang dimiliki LCS kemudian membangun rasa keinginan banyak pihak untuk memilikinya. Selain itu, terkhusus pada kubu RRT, kita sama-sama tahu ada niat tersembunyi yang menjadi tolak ukur mereka menggaungkan berbagai teknik perampasan bertembok pertahanan. Wajah asli Tiongkok yang seperti apa sesungguhnya, untuk mengetahui itu kita perlu mengulik lebih dalam.
Mengesampingkan RRT sejenak, yang perlu digarisbawahi adalah posisi NKRI yang tidak menuntut klaim atas LCS. Seperti yang diungkapkan Guru Besar Departemen Hubungan Internasional, Profesor Dr. Makarim Wibisono pada Rabu (8/6/2016) lewat forum diskusi Reboan rutin FISIP UNAIR. Beliau menegaskan posisi Indonesia dalam sengketa terkait LCS adalah non-claimant states.
Dari dua fakta di atas yang bila dikaitkan inilah kita akan lebih terang memahami penokohan Indonesia dalam kasus kemaritiman bertajuk Laut China Selatan tersebut. Intinya kita tak perlu ragu menyebutkan Indonesia sebagai korban "penindasan jati diri negeri" secara transparan maupun sekedar bayang-bayang ancaman dari tokoh utama konflik, RRT. Bagaimana tidak, Indonesia yang sejatinya tidak mau meributkan masalah LCS masih saja diganggu gugat oleh pihak Tiongkok.
Gugatan Luar Persidangan
Semua bermula, ketika peta yang dibuat Tiongkok pada tahun 1947 yang meliputi Pulau Harian sampai ke Teluk Kalimantan tidak sesuai Landasan Kontinen dan ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Lebih terukur, konflik NKRI-RRT berpusat pada klaim atas kekuasaan Natuna yang termasuk kawasan ZEE Indonesia.Â
RRT menyatakan Natuna masuk ke dalam area teritorial kemaritimannya berdasarkan sembilan garis putus-putus dari peta yang dibuat sepihak oleh mereka pada tahun 1947 tersebut. Yang sesungguhnya peta itu telah ditentang keras lewat hukum UNCLOS 1982 di mana dengan jelas mengatur batas-batas wilayah laut berdasarkan garis pangkal pantai.
Bagi pihak Tiongkok, Laut Natuna begitu penting karena berperan sebagai jalur pelayaran penghubung komunikasi Utara-Selatan maupun Timur-Barat. Tak hanya itu, Natuna juga memiliki cadangan minyak bumi mencapai 1.400.386.470 barel dan cadangan gas bumi hingga 112.356.680.000 barel.Â
Lebih-lebihnya, Perairan Natuna yang kaya akan terumbu karang terbaik dunia ini memiliki 300 spesies karang dan 600 spesies ikan, serta dipenuhi habitat fauna langka seperti; penyu sisik, penyu hijau, lumba-lumba irrawaddy, dan paus bungkuk. Dikutip dari natunakab.go.id Kepulauan Natuna bahkan memiliki luas wilayah kurang lebih 264.198,37 km2 dengan luas daratan 2.001,30 km2 dan lautan 262.197,07 km2.
Dengan atau tanpa keunggulan-keunggulan di atas, Indonesia sebagai negara merdeka sejatinya akan terus melakukan pembelaan hak-hak berdaulat atas segala area teritorialnya, termasuk Natuna. Terlebih lagi, dengan jelas, ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional sudah menetapkan Kepulauan Natuna adalah sah berada di bawah kekuasaan NKRI.