"Aduhhh..." Michelia terpekik saat seorang lelaki pincang menabrak bahunya dengan keras. Dex sangat terkejut melihat istrinya terjatuh dan bunga yang baru mereka beli berhamburan di jalanan.
"Pakai matamu kalau berjalan di sini," Dex memaki lelaki itu. Dia segera menolong istrinya berdiri. Lelaki berkepala botak memandang ketakutan kepada sosok lelaki kekar yang berada di depannya.
"Maafkan aku...maafkan..." lelaki itu membungkukkan badannya berkali-kali dan pergi menjauh. Sebelah kakinya pincang membuat langkahnya tersendat-sendat.
"Kamu baik-baik saja Sayang?" Dex bertanya cemas. Â Michelia tersenyum menenangkan suaminya.
"Aku kaget sekali, tiba-tiba lelaki itu menabrakku. Entah darimana datangnya, tiba-tiba dia sudah berada di sini," Michelia sibuk memungut potongan bunga mawar yang terlepas dari pembungkus kertas.
"Maafkan aku, jalan-jalan sore kita berantakan karena ulah berandalan itu," Dex berjongkok dan memandang sosok yang sudah hilang di keramaian.
"Biarkan saja bunga itu, sini kubelikan yang baru."
"Tidak perlu Sayang, bunga hadiahmu sangat indah. Aku yang kurang hati-hati memegangnya tadi sampai berantakan seperti ini. Maafkan aku ya..." Michelia menggandeng mesra sang suami yang tampak masih kesal.
*
"Aku masih kepikiran dengan lelaki yang menyenggolmu di jalan tadi sore," Dex menatap langit-langit kamar. Dilihatnya sang istri baru keluar dari kamar mandi memakai kimono tidur.
"Mengapa kamu memikirkan lelaki itu? Aku baik-baik saja Sayang," Michelia duduk di depan cermin dan membersihkan wajahnya dengan krim. Dex memandang kagum kecantikan istrinya dari kejauhan. Dia berjalan mendekat dan mengamati wajah mereka berdua di dalam cermin.
"Aku sangat beruntung mendapatkan istri sebaik dirimu," Dex berbisik mesra ke telinga perempuan yang sibuk membersihkan wajahnya dengan kapas. Jemari Michelia terhenti, dia berbalik memandang wajah sang suami.
"Aku sangat senang kita dapat berjumpa lagi setelah peristiwa mengerikan yang menimpamu. Semoga kita selalu bersama sampai maut memisahkan," Michelia meraih tangan Dex yang berjongkok di sampingnya.
"Seringkali aku masih merasakan terombang-ambing di laut kelam, sulit sekali menghilangkan trauma ini," Dex mengusap wajahnya yang terlihat lelah.
"Kamu tidak perlu cemas Sayang, aku selalu ada di sini untukmu," Michelia membenamkan wajah Dex ke dalam pelukannya.
"Terima kasih perhatianmu Sayang," Dex menarik nafas lega dan tersenyum.
*
Dua puluh lima tahun yang lalu. Saat itu Michelia masih remaja yang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Mereka berjumpa tanpa sengaja di sebuah kafe di Kota Makassar. Saat itu Dex dan teman-temannya sedang merayakan hari ulang tahun salah seorang kru pesawat. Mata Dex terpaku memandang dua orang gadis cantik yang duduk di dekat jendela. Salah satu gadis itu menarik perhatian Dex karena keindahan lesung pipi yang begitu memukau saat dia tertawa. Sepanjang berlangsungnya acara, mata Dex tidak lepas dari keindahan ciptaan Tuhan tersebut.
"Sedari tadi kuperhatikan kamu memandang terus ke arah dua ekor merpati itu," Sui sahabatnya berbisik pelan ke telinga Dex. Lelaki itu menghela nafas panjang.
"Benar, para merpati itu sangat cantik. Aku suka sekali melihat gadis dengan lesung pipi di wajahnya."
"Kamu jangan bermimpi. Kita hanya sesekali pulang ke rumah, apakah kamu dapat menjamin bahwa merpati itu akan setia menunggu kedatanganmu?"
"Aku yakin, merpati itu adalah jodohku," yakin sekali jawaban Dex.
"Hahhh... mulutmu ngoceh saja. Kebanyakan minum kamu ini," Sui terkekeh menyaksikan keseriusan Dex.
"Akan kubuktikan padamu bahwa aku tidak main-main," Dex segera berjalan menuju ke meja gadis tersebut.
"Hei...kamu mau kemana?" Sui bertanya kaget dan dijawab lelaki itu dengan mengedipkan matanya.
"Si co-pilot mau ngapain ke situ?" Andre bertanya ngasal pada Sui.
"Kumat lagi penyakit playboynya karena melihat seekor merpati cantik," Sui mengunyah kacang dan menenggak minumannya. Para kru lainnya sibuk bercengkerama dan menikmati hidangan yang tersaji di meja itu.
*
"Bolehkah aku berkenalan dengan kalian?" terdengar suara bariton Dex menyapa ramah dua orang gadis yang sedang menikmati hidangan sushi dan ramen. Kedua gadis itu membelalak kaget melihat kehadiran Dex. Pandangannya mirip bola mata kucing menyerupai garis saat terkejut melihat musuh.
"Kamu siapa?" salah seorang gadis bertanya ramah. Dex memandang gadis lain yang duduk di dekat pot tanaman.
"Hei...kamu siapa? Ditanya malah bengong," sang penanya mengagetkan Dex.
"Oh maaf...namaku Dex, kalau kamu?"
"Aku Luna... ini sahabatku Michelia," tanpa ragu Dex menjabat erat tangan Luna dan Michelia.
"Boleh aku bergabung dengan kalian di sini?" Dex menunjuk sebuah kursi kosong dan diiyakan oleh Luna. Michelia tidak terpengaruh dengan kehadiran Dex dan melanjutkan makannya dengan nikmat.
"Sahabatmu ini tampak sangat serius," Dex mengerling pada Michelia.
"Dia memang begitu, selalu serius dalam segala hal, iya kan Michelia?"
Michelia tersenyum malu, tidak berani menatap wajah Dex yang memandangnya penuh keseriusan.
*
Ternyata itu bukan pertemuan yang pertama untuk Dex dan Michelia. Setiap kali dia mendapat libur beberapa hari, dia merasa perlu mengunjungi Michelia walau hanya sehari saja. Namun Dex memerlukan waktu cukup lama untuk meyakinkan Michelia bahwa dia sungguh serius ingin menjalin hubungan lebih akrab dengan gadis itu.
"Kamu seorang co-pilot, cintamu pasti landing di setiap kota yang engkau singgahi," Michelia terkekeh. Mereka sedang duduk di teras rumah Michelia yang asri.
"Aku hanya ingin mendaratkan pesawatku di hatimu,"
"Wooo... kamu bicara sembarangan saja," Michelia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Dex.
"Apakah belum cukup perhatianku selama ini? Setiap kali turun ke darat, aku selalu datang untukmu, hanya untukmu..."
Michelia tertawa semakin keras melihat raut wajah Dex.
"And then...?" Michelia bertanya ngasal pada Dex.
"Ya itu... aku mau hubungan kita menjadi lebih serius."
"Apakah selama ini kamu menganggap aku tidak serius?" Michelia balik bertanya. Lesung pipinya membuat hati Dex begitu gemas melihatnya. Dex tergagap mendengar pernyataan sang gadis.
"Selama ini aku ragu melihatmu, apakah kamu suka padaku atau tidak."
Michelia tertawa semakin keras sambil mengunyah kuaci kesukaannya.
"Kelihatannya kamu semakin kekanak-kanakan deh," Michelia menertawakan Dex. Lelaki itu menunduk ragu.
"I am so love to you. Would you marry me?" pernyataan Dex membuat Michelia terkejut luar biasa. Kuacinya tumpah karena gadis itu tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.
"Ih... apaan sih," Michelia melepaskan genggaman tangan Dex.
"Aku ingin melamarmu menjadi istriku...apakah kamu...."
Tiba-tiba Oma keluar dari dari ruang tamu saat mendengar keributan itu.
"Loh... Dex kok berlutut seperti itu? Hayo bangun dari lantai," Oma pura-pura memarahi lelaki itu dan bertanya pada Michelia, ada keributan apa gerangan.
"Ohhh... calon cucu mantu Oma ini mau mengajak saya menikah," Michelia menjawab santai pertanyaan sang nenek. Oma membelalak terkejut, tidak menyangka Dex senekad itu pada cucunya.
"Begini saja, kamu kumpulin duit kamu untuk pernikahan. Setelah itu datanglah ke sini bersama keluargamu untuk melamar Michelia. Dia harus lulus dulu dari sekolahnya."
"Apa tidak kelamaan Oma? Setelah menikah Michelia kan dapat sekolah lagi."
"Walahhh... itu teorimu. Aku ingin cucuku tamat dulu sekolahnya," Oma keukeuh dengan keinginannya. Michelia mengangkat bahunya sambil tersenyum manis. Oma mengambil sebuah kursi dan duduk di situ.
"Jadi aku harus bagaimana Oma?" Dex bertanya bingung.
"Kamu tunjukkan keseriusanmu padaku. Aku tidak mau cucu kesayanganku terlantar setelah menikah denganmu," Oma menjawab tegas pertanyaan Dex.
"Aku berjanji akan menjaga Michelia di sepanjang hidupku."
"Buktikan padaku bahwa kamu benar-benar memegang kata-katamu, okey?" kata okey yang diucapkan Oma membuat Dex dan Michelia tidak dapat menahan tawanya. Kedua sejoli itu berlutut di dekat kaki perempuan tua itu. Wangi parfum mawar nan wangi menguar dari baju yang dikenakan oleh Oma.
"Oma...aku ingin restumu untuk menjalani pernikahan bersama Michelia. Dia adalah gadis pilihanku," suara Dex tercekat mengucapkan kalimat itu. Michelia menoleh, memandang wajah lelaki itu.
"Benarkah kata-katamu itu?" Michelia bertanya ragu.
"Iya... aku berjanji sehidup semati denganmu," Dex menggenggam erat jemari Michelia. Oma tidak kuasa menahan haru melihat adegan itu.
*
Michelia melepas kepergian Dex dengan penuh air mata.
"Burung besi itu akan memisahkan kita, kamu akan pergi lagi meninggalkanku," Michelia menangis terisak.
"Sabarlah Sayang, sesuai janjiku pada Oma, aku akan kembali lagi dan datang bersama keluargaku untuk melamarmu."
"Kamu tidak bohong kan?"
"Masa aku tega membohongimu? Tuhan akan menjaga keselamatan kita semua. Aku pamit ya," Dex memeluk Michelia yang seakan tidak mau melepaskannya. Gadis itu memeluk erat tubuh Dex.
"Kamu kenapa Sayang?"
"Entahlah... rasanya aku ingin selalu memelukmu seperti ini," bisik Michelia di telinga Dex.
"Aku janji akan kembali untukmu. Waktuku sudah tiba untuk berangkat," Dex melepaskan pelukan Michelia dan berjalan mengikuti rombongan pilot dan pramugari yang akan menaik pesawat. Michelia membiarkan air matanya meleleh membasahi pipi. Malang tidak dapat di tolak. Pesawat yang sedang dalam perjalanan menuju ke Amerika terkena musibah. Dex yang menjadi co-pilot ikut menjadi korban dalam musibah itu. Bangkai pesawat dan aneka barang tersebar di laut. Terlihat tubuh jenazah bergelimpangan di atas lautan dan menjadi trending topic di mana-mana. Michelia menjerit histeris saat menerima kabar pesawat yang membawa Dex mengalami kecelakaan.
"Omaaaa...." Michelia berteriak histeris di dalam pelukan neneknya. Wajah keriput itu berderai air mata. Rasanya tidak percaya Dex pergi secepat itu.
*
Lima tahun telah berlalu. Kepergian Dex tidak mematikan bara cinta dalam dada Michelia. Walaupun Oma telah memperkenalkannya pada beberapa orang lelaki, namun hati Michelia tetap untuk Dex.
"Sampai kapan kamu mau mau hidup melajang seperti ini?"
Michelia tersenyum tipis menjawab pertanyaan Oma.
"Aku yakin akan bertemu lagi dengan Dex, kekasihku."
"Jangan kamu pelihara terus khayalanmu. Dex sudah tiada, saatnya engkau membenahi kehidupanmu."
"Aku sudah bahagia seperti saat ini Oma."
"Kehidupan menjadi pengurus panti asuhan bukan masa depan yang baik. Kamu harus membentuk keluargamu sendiri, punya suami dan anak-anak dari rahimmu sendiri. Aku ingin sekali menimang cucu darimu."
"Oma... aku sudah rela mengabdikan diriku untuk mengurus anak-anak di panti asuhan. Aku tidak sendiri karena kurasakan Dex selalu ada bersamaku."
Oma menatap cemas wajah Michelia. Dia sangat kuatir jangan-jangan cucunya mulai hilang ingatan karena kematian kekasihnya.
*
Hingga suatu ketika, setelah dua puluh lima tahun berlalu. Tanpa sengaja seorang lelaki menabrak tubuh perempuan yang sedang berjalan santai di pedestrian Speer Boulevard kota Denver.
"Maafkan aku Nona..." lelaki itu meminta maaf dan membantu perempuan itu berdiri. Perempuan itu terdiam, dia sibuk membersihkan rok dan tasnya yang terkena debu. Mata lelaki itu melihat tanda lahir berbentuk bulat warna hitam  di punggung tangan kanan sang perempuan.
"Apakah kamu Michelia?" lelaki itu bertanya dengan suara tercekat. Perempuan berkaca mata hitam itu memandangnya ragu.
"Apakah namamu Michelia?"
Perempuan itu menjadi bingung, mengapa lelaki ini menahu namanya.
"Pasti kamu Micheliaku," lelaki itu membuka topi yang dipakainya.
"Apakah kamu masih ingat padaku? Ini aku Dex, kekasihmu..."
Michelia membuka kacamatanya dan mengamati seksama wajah lelaki di hadapannya. Memang agak mirip dengan wajah Dex, tetapi lelaki ini kulitnya lebih gelap.
"Kamu adalah kekasihku. Tanda lahir ini tidak mungkin berbohong padaku," lelaki itu memperlihatkan tanda lahir yang berada di punggung tangan perempuan itu. Michelia menggeleng panik, dia tidak percaya lelaki itu adalah Dex.
"Dex sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat," Michelia menjawab yakin.
"Kamu jangan lupa, miracle itu selalu ada Sayang."
"Aku tidak percaya kamu adalah Dex. Dia sudah lama meninggal."
"Percayalah...aku adalah Dex William, kekasihmu," lelaki itu memperlihatkan ID cardnya kepada Michelia.
"Kamu pandangi mataku, apa yang kamu lihat disana?" tiba-tiba lelaki itu memeluk Michelia. Perempuan itu memandang sepasang bola mata milik lelaki itu, yang sebelah kanan berwarna coklat dan bola mata kiri berwarna hijau emerald. Bola mata lelaki itu seperti warna bola mata Dex, kekasihnya. Michelia mengingat lelaki pujaannya menderita sindrom Heterochromia yang mempunyai warna bola mata berbeda. Lelaki ini benar adalah Dex kekasihnya yang disangka telah meninggal puluhan tahun lalu.
"Ya Tuhan..." Michelia menangis tersedu-sedu.
"Katakan padaku bagaimana kamu dapat selamat dari kecelakaan itu? Mengapa kamu tidak segera mencariku?" terdengar rutukan kesal Michelia.
"Ceritanya sangat panjang," Dex menjawab singkat. Sore itu mereka menghabiskan waktu bersama untuk membangun kepingan hati yang telah porak-poranda diterjang badai.
*
Beberapa tahun setelah pernikahan Dex dan Michelia, mereka kembali mendapat kejutan istimewa. Insiden diawali dengan seorang lelaki botak tanpa sengaja menabrak Michelia. Beberapa minggu kemudian, tanpa sengaja mereka bertemu lagi dengan lelaki itu.
"Lihatlah Sayang, lelaki itu yang telah menabrakku tempo hari," dari pintu shopping center Michelia memandang seorang lelaki botak yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Mau apa dia memata-matai kita?" dilihatnya lelaki itu dari kejauhan memandang takut-takut kepada Dex dan Michelia.
"Aku akan membuat perhitungan dengannya," Dex melangkah menuju ke tempat duduk lelaki botak itu.
"Mengapa kamu memandangi kami seperti itu?"
Lelaki itu menggeleng ketakutan dan memandang wajah Dex dengan seksama. Dia terkejut melihat sindrom Heterochromia di mata Dex.
"Apakah... apakah kamu Dex William?"
"Lancang sekali kamu bertanya seperti itu setelah menabrak istriku."
"Dex...masihkah engkau ingat padaku? Aku Sui... ground crew maskapai penerbangan Duo Cakra," lelaki itu memperlihatkan ID cardnya kepada Dex.
"Mengapa kamu ada di sini?" Dex bertanya ragu.
"Saat itu aku menjadi penumpang di pesawatmu yang mengalami kecelakaan. Sebelum pesawat terbakar, aku berhasil meloloskan diri dan terjun ke laut..." Sui memeluk tubuh Dex dengan erat, air matanya berlinang.
"Astaga...kukira engkau telah meninggal Sui."
Sui menggelengkan kepalanya, tidak percaya berjumpa lagi dengan Dex dan Michelia.
"Saat itu ombak sangat kencang. Aku terombang ambing terbawa ombak kiri dan kanan di lautan maha luas. Kejadian itu sungguh mengerikan," Sui terduduk ke tanah dan menutup mukanya. Tubuh Sui bergetar hebat sebagai bentuk ketakutannya.
"Aku takut sekali Dex..." Sui masih memeluk tubuh Dex erat-erat.
"Kita semua akan tetap bersama, iya kan Sayang?" Michelia mendekat dan memeluk manja pinggang Dex. Lelaki itu menoleh dan mencium lembut kening perempuan yang sangat dicintainya.
"Aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi..." Sui memandang wajah Dex dan Michelia dengan mata basah.
"Kalian memang berjodoh, aku siap menjadi Paman yang baik untuk anak-anak kalian."
Dex tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat polos Sui.
"Tampaknya kita perlu menambah momongan untuk memenuhi keinginan Sui. Apakah kamu setuju Sayang?" Dex berbisik lembut dan membuat Michelia tersipu malu.
"Tunggulah... Myer dan Lila bakal memberikanmu cucu yang lucu, Grandpa..." senyum keibuan Michelia mengembang. Matanya menatap Sui dengan pandangan jenaka. Anak angkat Michelia dari panti asuhan telah menikah dan sekarang sedang hamil muda.
"Apa? Aku akan menjadi Grandpa? Oh Tuhan...betapa tuanya diriku sekarang."
"Sudahlah... jangan sok drama melulu. Sekarang kita ke sana, perutku meronta-ronta setelah mendengar tangismu," Dex menunjuk sebuah caf yang berada beberapa langkah di hadapannya. Tercium aroma kopi menggemaskan dari arah cafe.
"Bagaimana aku akan..." Sui merogoh sakunya dengan cemas.
"Tenanglah... aku menjadi tuan rumah kalian sore ini. Ayo kita menikmati secangkir cappuccino panas di Blue Sparrow Coffee," Michelia menggandeng mesra tangan Dex. Mereka bertiga berjalan menembus keramaian Platte street yang tidak pernah sepi dari hikuk pikuk manusia saat weekend. Sui mengusap matanya, tidak percaya dengan pertemuan ini.
"Bagaimana kamu sampai terdampar di sini kawan? Welcome to USA," Dex menepuk riang bahu Sui.
"Nantilah aku ceritakan padamu. Aku senang sekali engkau telah menemukan cinta sejatimu, selamat kawan..." Sui menepuk riang bahu sahabatnya (srn).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI