Dengan demikian, satu hal yang pasti dari yang telah terjadi maupun yang akan, efek konflik Laut China Selatan tidak mustahil menenggelamkan kedaulatan Indonesia secara utuh. Menjadikan kuburan tanpa dasar hak kebebasan berdaulat NKRI lebih spesifik hancur terlebih ketika perang terbuka yang sudah ditimbang sejak lama dalam forum perdebatan benar-benar terlaksana. Jika saja demikian, dampak yang tak kalah lebih penting selain remuknya kursi kuasa regional kemaritiman Indonesia adalah status kemerdekaan RI memasuki mode siaga dan berulang, sedang kemajuan bangsa terus menjadi tanda tanya besar.
Memaknai Kedaulatan dan Peran Rakyat
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, kedaulatan negeri Merah Putih berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jauh sebelum di Indonesia metode kedaulatan rakyat diberlakukan, Jean Bodin, seorang profesor hukum asal Prancis di masanya (1530-1596), memaknai kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang dihadapkan pada rakyat dan negara tanpa adanya pembatas dari hukum. Adapun sifat-sifat kedaulatan menurutnya adalah tunggal, asli, abadi, dan bulat. Ditambahkannya lagi, teori kedaulatan terbagi menjadi dua jenis, yaitu kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Di mana kedaulatan ke dalam berartikan kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Sedang itu, kedaulatan ke luar diterjemahkan sebagai kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengadakan hubungan dengan negara lain serta mempertahankan wilayahnya dari ancaman yang berasal dari luar.
Kembali berbicara soal ancaman yang datang dari pihak luar, Indonesia sendiri sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya bela negara menggunakan metode kedaulatan ke luar pula. Berbagai kerja nyata kepemimpinan pemerintahan Indonesia itu adalah:
• Menjalin kerja sama dengan negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, India, dan Singapura demi meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan maritim lebih luas di kawasan Indo-Pasifik.
• Memperkuat keamanan terkhusus perairan Natuna dengan mengirimkam pasukan militer, kapal perang, pesawat tempur, serta drone agar lebih detail mengawasi gerak-gerik mencurigakan dari pihak asing yang berani menerobos area teritorial ZEE Indonesia.
• Mengajukan nota keberatan secara berulang kepada badan hukum kelautan internasional untuk mendapatkan hasil yang lebih kompleks dan kuat demi kejelasan status hak kepemilikan atas wilayah teritorial kemaritiman negeri Merah Putih.
Namun, seperti yang sudah terjabarkan pada rangkuman wacana di atas, cara-cara itu nyatanya belum cukup ampuh untuk menekan mundur pihak Tiongkok secara permanen. Oleh sebab karenanya, perlu kesadaran dan kepedulian lebih luas dari rakyat untuk ikut berperan dalam mempertahankan kedaulatan NKRI adalah jawaban terbaik. Sebagai negara yang berpegang teguh kepada konsep kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya bila rakyat justru mengambil posisi penting dalam hal penyelesaian permasalahan bangsa. Rakyat tidak bisa hanya berserah pada apa-apa yang dilakukan oleh negara/pemerintah.
Di era digital ini, kita sudah dengan mudah menemukan berbagai macam aplikasi/platform baik sosial media maupun blog yang dapat digunakan sebagai tempat untuk mengemukakan argumen, pesan, saran, opini, bahkan kritik. Maka itu, cara tersebut juga bisa diterapkan pada kasus konflik kemaritiman Indonesia dengan Tiongkok perihal LCS ini. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak--usia pelajar menengah hingga dewasa kini lebih tepatnya--pendapat-pendapat yang tertuang dalam bentuk surat-surat digital tersebut akan meluas dan dilihat oleh dunia. Dengan ini permasalahan akan dilirik serius oleh pihak-pihak asing. Ketika demikian mendunianya, problematika LCS akan dikuliti lebih detail dan terperinci. Hingga suatu kesempatan dan peluang kelak datang dari beragam aspek yang mendorong terwujudnya solusi sejati pada konflik kemaritiman, terkhusus RRT-NKRI tersebut. Kita dapat mengidentifikasi pertanyaan orang-orang apakah solusi demikian efektif. Penulis belajar dan berkaca dari contoh kasus-kasus viral lainnya, baik yang di era kini maupun di zaman dahulu.
"Bukankah ketika banyak kepala yang sama-sama berpikir mencari suatu jawaban atas sebuah soal tentu mempermudah lagi mempercepat permasalahan itu selesai?"
Panjang pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Karena pemikiran dan monolog lebih baik hadir pada "ruang diskusi terbuka" bertajuk solusi konflik Laut China Selatan.
Sebab sudah semestinya, kecanggihan teknologi dan pesatnya kemajuan bidang informatika adalah aspek terbaik yang digunakan sebagai alat mengemukakan pemikiran bahkan dari keterkungkungan jiwa. Termasuk Indonesia yang terkekang hak kebebasan berdaulatnya terhadap Natuna-Laut China Selatan.
Bagaimana Indonesia memanggul tekanan sejak klaim sepihak bermerek nine-dash line oleh pihak Tiongkok beroperasi, kini giliran NKRI melalui struktur hidup "klaim-estapet" lewat sosmed guna menekankan kebenaran bahwa sesungguhnya kenyataan mengenai Natuna sepenuhnya milik Indonesia. Gerakan rakyat ini penting dan tak luput mempertegas pernyataan Presiden RI ke- 7 Ir.H. Joko Widodo sewaktu berkunjung ke Natuna, Rabu (8/1/2020) bahwa; tidak ada tawar-menawar untuk harga kedaulatan Natuna maupun Indonesia.
Dengan demikian, bersama-sama maju membela kedaulatan Republik Indonesia, bukan mustahil untuk negeri Merah Putih lepas dari tekanan dan bayang-bayang ancaman konflik Laut China Selatan secara utuh dan permanen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H