“Aku tidak mau berlama-lama lagi, Zarek Nocturne. Cepatlah memohon ampun kepada Dewi Bulan, Wolfram dan saudara seperguruanmu sebelum aku mengirimmu kembali ke neraka.”
“Kamu semakin pintar mengancamku ya. Apakah kamu merasa Bola Emerald dan Wolfram tua bangka itu mampu melindungimu dari kekuatan dahsyatku? Jangan bermimpi gadis kecil.”
Himeko memejamkan matanya. Jiwanya menyatu ke dalam Bola Emerald. Pertarungan sengit tidak dapat dielakkan dan keduanya mengeluarkan jurus andalan masing-masing.
“Segera berlutut mohon maaf kepada Wolfram atas kesalahanmu sebelum engkau kuhabisi,” Himeko kembali mengingatkan Zarek Nocturne, si murid murtad.
“Justru Wolfram harus berlutut mohon ampunanku. Karena dialah mataku menjadi cacat seperti ini,” Zarek Nocturne menunjuk kelopak matanya yang bolong tertusuk pedang Wolfram saat dia akan membunuh gurunya. Zarek Nocturne mengarahkan pedangnya ke leher Himeko.
“Kamu memang keras kepala,” Himeko mengarahkan Bola Emerald ke dada Zarek Nocturne. Bola ajaib itu mengeluarkan cahaya hijau. Tubuh Zarek Nocturne tumbang ke tanah bersimbah darah karena isi dadanya berhamburan. Himeko kembali mengarahkan Bola Emerald ke tubuh Zarek Nocturne dan cahaya suci Bola Emerald membakar jasad itu. Seiring terbakarnya jasad Zarek Nocturne, maka istana, semua pengikut dan pohon sialang penyangganya berubah menjadi debu. Langit gelap menjadi terang benderang, ladang padi emas dan padang pasir berubah menjadi hamparan hijau memenuhi pemandangan. Semua kutukan musnah dan tikus bergigi biru berubah menjadi manusia lagi, termasuk orang tua Himeko dan Mr. Augusta. Lelaki itu pergi meratapi penggalan kepala istrinya yang tergeletak di atas tanah berdebu.
“Ayah dan Ibu,” Himeko berteriak senang sambil melambaikan tangan kepada pasangan yang terlihat kebingungan. Uno Wooden dan istrinya sangat terkejut melihat kehadiran Himeko. Ibunya langsung berlari dan memeluk anak gadisnya penuh kerinduan.
“Anakku sayang, begitu lama Ibu selalu merindukan kehadiranmu,” Ibu mencium pipi Himeko. Uno Wooden datang dan memeluk mereka berdua.
“Sebelum kita pulang, sudilah Ayah dan Ibu mengantarkanku membuang abu perusuh ini ke pegunungan,” Himeko menjentikkan jarinya dan semua abu jasad Zarek Nocturne masuk ke dalam guci porselen yang berada di tangannya. Orang tuanya sangat takjub melihat kemampuan anaknya itu.
“Kita menaik apa? Ke gunung itu jauh…” ibu Himeko mendesis kuatir.
“Ayah dan Ibu, silahkan berdiri di sampingku,” mereka bertiga menghilang dibawa angin menuju ke pegunungan untuk membuang abu Zarek Nocturne.