Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers. Cerpen pertama Kartini Dari Negeri Kegelapan menjadi Juara III Lomba Menulis Cerpen (Defamedia, Mei 2023); Predikat Top 15 Stories (USK Press, Agustus 2023); Juara II Sayembara Cerpen Pulpen VI (September 2023); Juara II Lomba Menulis Cerpen Bullying (Vlinder Story, Juni 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Agustus 2024); Juara III Lomba Menulis Cerpen The Party's Not Over (Vlinder Story, Agustus 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Oktober 2024). Novel yang telah dihasilkan: Baine (Hydra Publisher, Mei 2024) dan Yomesan (Vlinder Story, Oktober 2024). Instagram: @srifirnas; personal website https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prahara Menjelang Janji Suci

20 Januari 2025   01:58 Diperbarui: 20 Januari 2025   01:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah panggung kayu (Sri Nur Aminah, 2024)

"Aku tidak mau menikah dengan Anto," terdengar pekik Nanna.

"Mengapa kamu menolak? Undangan telah disebar luas, mau ditaruh dimana muka Mak dan Bapakmu?" Naimah, Maknya Nanna- jejeritan mendengar anak gadisnya tiba-tiba membatalkan pernikahan dengan lelaki pilihan orang tuanya.

"Aku berubah pikiran Mak," Nanna membuang mukanya menatap hamparan ladang jagung milik Bapak dari balik jendela kamar.

"Ada apa ini?Kamu sendiri yang bersedia menerima lamaran Anto. Jangan membuat malu keluarga besar kita."

"Ternyata Neneknya Anto mengidap penyakit kandala (penyakit kusta dalam bahasa Makassar) sampai nyaris gila karena penyakit itu. Aku keberatan anak-anakku tertular penyakit kutukan yang menimpa keluarga Anto."

"Hah?Darimana kamu mendapat kabar itu?" terdengar suara terkejut Mak.

"Mak tidak perlu menahu darimana sumbernya. Sekarang aku mengerti mengapa Anto selalu menolak jika aku ingin menemui Neneknya. Ternyata ada apa-apanya keluarga calon pasanganku ini..."

"Kamu tidak boleh memutuskan sepihak, keluarga harus berunding dahulu karena kami sudah menerima lamaran Anto. Pernikahanmu tinggal menghitung hari. Semua undangan sudah disebar, Daeng Imam sudah setuju menikahkan kalian di masjid, tukang masak sudah siap peralatan tempurnya..."

"Aku tidak peduli semua persiapan itu. Aku ingin menyelamatkan anak-anakku dari penyakit kandala."

"Dengarlah Nanna, calon suamimu punya banyak uang.  Kamu abaikan saja Neneknya yang sakit kandala. Pernikahan ini harus terlaksana supaya kamu dapat menguasai harta milik Anto."

*

Ternyata penolakan Nanna di saat menghitung hari pernikahan dipicu oleh ejekan Jama tanpa sengaja menyebut Nenek Labbang- nama Neneknya Anto menderita penyakit kandala. Saat itu Nanna dan Jama asyik bermesraan di pondok yang berada di tengah kebun kedelai milik ayah pemuda itu. Jama tertawa terbahak-bahak menggoda kekasihnya.

"Sebenarnya aku sangat sedih bakal kehilangan dirimu Jama."

"Kamu tidak akan kehilangan diriku, asalkan kamu mau mengikuti semua arahanku..."

Nanna mengernyitkan keningnya, bingung mendengar permintaan Jama.

"Arahan apa itu?"

"Kamu menikah dengan Anto dan hubungan kita tetap berjalan seperti biasa. Aku pikir pondok bambu ini selalu merindukan kehadiran dirimu bersamaku. Hahahahaha..." tawa Jama menggelegar mengejutkan gerombolan burung pipit yang hendak hinggap di titian bambu. Nanna memandang penuh senyum lelaki yang duduk di sebelahnya. Dia sudah lama kenal dengan Jama dan menyukai perangai culas yang dipunyai lelaki itu. Hari ini Jama terlihat sangat tampan dengan kemeja dan celana jeans 'cakar' yang dibelinya di pasar Toddopuli. Cakar adalah istilah untuk pakaian bekas impor yang dibawa masuk ke kota Makassar. Perempuan itu menghela nafas, membiarkan angin kebun membelai wajahnya yang berbedak dan gincu tebal warna menyala.

"Ceritanya aku tetap menikah dengan Anto, begitu maksudmu?"

"Tepat sekali."

"Bagaimana dengan hubungan kita?"

"Kita tetap lanjut bertemu seperti biasa, tapi kamu harus membawa pembeli rokok setiap kali berjumpa denganku di sini," Jama menggerakkan  ibu jari dan telunjuknya secara bersamaan. Nanna tertawa lebar.

"Tanpa kamu minta, aku tetap membawakanmu uang rokok... ambillah," Nanna membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembaran warna merah.

"Kamu hebat Nanna, belum menikah kamu sudah punya banyak uang. Lihatlah pakaian dan perhiasan emas yang kamu miliki. Luar biasa..." lelaki itu berdecak kagum. Nanna cengengesan. Dia menggelayut manja di lengan kekar sang pemuda tambatan hati.

"Anto tinggal dengan Neneknya. Bagaimana caranya aku menghindari kungkungan perempuan tua yang bisu dan penyakitan itu?"

"Kamu percepat saja perjalanannya menuju pintu neraka. Dia kan penderita sakit kandala. Penyakit itu tidak ada obatnya dan sangat berbahaya untuk masa depan anak-anakmu," suara Jamal bergidik ngeri.

"Adakah idemu?"

"Sini aku bisikkan caranya," Jama mendekatkan mulutnya ke telinga Nanna. Perempuan itu mendesah genit.

*

Sapiah adalah anak perempuan dari kerabat Anto yang bertinggal di belakang rumah milik Nenek Labbang. Setiap hari sepulang sekolah, murid kelas tiga Sekolah Dasar itu gemar mengaso di atas balai-balai yang berada di kolong rumah panggung sang Nenek. Hari itu, tanpa sengaja dia melihat kedatangan Nanna yang mengendap-endap menaik tangga rumah panggung. Sejak lama Sapiah tidak menyukai Nanna yang dianggapnya sebagai gadis sombong dan pelit senyum. Bibir merahnya hanya merekah untuk Anto seorang dan sangat berbeda perilaku di belakang lelaki itu. Kepalsuan ini membuat bola mata Sapiah cermat mengamati pergerakan Nanna.  Dia menaik anak tangga kayu secara diam-diam dan berhenti pada sebuah lubang di dinding kayu rumah panggung. Matanya menatap tajam ke arah Nanna yang berjalan menuju ke dipan Nenek Labbang yang terbaring sakit. Dari tempatnya mengintip, Sapiah dapat mendengar suara Nanna yang cempreng memenuhi ruang tamu. Dilihatnya Nanna mengguncang-guncang bahu Nenek Labbang sehingga perempuan itu terbatuk-batuk.

"Kamu hanyalah perempuan tua bisu dan kandala yang akan menghancurkan mahligai pernikahanku dengan Anto. Penyakit yang kamu sembunyikan di balik kaus kakimu adalah pertanda bahwa kamu orang munafik yang menyembunyikan kebenaran. Aku berharap nyawamu duluan melayang sebelum aku duduk di pelaminan bersama cucu tololmu yang bernama Anto...."

Dilihatnya Nanna membanting piring berisi makanan ke lantai kayu. Piring itu pecah dan tumpahannya berhamburan kemana-mana. Sapiah yang menguping dari balik dinding kayu merasa sangat terguncang. Kaki telanjangnya lincah menuruni anak tangga. Secepat kilat dia berlari menembus semak yang berada di belakang rumah. Sapiah sudah tidak lagi merasakan tajam batu kerikil menggores telapak kakinya tanpa alas. Otaknya berputar cepat menelusur keberadaan Anto. Dia terus berlari mencari pemuda itu yang sedang berada di tengah ladang jagung menjelang panen.

"Om Anto, segeralah pulang ke rumah. Nenek Labbang...dia... dia...." tangis Sapiah pecah membuat Anto kelabakan.

"Ada apa dengan Nenek Labbang?"

"Nanna datang mengamuk ke rumahmu, dia menunjuk-nunjuk dan mengancam Nenek Labbang."

"Dasar perempuan jahat, tidak akan kuampuni orang yang telah menyakiti Nenekku," Anto membuang parang yang dipegangnya.

"Sekarang kamu pergi ke rumah Nanna, panggil kedua orang tuanya segera ke rumahku. Aku ingin menunjukkan bukti kejahatan anaknya," Anto segera berlari ke menuju ke rumahnya.

*

Nenek Labbang adalah ibu dari Manisa, perempuan yang melahirkan Anto ke dunia. Manisa meninggal saat melahirkan Anto. Suami yang tidak kuat ditinggal oleh istri tercinta memutuskan pergi merantau ke negeri antah berantah dan menghilang sampai hari ini. Nenek Labbang merawat cucu laki-lakinya dengan sepenuh hati. Kampung terpencil dengan transportasi terbatas menyebabkan lidah Anto tidak pernah mengenal kelezatan susu formula bayi yang dijual secara komersil. Dia dibesarkan dengan air tajin dan bubur tepung beras merah diberi sedikit gula pasir. Anto tumbuh menjadi anak yang tampan dan giat membantu Neneknya. Hati Anto sangat pedih mendengar laporan Sapiah. Lelaki itu berlari menembus terik matahari. Dia mempercepat langkahnya menuju ke rumah dengan tangan mengepal erat penuh kemurkaan.

"CUKUP! Kamu benar-benar keterlaluan Nanna."

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari pintu rumah. Anto masuk ke dalam ruang tamu dengan muka merah padam. Matanya memancarkan amarah luar biasa pada perempuan cerewet yang telah menyakiti hati Nenek Labbang. Nanna sangat terkejut dan merasakan lidahnya tiba-tiba kelu. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Dia tidak menyangka Anto bakal datang di saat dirinya belum meninggalkan rumah panggung itu. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Kejahatannya terkuak karena ulahnya sendiri. Nenek Labbang terbaring lemah di atas dipan di sudut ruang tamu. Perempuan tua itu terisak menahan tangis ketakutan. Dia segera menjulurkan kedua lengannya saat melihat kedatangan cucu kesayangan. Anto memeluk erat tubuh sang Nenek yang gemetar. Nanna merasakan hatinya ketar ketir saat Anto memandang tajam kepadanya. Anto sangat terkejut melihat piring pecah dan makanan berhamburan di lantai kayu. Itu adalah sisa makanan Neneknya saat sarapan yang bakal dimakan lagi siang itu.

"Nenek Labbang adalah segala-galanya untukku. Aku tidak mau mendengar penghinaan apapun tentang keadaan Nenekku. Beliaulah yang membesarkan dan membiayaiku sejak kedua orang tuaku tiada," Anto mengelus lembut dahi neneknya yang berlinang air mata. Perempuan ringkih itu terbaring lemah di tempat tidur. Telapak tangannya terasa sangat dingin karena ketakutan.

"Nenekmu selalu mengenakan kaus kaki, itu kan tanda bahwa dia menderita penyakit kandala."

"Katakan padaku, siapa yang bilang bahwa Nenekku sakit kandala? Jika dia benar sakit kandala, kamu tidak berhak menghakimi beliau seperti ini," suara Anto terdengar meninggi. Dia merasa sangat kesal Nanna telah datang memaki Neneknya. Dilihatnya kedua orang tua Nanna ditemani Mak Comblang dan beberapa orang kerabatnya masuk ke dalam ruang tamu dengan wajah sangat ketakutan. Pintu rumah dan jendela sudah penuh ibu-ibu tetangga yang haus hiburan gratis. Terdengar suara ghibah saksi mata berkumandang bagai dengung lebah.

"Aku mendengar kabar bahwa perempuan tua itu sakit kandala. Dengar ya, aku tidak mau anak-anakku menderita penyakit mengerikan itu akibat tertular dari Nenekmu," Nanna kembali menunjuk Nenek Labbang yang masih menangis.

"Nenekku menderita penyakit kencing manis yang parah sehingga jari kakinya mengalami gangren dan harus diamputasi. Itulah alasan mengapa dia selalu mengenakan kaus kaki. Kalau tidak percaya, lihatlah hasil tes dari laboratorium. Nenekku bersih dari penyakit kandala," Anto mengambil sebuah map dan melemparkannya di kaki Nanna. Kedua orang tua Nanna, Mak Comblang dan semua kerabatnya terduduk lemas di dekat Nanna yang berdiri bertolak pinggang. Nanna gelagapan mendengar penjelasan Anto. Duh.... Rasanya malu sekali telah mendengarkan fitnah dari Jama. Ternyata berita sakit kandala itu hanya hoaks belaka.

"Sekarang terserah kamu mau melanjutkan pernikahan ini atau tidak. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kata-kata lancang yang telah dilontarkan Nanna pada Nenekmu," terdengar suara Naimah, Maknya Nanna sambil menahan tangis. Wajahnya seakan ditampar melihat kelakuan Nanna yang telah menyakiti hati calon suami dan Nenek mertua. Anto mengelap keringat yang menetes di dahinya. Hatinya kesal luar biasa.

"Semua biaya pernikahan ditanggung oleh Nenekku. Beliau telah merelakan sawahnya dijual untuk melihatku menikah dan membangun keluarga samawa. Bagaimana pendapatmu Nek, apakah rencana pernikahan ini dapat kulanjutkan?" lelaki itu menyapu lembut air mata yang kembali menetes dari pipi sang Nenek. Mata perempuan tua itu menyiratkan kepedihan mendalam. Belum resmi menikah, sifat Nanna sudah seperti ini. Bagaimana jika Nanna telah resmi menjadi istri Anto? Ada kemungkinan dia kalap mencekik sang Nenek yang tidak berdaya di tempat tidur dan menghabiskan seluruh simpanannya untuk berfoya-foya. Nenek Labbang memegang jemari Anto. Perempuan bisu itu terpapar tidak berdaya. Matanya menyiratkan kata sangat tidak setuju melanjutkan rencana pernikahan Anto dan Nanna. Anto mendehem pelan, matanya memejam, meresapkan benar ke dalam hatinya permintaan sang Nenek tercinta. Mak, Bapak, Mak Comblang dan kerabat lainnya yang duduk di lantai rumah panggung harap-harap cemas menanti keputusan Anto. Nanna membuang muka menatap ke arah pintu rumah yang dipenuhi tetangga. Mereka terdiam menunggu vonis Anto.

"Setelah kejadian ini, aku mohon maaf tdak dapat melanjutkan pernikahan ini," dingin sekali suara Anto.

"Awwweeee Nannaaaaaa....." Mak terpekik histeris.

"Apa yang harus kukatakan pada keluarga dan orang-orang yang telah menerima undangan pernikahan kalian? Betapa besar rasa malu yang harus kutanggung," Mak jejeritan mendengar keputusan Anto.

"Anakku... mohon pikirkan keputusanmu. Saya merasa Nanna masih dapat mengubah perangainya. Dia hanya khilaf," perempuan bertubuh tambun yang menjadi Mak Comblang mencoba menengahi suasana.

"Aku tetap pada keputusanku. Sekarang aku minta pengembalian perhiasan emas, barang-barang seserahan dan setengah uang panai yang aku bawa saat melamar perempuan ini. Semua harus kembali utuh sebelum tanggal pelaksanaan pernikahan," Anto menjawab tegas. Dia sudah mencium aroma perselingkuhan karena seorang kerabatnya pernah memergoki Nanna bermesraan bersama Jama di tengah kebun kedelai.

"Jadi Nak Anto? Sudah fix keputusanmu itu?"

"Silahkan Ibu dan Bapak membawa Nanna pulang ke rumah. Saya tidak sudi menikah dengan perempuan yang suka bermain cinta dengan lelaki lain di belakangku," Anto mendekap erat sang Nenek dalam pelukannya. Semua orang terperangah dan memandang Nanna yang menutup wajahnya penuh rasa malu (srn).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun