Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers. Cerpen pertama Kartini Dari Negeri Kegelapan menjadi Juara III Lomba Menulis Cerpen (Defamedia, Mei 2023); Predikat Top 15 Stories (USK Press, Agustus 2023); Juara II Sayembara Cerpen Pulpen VI (September 2023); Juara II Lomba Menulis Cerpen Bullying (Vlinder Story, Juni 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Agustus 2024); Juara III Lomba Menulis Cerpen The Party's Not Over (Vlinder Story, Agustus 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Oktober 2024). Novel yang telah dihasilkan: Baine (Hydra Publisher, Mei 2024) dan Yomesan (Vlinder Story, Oktober 2024). Instagram: @srifirnas; personal website https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[3] Di Balik Pintu Kematian: Pekik Keramaian

14 Desember 2024   09:00 Diperbarui: 14 Desember 2024   14:31 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri NurAminah (Oktober, 2023)

Himeko kehilangan Bola Emerald yang dipercayakan oleh Wolfram. Apa yang harus dilakukannya jika bola ajaib itu lenyap karena kelalaiannya?

SETELAH kebingungan kiri kanan, Himeko memejamkan mata pasrah. Dia tidak mampu mencari kemana hilangnya Bola Emerald. Jemarinya refleks meraba saku celananya, ternyata Bola Emerald itu masih berada di dalamnya. Himeko mendengus penuh rasa syukur. Segera diangkatnya bola ajaib itu dan diperhatikannya dengan seksama. Sebelumnya Himeko hanya menahu legenda  Bola Emerald dari cerita ayahnya namun belum pernah melihat performa seutuhnya. Diperhatikannya Bola Emerald yang kini berada dalam genggaman tangannya. Dia merasa bagaikan bermimpi, memegang Bola Emerald dengan telapak tangannya. Bola ajaib itu berukuran seperti bola kasti dan berwarna hijau zamrud. Di bagian dalamnya terdapat ukiran naga bercahaya dalam kegelapan. Tiba-tiba terdengar sebuah suara bariton keluar dari Bola Emerald.

"Setelah kesehatanmu pulih, kamu datangi istana Zarek Nocturne. Katakan pada pengawalnya, kamu menantang duel Zarek Nocturne seperti yang telah kamu lakukan di masa lalu bersama Wolfram. Jika Zarek Nocturne telah mati, bakarlah jasadnya dengan memakai cahaya suci Bola Emerald dan buang abunya dari atas pegunungan. Dia tidak dapat dibangkitkan lagi dengan ritual apapun."

“Baiklah, aku bersedia melaksanakan titahmu. Bagaimana dengan kesehatanku? dadaku terasa sangat sesak. Kata Margo Augusta, tampaknya aku menderita luka dalam yang dapat memendekkan umurku,” Himeko berbisik pada Bola Emerald.

“Kamu rendam Bola Emerald ini ke dalam segelas air. Minumlah airnya dan sapukan sisa airnya ke semua luka yang ada di badanmu. Saat dinihari menjelang, kesehatanmu pulih seperti sediakala.”

Himeko tersenyum senang. Dia segera melakukan titah itu dan  meminum air rendaman Bola Emerald. Himeko merasakan sensasi luar biasa  dan sangat segar karenanya. Pagi hari, penuh rasa kesal Margo Augusta membawakan sarapan berupa talas rebus, semangkuk kaldu ayam bercampur lada bubuk. Dihempaskannya baki berisi makanan di atas meja dekat dipan Himeko sehingga sendoknya jatuh ke lantai.

“Kamu telah membuatku repot pagi ini karena melayanimu,” wajah dingin Margo menelisik Himeko yang memandangnya sambil mengucapkan terima kasih.

“Setelah sarapan aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Aku juga tidak ingin menimbulkan kekacauan terlalu lama berada di rumah ini.”

“Aku rasa itu pilihan terbaik untukmu,” Margo Augusta menendang sendok di lantai dan segera meninggalkan Himeko. Gadis itu memakan sarapannya memakai tangan. Dia merasa sangat bugar setelah semalam meminum ramuan dari Bola Emerald.

            Selesai sarapan, Himeko segera menuju ke ruang tamu. Dia melihat Mr. Augusta sedang bercakap-cakap dengan istrinya.

“Mohon maaf aku mengganggu waktu kalian. Aku akan pulang ke rumahku sekarang. Terima kasih banyak atas keramahan kalian selama aku berada di sini.”

“Mengapa kamu mau pergi sekarang? Bukankah kamu masih sakit?” Mr. Augusta bertanya cemas.

“Aku merasa itu keputusan terbaik Himeko. Kamu dapat bersembunyi untuk menghindari kejaran Zarek Nocturne dan tidak mengundang datangnya musibah ke rumah ini.”

“Margo… Himeko masih sakit, dia butuh perawatan kita.”

“Augusta, sejak kapan kamu bersimpati dengan penderitaan orang? Dia bukan anak kita, apalagi kerabat. Aku tidak mau tertangkap basah menyembunyikan pengkhianat dan kena hukuman Zarek Nocturne. Aku tidak mau dikutuk menjadi tikus bergigi biru seperti yang telah menimpa Uno Wooden dan istrinya. Mereka telah menjadi budak Zarek Nocturne di istananya yang berada di pohon sialang.”

“Margo! Hentikan omong kosongmu,” Mr. Augusta menatap cemas wajah Himeko yang terkejut bukan main mendengar informasi itu dari mulut istrinya.

“Mengapa kamu berbohong padaku? Kemarin kamu mengatakan orang tuaku telah mati. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka? Katakan padaku Mr. Augusta.”

“Himeko, orang tuamu dikutuk Zarek Nocturne menjadi tikus bergigi biru. Silahkan datang ke istananya untuk bertemu dengan orang tuamu yang telah menjadi budak di sana,” Margo menjawab bengis pertanyaan Himeko.

“Kalian keterlaluan, kalian pembohong,” Himeko berlari keluar rumah sambil menangis pilu. Mr. Augusta menggeretakkan gerahamnya. Matanya nyalang menatap wajah tirus Margo.

“Kamu sungguh kejam Margo. Untuk apa kamu ceritakan rahasia ini kepada Himeko?”

“Ini bukan kejam tapi realitas. Untuk apa kamu berbohong pada Himeko? Mau menarik simpati anak itu?”

“Aku kuatir keselamatannya. Pasti dia akan mencari orang tuanya di istana Zarek Nocturne.”

“Kenapa kamu harus cemas? Sekarang pikirkan bagaimana kita dapat hidup aman tanpa gangguan Zarek Nocturne. Aku bosan setiap tahun harus mengirim upeti padi emas kepada penguasa laknat itu. Seharusnya dia memberikan upeti kepada kita karena telah mengembalikan nyawanya.”

“Diamlah Margo, mulut lancangmu dapat membawa kita menjadi tikus bergigi biru seperti yang dilakukan oleh Zarek Nocturne pada Uno Wooden dan istrinya,” maki Mr. Augusta. Lelaki itu meninggalkan istrinya yang cemberut.

*******

           

Himeko menangis dan terus berlari menuju ke istana Zarek Nocturne. Tiba-tiba dia berhenti dan mengeluarkan Bola Emerald dari sakunya.

“Wahai Dewi Bulan dan Bola Emerald. Mohon bantuanmu untuk mengenyahkan Zarek Nocturne dan menyelamatkan kedua orang tuaku dari kutukannya,” Himeko mencium bola ajaib itu dan menempelkannya di dahinya. Muncullah asap tipis menutupi seluruh tubuhnya. Ternyata dia telah berganti baju dan  badannya melayang menembus awan. Himeko  mendarat dengan selamat di hadapan pohon sialang yang menopang istana Zarek Nocturne. Sepasukan lebah maut mendatanginya.

“Kamu datang mencari mati ya?” lebah maut itu mengejek Himeko yang mengenakan baju dan ikat kepala berwarna putih. Wjah gadis itu memancarkan cahaya berkilau.

“Sampaikan pada Zarek Nocturne, aku menantangnya untuk berduel di sini.”

“Lancang sekali kamu langsung menyebut nama Yang Mulia. Memangnya dia siapamu?” lebah maut itu akan menusukkan pedang beracunnya ke dada Himeko namun dia terpental. Tubuhnya terdorong kekuatan tidak terlihat. 

“Kurang ajar, kamu mau pamer kekuatan di sini? Rasakan tikaman pedangku,” sang lebah maut kembali menusuk dada Himeko namun gagal. Ulahnya menjadi bahan tertawaan lebah maut lainnya. Segera terdengar yelyel sangat menyakitkan hati.

“Masa lebah maut kalah sama perempuan.”

“Wehhh… tunjukkan kekuatan pedangmu. Tidak ada apa-apanya kamu ini. Hahahaha….”

“Yaelah… masa takut sama anak bau kencur?”

Yelyel ini membuat sang penyerang gelap mata. Dia berlari kencang dan segera menusukkan pedangnya ke dada Himeko. Sayangnya ujung pedang itu berbelok dan menusuk perutnya. Darah hitam muncrat dari bekas tusukan, tubuh si penyerang tumbang mencium bumi. Pasukan lebah maut lainnya segera merubung Himeko dan semuanya tumbang berlumuran darah.

*******

Nun jauh di dalam balairung istana, jantung Zarek Nocturne tiba-tiba deg-degan. Diciumnya aroma kematian memasuki ruangan tempatnya bersantai. Sebelum beranjak dari tahtanya, serombongan lebah maut datang melaporkan keributan yang terjadi. Zarek Nocturne segera meraih pedangnya dan menuju arena. Dia merasa malaikat maut telah datang untuk menjemputnya kembali ke alam baka. Dia mau hidup dalam keabadian dan tidak mau terganggu oleh persoalan receh. Dengan anggun Zarek Nocturne melayang turun menemui lawannya.

“Kita bertemu untuk kedua kalinya, hai penguasa dzolim,” Himeko menyapa Zarek Nocturne.

“Kamu mau seperti dia?” Zarek Nocturne menunjukkan tongkat berisi penggalan kepala Margo Augusta ke hadapan Himeko. Mata mayat itu membelalak seram dan mulutnya menganga mengeluarkan darah. Gadis itu merasakan perutnya mual seketika.

“Perempuan ini telah membangkitkanku dari kematian, namun dia termakan oleh ritual sumpahnya. Kamu mau menjadi seperti dia?”

“Kapan kamu membunuhnya?” Himeko bertanya gagap.

“Setelah kamu meninggalkan rumahnya, pasukanku datang mengobrak abrik tempat itu dan memenggal kepala pemiliknya. Augusta kubiarkan menjadi budakku, itu dia sedang menjilat sepatuku,” Zarek Nocturne menendang seekor tikus gemuk yang berada di dekat sepatunya. Himeko terpekik ngeri.

“Aku tidak mau berlama-lama lagi, Zarek Nocturne. Cepatlah memohon ampun kepada Dewi Bulan, Wolfram dan saudara seperguruanmu sebelum aku mengirimmu kembali ke neraka.”

“Kamu semakin pintar mengancamku ya. Apakah kamu merasa Bola Emerald dan Wolfram tua bangka itu mampu melindungimu dari kekuatan dahsyatku? Jangan bermimpi gadis kecil.”

Himeko memejamkan matanya. Jiwanya menyatu ke dalam Bola Emerald. Pertarungan sengit tidak dapat dielakkan dan keduanya mengeluarkan jurus andalan masing-masing.

“Segera berlutut mohon maaf kepada Wolfram atas kesalahanmu sebelum engkau kuhabisi,” Himeko kembali mengingatkan Zarek Nocturne, si murid murtad.

“Justru Wolfram harus berlutut mohon ampunanku. Karena dialah mataku menjadi cacat seperti ini,” Zarek Nocturne menunjuk kelopak matanya yang bolong tertusuk pedang Wolfram saat dia akan membunuh gurunya. Zarek Nocturne mengarahkan pedangnya ke leher Himeko.

“Kamu memang keras kepala,” Himeko mengarahkan Bola Emerald ke dada Zarek Nocturne. Bola ajaib itu mengeluarkan cahaya hijau. Tubuh Zarek Nocturne tumbang ke tanah bersimbah darah karena isi dadanya berhamburan. Himeko kembali mengarahkan Bola Emerald ke tubuh Zarek Nocturne dan cahaya suci Bola Emerald membakar jasad itu. Seiring terbakarnya jasad Zarek Nocturne, maka istana, semua pengikut dan pohon sialang penyangganya berubah menjadi debu. Langit gelap menjadi terang benderang, ladang padi emas dan padang pasir berubah menjadi hamparan hijau memenuhi pemandangan. Semua kutukan musnah dan tikus bergigi biru berubah menjadi manusia lagi, termasuk orang tua Himeko dan Mr. Augusta. Lelaki itu pergi meratapi penggalan kepala istrinya yang tergeletak di atas tanah berdebu.

“Ayah dan Ibu,” Himeko berteriak senang sambil melambaikan tangan kepada pasangan yang terlihat kebingungan. Uno Wooden dan istrinya  sangat terkejut melihat kehadiran Himeko. Ibunya langsung berlari dan memeluk anak gadisnya penuh kerinduan.

“Anakku sayang, begitu lama Ibu selalu merindukan kehadiranmu,” Ibu mencium pipi Himeko. Uno Wooden datang dan memeluk mereka berdua.

“Sebelum kita pulang, sudilah Ayah dan Ibu mengantarkanku membuang abu perusuh ini ke pegunungan,” Himeko menjentikkan jarinya dan semua abu jasad Zarek Nocturne masuk ke dalam guci porselen yang berada di tangannya. Orang tuanya sangat takjub melihat kemampuan anaknya itu.

“Kita menaik apa? Ke gunung itu jauh…” ibu Himeko mendesis kuatir.

“Ayah dan Ibu, silahkan berdiri di sampingku,” mereka bertiga menghilang dibawa angin menuju ke pegunungan untuk membuang abu Zarek Nocturne.

“Eh… kita mau kemana ini?” Ibu menjerit kaget saat sadar telah berada di atas awan.

“Ayah dan Ibu, kita pergi membuang abu dulu, setelah itu pulang ke rumah.”

“Ibu takut jatuh…” ibu Himeko menjerit panik dan memeluk suaminya yang juga terlihat ketakutan.

“Tenanglah Ibu, setelah tugasku selesai kita pulang ke rumah ya.”

“Sebuah ide cemerlang, perutku sudah terasa sangat lapar. Tampaknya masih ada daging rusa yang kamu simpan. Iya kan Bu?”

“Iya, masih ada. Aku akan memasak makanan lezat untuk merayakan pertemuan kita,” Ibu menyahut gembira, hilang sudah ketakutannya. Ketiganya tertawa riang karena angkara murka telah musnah dari Luminastra.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun