Rimbang tidak berkutik. Perbuatan jahatnya telah tertangkap basah dan banyak saksi mata melihatnya. Â Segera Rimbang dibawa ke rumah Pak RT. Sekejap saja, halaman rumah Pak RT dipenuhi masyarakat penuh rasa ingin tahu. Rimbang duduk bersimpuh dekat kaki Pak RT.
"Kenapa kamu berlaku jahat seperti ini di pondok Daeng Takko?"
Pemuda ceking itu meremas jarinya.
"Lihat mataku dan jawab pertanyaanku," suara Pak RT menggelegar. Tubuh Rimbang terhuyung ke samping, bibirnya kaku tidak dapat berkata apapun.
"Kenapa kamu begitu jahat merusak hasil kerja keras Daeng Takko? Perbuatanmu ini telah memecahkan piring nasi keluarga itu."
Rimbang tetap membisu dan menundukkan kepalanya.
"Cepat jawab pertanyaan Pak RT," seseorang dari belakang menoyor kepala pemuda berambut gondrong itu. Rimbang memandang wajah Pak RT dan semua orang di sekitarnya. Bola matanya berkilat marah.
"Kenapa kamu diam? Kami tidak ragu malam ini akan membawamu ke kantor Polisi," terdengar suara Daeng Takko mengancam Rimbang. Mendengar kata kantor Polisi, nyali Rimbang langsung ciut.
"Silahkan bungkam, nanti Polisi yang memaksamu membuka mulut."
Pemuda bertubuh ceking itu mengusap wajahnya. Dia memandang wajah Pak RT dan semua orang di situ. Matanya memancarkan dendam kesumat.
"Aku yakin kamu sudah berkali-kali melakukan tindakan kejam ini. Mengapa kamu tega merusak nira Daeng Takko? Apakah kamu iri dengan kesuksesan keluarga ini?"