"Bu... kenapa kolak ini banyak sekali ampasnya?" teriak Pak Martono saat menikmati suapan pertama dari semangkuk kolak pisang.
"Ampas bagaimana maksudmu Pak?"
Pak Martono memperlihatkan kumpulan serabut warna gelap berada di ujung sendoknya. Lelaki itu mencoba membersihkan sisa ampas yang tersangkut di sela giginya dengan memakai lidah dan meludahkannya ke lantai.
"Kolak ini tidak enak, gula arennya sangat pahit. Memangnya beli dimana gula aren ini?"
"Aku beli gula aren buatan Daeng Takko."
"Aneh sekali... kenapa gula aren Daeng Takko begini rasanya. Cuhhh..."
Pak Martono meninggalkan sisa kolak di dalam mangkuk. Rasa penasaran memaksa Bu Martono mencicip sedikit kuah kolak. Ternyata benar kata suaminya, kolak itu terasa pahit dan banyak ampas singgah di lidahnya. Perempuan itu kebingungan dan berjalan menuju ke dapur sambil mengangkat mangkuk berisi sisa kolak.
*
Ternyata bukan hanya Pak Martono yang komplain tentang kualitas gula aren milik Daeng Takko. Sebagian besar ibu-ibu lainnya juga mengalami hal serupa.
"Daeng Takko...assalamu alaikum," terdengar suara seorang perempuan dari arah pintu rumah. Naimah- istri Daeng Takko segera keluar dari dapur menuju ke sumber suara.
"Wa alaikum salam, silahkan masuk Bu Martono," ajak Naimah kepada tamunya namun perempuan itu tampak sangat marah. Dia mengerucutkan bibir tipisnya.
"Kembalikan uang pembeli gula arenmu ini," Bu Martono membanting kantong kresek itu ke lantai rumah. Bongkahan gula aren terserak di hadapan Naimah.
"Kenapa gula aren kami Bu?"
"Gulamu sangat jelek, pahit sekali dan banyak ampasnya. Kalau menjual jangan hanya mencari untung tapi pikirkan kualitasnya."
"Ya Allah... selama ini kami selalu menjual gula yang paling bagus."
"Banyak sekali bicaramu. Sekarang kembalikan uangku," Bu Martono memberikan kode supaya Naimah mengembalikan uang yang telah diberikannya. Penuh isak tangis, Naimah masuk ke dalam kamar dan keluar membawa beberapa lembaran rupiah di tangannya.
"Kalau dagang, jangan uang saja di otakmu. Pikirkan juga lidah kami yang makan gula arenmu," Bu Martono merampas lembaran uang dan mengentakkan kakinya meninggalkan rumah itu diiringi isak tangis Naimah.
"Ada apa ribut-ribut di luar?" Daeng Takko bertanya lirih saat melihat istrinya masuk ke dalam kamar.
"Tidak ada apa-apa," elak sang istri.
"Jangan bohong, kudengar tadi suara perempuan marah tentang gula aren. Kenapa dia?" terdengar gelegar suara Daeng Takko memarahi istrinya.
*
Rimbang tidak berkutik. Perbuatan jahatnya telah tertangkap basah dan banyak saksi mata melihatnya. Â Segera Rimbang dibawa ke rumah Pak RT. Sekejap saja, halaman rumah Pak RT dipenuhi masyarakat penuh rasa ingin tahu. Rimbang duduk bersimpuh dekat kaki Pak RT.
"Kenapa kamu berlaku jahat seperti ini di pondok Daeng Takko?"
Pemuda ceking itu meremas jarinya.
"Lihat mataku dan jawab pertanyaanku," suara Pak RT menggelegar. Tubuh Rimbang terhuyung ke samping, bibirnya kaku tidak dapat berkata apapun.
"Kenapa kamu begitu jahat merusak hasil kerja keras Daeng Takko? Perbuatanmu ini telah memecahkan piring nasi keluarga itu."
Rimbang tetap membisu dan menundukkan kepalanya.
"Cepat jawab pertanyaan Pak RT," seseorang dari belakang menoyor kepala pemuda berambut gondrong itu. Rimbang memandang wajah Pak RT dan semua orang di sekitarnya. Bola matanya berkilat marah.
"Kenapa kamu diam? Kami tidak ragu malam ini akan membawamu ke kantor Polisi," terdengar suara Daeng Takko mengancam Rimbang. Mendengar kata kantor Polisi, nyali Rimbang langsung ciut.
"Silahkan bungkam, nanti Polisi yang memaksamu membuka mulut."
Pemuda bertubuh ceking itu mengusap wajahnya. Dia memandang wajah Pak RT dan semua orang di situ. Matanya memancarkan dendam kesumat.
"Aku yakin kamu sudah berkali-kali melakukan tindakan kejam ini. Mengapa kamu tega merusak nira Daeng Takko? Apakah kamu iri dengan kesuksesan keluarga ini?"
Rimbang tetap membisu. Orang-orang yang tidak sabaran segera membawa Rimbang ke kantor Polisi dan dimasukkan ke dalam sel.
*
Rimbang, pemuda pengangguran yang suka berbuat kriminal. Dia adalah pecandu miras dan gemar bermain judi. Rimbang adalah tipikal pemain buruk tanpa modal dan selalu kalah taruhan. Rasa kesal karena hasratnya menang judi tidak pernah terpenuhi menyebabkan Rimbang gelap mata melakukan apa saja untuk mendapatkan uang, termasuk mencuri ayam milik tetangga dan mencelakai orang. Tidak ada modal berjudi dan kasih tidak sampai menyebabkan Rimbang kalap. Lelaki bermasa depan suram ini menaruh dendam membara kepada lelaki pembuat gula aren bernama Daeng Takko. Dia melarang Lela, anak gadisnya pacaran dengan Rimbang.
Suatu hari Rimbang menunggu Lela pulang sekolah. Dia bersembunyi di balik tembok dan menghampiri sang gadis  saat berjalan sendirian.
"Lela..." terdengar suara sang pemuda memanggilnya dari belakang. Lela menoleh, senyum di wajahnya hilang melihat kehadiran pemuda kumal itu.
"Bagaimana kabarmu Lela? Aku rindu padamu."
Gadis itu mendengus kesal.
"Lela... mengapa kamu selalu menghindar? Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?"
"Aku ingin melanjutkan sekolahku dan jangan pernah menaruh harapan padaku."
"Aku tidak melarangmu bersekolah, asalkan kamu tetap mau bersamaku selalu."
Lela menghentikan langkahnya dan memandang wajah Rimbang.
"Apa yang dapat kubanggakan darimu? Kamu tidak pernah mengubah perilaku burukmu."
"Katakan apa yang harus kulakukan?"
"Carilah pekerjaan halal. Kamu semakin menua, tubuhmu semakin ringkih, kamu mau jadi pemabuk sepanjang hidupmu?"
"Katakan aku harus cari kerja dimana?"
"Lahh.. mengapa bertanya padaku? Sebagai laki-laki bertanggung jawab, kamu harus mampu mencari pekerjaan secara mandiri. Gunakan otakmu untuk mencari pekerjaan halal."
Rimbang gelagapan mendengar tuntutan Lela.
"Oh... ternyata begini maumu, pantaslah aku dibenci orang tuamu karena kamu tidak pernah membelaku di hadapan mereka."
"Jika kupikirkan secara matang, saran orang tuaku sangat bagus untuk masa depanku. Berat sekali langkahku menjalin hubungan dengan lelaki yang tidak direstui orang tuaku," kalimat Lela terdengar sangat pedas.
"Kamu mau putus?"
"Jangan pernah menggangguku lagi," Lela berlari meninggalkan Rimbang yang ternganga tidak percaya ditinggal sang pujaan.
*
Penolakan Lela menimbulkan gejolak sakit hati dalam dada Rimbang dan dilampiaskan kepada Daeng Takko. Dia mengamati aktivitas harian lelaki itu mengolah nira menjadi gula aren. Rimbang melihat setiap pagi Daeng Takko memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Calon bapak mertuanya menyantol sebatang bambu diikat tali di dekat pelepah bunga aren untuk diambil niranya. Setelah salat Zuhur, Daeng Takko datang memanen nira yang telah ditampung sejak pagi. Nira yang diperoleh segera dimasak dalam wajan di atas  tungku kayu berada di pondok dalam kebun aren. Naimah bertanggung jawab memasak nira sampai menjadi gula. Rimbang memperhatikan ritual keluarga ini selama beberapa hari sebelum menjalankan niat gilanya.
"Ayo kita pulang Pak, hujan bakal turun sangat deras hari ini. Kata Pak RT, sudah terjadi banjir di hulu."
"Tunggu Bu, kututup dulu nira ini. Semoga besok pagi kita dapat segera mengolahnya menjadi gula aren."
"Simpan di tempat biasa, insya Allah aman," percakapan itu di dengar oleh Rimbang. Pemuda jahat itu memperhatikan saat Daeng Takko menyimpan nira hasil sadapannya. Setelah pasutri itu mengunci pintu pondok, mereka bergegas pulang karena awan gelap telah menutupi langit. Â Rimbang tetap tinggal mengamati orang tua Lela sampai menghilang dari pandangan. Keesokan harinya Rimbang menunggu kesempatan menjalankan aksinya merusak nira hasil sadapan Daeng Takko. Dia sudah menahu benar dimana Daeng Takko menyimpan sisa nira yang belum diolah. Dia berjalan di dalam pondok gelap dengan bantuan senter dan dia menemukan puluhan bambu berisi nira dibungkus terpal. Senyuman jahat merekah di wajahnya. Diambilnya bungkusan berisi bubuk ajaib dari dalam saku celana dan menuangkan isinya ke dalam semua tabung bambu itu.
"Lela... kau rasakan pembalasanku karena kamu menolakku mentah-mentah. Terima jugalah rasa sakit hatiku Daeng Takko. Kuhancurkan kehidupan keluargamu dengan hadiahku ini," disemburkannya ludah ke dalam bambu yang sudah dibuka tutupnya. Bagaikan orang kesurupan, Rimbang tertawa menggelegar dalam kesunyian malam di kebun aren.
*
Tragedi mengerikan mulai menimpa keluarga Daeng Takko. Pasutri itu sangat terkejut mengapa semua pembeli gula arennya melakukan komplain yang sama, gula terasa sangat pahit dan mengandung banyak ampas. Bahkan ada yang muntah dan sakit perut setelah memakannya. Daeng Takko sangat curiga seseorang telah melakukan sabotase produknya. Dia segera bertindak cepat. Puncaknya, Rimbang tertangkap basah saat sibuk menambahkan bubuk rahasia berupa serbuk kapur campur tanah liat dan guntingan serabut aren ke dalam tabung nira yang bakal diolah menjadi gula aren. Lelaki jahat itu mengguncang bambu supaya nira bercampur dengan ramuan ajaibnya. Kejadian itu membuat Lela sangat yakin memutuskan hubungan dengan Rimbang dan lelaki itu masuk ke dalam tahanan polisi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya (srn).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI