Pertama kali aku bertemu Kevin saat berbelanja di King Soopers, saat itu dia menjadi  kasir yang melayani pembeli. Sebagai mahasiswa yang melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota Denver, King Soopers adalah swalayan andalanku untuk berbelanja di state Colorado. Selain King Soopers, terdapat beberapa swalayan lainnya yaitu: Target, Walmart, Whole Foods Market dan Walgreens. Harga King Soopers yang sangat terjangkau untuk mahasiswa dari negara berkembang membuat aku memilih tempat ini untuk berbelanja semua kebutuhanku.
Saat baru pertama bertinggal di Amerika, aku terbiasa membawa uang tunai seperti di Indonesia. Ternyata lain lubuk lain ikannya. Membayar tunai sebuah transaksi belanja sangat tidak dianjurkan di Amerika. Para kasir dan pemilik outlet begitu kerepotan melayani kembalian tunai dalam bentuk sen (cent) karena mata uang Amerika mempunyai variasi koin pecahan yaitu: 5, 10, 25 dan 50. Di dalam kehidupan serba praktis dan cepat, koin cent berbahan logam sangat  berat untuk di bawa kiri kanan. Inilah alasan mengapa transaksi menggunakan debt card begitu dianjurkan di Amerika.
Suatu sore, pulang dari kampus, aku berbelanja sembako ke King Soopers. Saat mengantri membayar belanjaan, aku sudah mewanti-wanti kasirnya karena aku ingin membayar tunai belanjaanku dan dia mengiyakannya. Kasirnya seorang bule Amerika yang good looking banget. Dari ID card-nya kuketahui namanya Kevin. Rambutnya coklat berombak dengan sepasang bola mata berwarna biru bagaikan cerahnya langit di kota Denver. Dengan sabar dia menghitung belanjaanku. Tiba saatnya membayar, aku mengeluarkan semua koin cent simpananku yang berada di dalam dompet kecil.
"What???" mata Kevin terbelalak heran melihat koin simpananku yang berjubel.
"It is all of my money to pay them." aku menunjuk belanjaanku yang telah nangkring cantik dalam sebuah goody bag.
"Oh my God. Let me see your money."
Aku memberikan tumpukan koinku dan dia menghitungnya satu per satu. Kubandingkan dengan di Indonesia, kasir Amerika ini sangat telaten dan cekatan melayani pembeli. Aku merasa sangat hebat karena statusku 'Pembeli adalah Raja'. Para pekerja ini sangat kuatir dengan komplain dari pelanggan sehingga berusaha melayani dengan sebaik-baiknya. Ternyata total belanjaanku sebanyak USD 50.40 (lima puluh dollar empat puluh cent). Uangku yang tersisa tinggal sekeping koin dime (uang koin bernilai sepuluh cent yang digunakan sebagai alat pembayaran sah di Amerika Serikat). Â Kembali aku yang terkejut. Ternyata koinku habis tuntas tas tas. Kevin tersenyum dan mengembalikan sebiji koin dime yang berwarna perak. Koin ini berukuran paling kecil dari semua koin cent di Amerika.
"Please kept for remember my service." Â American handsome itu mengedipkan sebelah matanya padaku sambil tertawa lepas. Aku melengos dan berjalan keluar dari swalayan. Belum jauh aku berjalan, si cowok good looking itu berlari menyusulku. Sambil tersenyum manis, Kevin menyerahkan buku diaryku yang terjatuh tanpa sengaja dari dalam tasku. Aku segera mengambilnya dan mengucapkan terima kasih.
"Hey, where are you from?" tanyanya menyelidik.
"Indonesia."
"Wow...beautiful Bali and Raja Ampat."
"Off course, there are many of beautiful island."
Sejauh yang kulihat, di Denver memang banyak berkeliaran student berasal dari negara Asia yaitu: Malaysia, India, Vietnam, Filipina dan Cina. Orang Indonesia cenderung lebih senang bermukim di Boston untuk kuliah di Harvard University yang terkenal itu. Aku membalikkan badan, ingin segera berlalu dari hadapan kasir cakep yang sukses membuat jantungku menggelitik deg degan tidak karuan. Tiba-tiba terdengar suara berat memanggil nama Kevin dari kejauhan.
"I will see you again," teriaknya sambil berlari ke dalam King Soopers building. Aku melengos. Lah iyalah, aku akan ketemu lagi sama kamu jika berbelanja sembako di sini.
Saat aku berbelanja di minggu berikutnya, Kevin lagi yang melayaniku. Koin dime yang tersisa sejak transaksi pertamaku dengan Kevin kujadikan sebagai penjaga abadi dalam dompetku. Entah mengapa aku merasa senang jika dilayani oleh Kevin. Keramahannya kepada semua orang membuat aku sering merasa 'jealous' jika dia bercanda riang dengan cewek bule customernya. Tapi aku segera sadar diri, tujuan utamaku ke Colorado untuk sekolah, bukan untuk lain-lain. Sikapku selalu dingin kepada Kevin. Aku beranggapan bahwa tabiat Kevin pasti sebelas dua belas dengan Lee, mantanku yang doyan berbohong dan berselingkuh di belakangku. Â Â Â Â Â Â
Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja kulihat Kevin duduk manis di teras depan North Class, tempat kuliahku. Tampaknya dia sedang menunggu seseorang. Disampingnya terdapat segelas cappuccino made in Starbuck. Aku berusaha untuk menghindar namun dia keburu melihatku.
"Hey..." cowok ramah itu segera berlari menghampiriku.
"What are you doing here?" aku bertanya menyelidik.
"I am waiting for someone special," jawabnya ngasal yang membuat perasaanku menjadi deg-degan tidak karuan. Ihhh...ge ernya guwehhh, aku mengumpat dalam hati.
"Oh okay. I will see you soon, Kevin."
"Dell..." kudengar Kevin memanggil namaku. Jantungku tiba-tiba terasa berhenti berdegup.
"How do you know my name?"
"I know you well because you are my customer."
Seratus untuk Kevin. Jawaban telak ini membuatku bertambah salah tingkah. Segera kutinggalkan cowok bule itu.
"Dell...why you leaving me?"
"You stay here and waiting your someone special, right."
"Umm...actually, I am waiting for you, please..."
Aku segera berlari menjauh dari Kevin. Grogi berat aku dibuatnya.
Sejak kedatangan Kevin ke North Class membuat aku tidak pernah lagi ke King Soopers. Aku menitipkan belanjaanku kepada Catherine, my roommate. Jika sangat terpaksa, aku melakukan belanja via online. Aku merasa tidak nyaman jika harus bertemu dengan Kevin. Namun takdir Tuhan berlaku untuk diriku berjumpa kembali dengan makhluk cakep ciptaannya. Aku mendapat tugas dari dosen untuk mewawancarai customer King Soopers yang berlokasi di Chestnut Street, tempat Kevin bekerja. Ternyata Kevin bukan sembarang pegawai seperti dugaanku selama ini. Setelah magang di King Soopers, aku baru menahu bahwa Kevin adalah Young Manager yang mengelola bidang logistik. Walaupun masih bau kencur, kemampuan pengelolaannya  yang mumpuni membuat Kevin terus mendapatkan promosi untuk kenaikan jabatannya. Setelah berminggu-minggu berusaha menemuiku namun nihil, akhirnya aku memberikan ijin kepada Kevin untuk bertemu. Aku sudah menimbang ribuan kali baik buruknya keputusanku ini karena tidak ingin tersakiti untuk kedua kalinya.
Di bawah langit musim gugur kota Denver yang berselimut awan tebal berwarna kelam, kami janjian bertemu. Panorama gedung pencakar langit Optiv bersanding dengan Polsinelli menunjukkan keramahan ibukota yang dijuluki 'The Mile High City'. Daun pohon oak yang hijau sekarang beranjak menjadi merah merona diterpa angin bulan November, melambai ke kiri dan ke kanan seakan memanggilku menari. Suatu pemandangan yang sangat menyejukkan hati. Kevin berjanji menemuiku di depan teras Lola and Rob Salazar Student Wellness Center yang terletak di kampus Auraria yang penuh pepohonan. Sejam sebelumnya aku sudah tiba duluan dan mengambil tempat 'mengintai' yang berada di terrace Student Commons building yang berada tepat di seberang tempat janjianku. Sambil menunggu Kevin datang, kuseruput Thai tea kesukaanku hasil racikan cafe di Tivoli Student Union.
Aku berjalan pelan menuju ke teras gedung tempat kami akan bertemu. Senja mulai turun, angin dingin merasuk ke dalam tulang. Aku mulai cemas. Sudah nyaris tiga puluh menit berlalu aku menunggu kedatangan Kevin namun dia belum tampak jua. Hiruk pikuk gerombolan pemain basket dan suporternya telah lama berlalu. Tinggallah aku sendirian menunggu Kevin yang tidak kunjung tiba. Akhirnya, kulihat Kevin berlari dari kejauhan.
"Why you too late? I am boring waiting for you."
"Please forgive, honey. I have to kept the storage that arrived this afternoon."
"You're lie to me." Aku memekik keras di hadapannya. Kevin mengernyitkan keningnya. Bingung dia melihat ada cewek reog.
"Honey, can you trust my explain? Semalam terjadi tornado hebat di Jefferson county. Truk kontainer tidak dapat bergerak karena banyak puing beterbangan, beruntunglah barang supplier telah tiba dan aku harus meyakinkan diriku bahwa semua barang itu telah tersimpan di tempatnya masing-masing."
Suara Kevin terdengar begitu lelah. Dia terduduk lemas di kursi yang berada di belakangku. Tampaknya memang benar dia baru pulang dari tempatnya bekerja.
Aku menutup mataku rapat-rapat. Rasa traumaku ditinggal oleh Lee kembali bergejolak di dalam sanubari. Bisikan hantu tidak percaya terdengar samar dalam gendang telingaku. Pasti lelaki ini akan menggoreskan luka lebih dalam daripada yang ditinggalkan oleh Lee. Jangan pernah percayai alasannya. Ya Tuhan, bagaimana aku meyakinkan diriku bahwa Kevin juga menyayangiku? Aku ingin lepas dari jeratan rasa trauma masa laluku.
"Okay Dell, jika tidak ada lagi yang harus dibicarakan, aku pulang saja. Badanku capek sekali. Besok aku harus masuk kerja lebih awal membenahi sisa barang yang belum aku inventarisir."
Kudengar suara kursi bergeser dan derap langkah kaki berjalan menjauh. Aku memejamkan kembali mataku yang telah dipenuhi riak air, meluncur tanpa hambatan dalam dinginnya hembusan angin. Rasanya tidak adil aku membalaskan trauma masa laluku kepada Kevin. Aku merasa sangat menyesal telah menyakiti hatinya, namun aku tidak mampu bergeser dari tempatku berdiri.
Hiruk pikuk Student Wellness Center telah berganti dengan kesunyian. Malam telah turun sempurna. Aku sudah merelakan Kevin pergi dengan ribuan rasa kecewanya melihat tingkahku yang tidak jelas juntrungannya. Sayup-sayup suara deru RTD light rail dan klaksonnya terdengar di kejauhan. Suara mesin transportasi yang menyuruh aku segera pulang ke rumah.
"Honey, you're still here?"
Kudengar suara lembut Kevin berbisik di telingaku. Aku berbalik, lelaki itu masih berdiri di depanku. Kedua tangannya berada di belakang punggungnya seakan menyembunyikan sesuatu. Aku berusaha menyembunyikan rasa senangku.
"I am okay here. Please back to your home." aku menjawab angkuh sapaan ramahnya dan berbalik arah memandang indahnya lampu di kejauhan. Kevin mendehem. Mungkin dia sangat kesal melihat aksi dramaku.
"Dell, we must back home sooner. There will be heavy rain."
"No, I said let me alone."
"Really?"
"Yeah. Go away."
"Okay..."
Tiba-tiba kurasakan tangan kekar Kevin menggendongku di bahunya. Aku sangat panik dan berteriak ketakutan tetapi dia tertawa keras melihat ketakutanku.
"Hey...let me off, Kevin...Keviiiiiiin..."
Kepalaku sudah berdenyut tidak karuan karena posisi kakiku yang berada di atas. Tanpa kuduga, Kevin segera menurunkan aku di sebuah bangku taman. Aku mengomel panjang lebar sambil memperbaiki jaketku yang berantakan. Untunglah ponselku tetap aman berada dalam pocket. Kalau sampai hilang ini ponsel, awas kamu Kevin, makiku dalam hati.
"And so, beautiful Lady?" tanya Kevin sambal membungkuk penuh hormat. Aku merengut, kesal luar biasa (tapi senang juga dapat surprise).
"Before you're back home, please receive my flower bucket." Kevin memberikan seikat besar bunga mawar putih, bunga kesukaanku.
"I remember your favourite flower."
Aku terkesima, kaget luar biasa. Darimana Kevin menahu bunga mawar putih favoritku?
Lee yang katanya lelaki romantis tidak pernah memberiku hadiah bunga, malahan dia selalu menyakiti hatiku dengan perbuatannya yang suka berdusta.
"A bucket of beautiful flower for the woman that I love."
Aku berjalan menjauh dari Kevin. Bayangan wajah Lee seakan mencengkeram nyawaku dan memaksaku untuk berkata tidak kepada Kevin.
"Sorry, I cannot receive it"
Kevin kembali mengangkat bahunya.Â
"It is okay. I will be waiting for you. We must back home right now," Kevin melihat cemas ke atmosfer kota Denver. Rintik hujan mulai turun, tiba-tiba butirannya menjadi semakin besar, Â bagaikan air yang ditumpahkan dari langit. Kami terpaksa berlindung di emperan Student Common, kurasakan tangan kekar Kevin merengkuh bahuku. Sambil tetap tersenyum manis, Kevin menyodorkan rangkaian bunga mawar putih yang indah ke dalam pelukanku. Kuhirup aroma bunga indah pemberian Kevin, terasa sejuk dan damai. Hujan seakan membiarkan kami berdiri mematung, mencoba menyelami perasaan masing-masing.
"Maafkan aku Kevin, selama ini aku selalu berprasangka buruk kepadamu," aku menyandarkan kepalaku di bahu Kevin. Lelaki itu tertawa keras dan mengacak rambutku.
"Don't thinking more about it. Lihatlah, Â hujan telah berhenti," Kevin segera menarik tanganku mengikuti langkahnya.
"Where we should go?"
"I am so  hungry. Maybe I will take you enjoy Italian pizza at Osteria Marco," Kevin segera menggenggam tanganku berjalan menembus jalan sunyi temaram disinari lampu jalan. Tiba-tiba aku menjerit keras, pergelangan kakiku terasa sangat sakit, tidak kuat mengimbangi langkahnya yang panjang. Kevin segera berlutut, diusapnya dengan lembut pergelangan kakiku yang terasa nyeri, mungkin terkilir saat tadi berjalan dengan sangat cepat.
"I am sorry Dell."
"It is okay. I just feel tired," wajahku sudah pucat pasi menahan sakit.
Tanpa kuduga, Kevin segera menggendongku melewati jejeran lampu jalan Larimer Street.
"I will bring you until our destination."
Air mataku tumpah ruah. Aku harus segera menghentikan drama lebay demi menguji keseriusan Kevin. Isak tangisku memecah kesunyian. Ternyata jauh juga jarak dari Wellness Center ke resto pizza Italia tujuan Kevin. Ternyata cowok ini berhati baja menghadapi lebay-ku ini.
"I apologise Kevin for all of my manner to you."
"It is okay Dell. Do you know, you are very affectionate woman. Since I met you in King Soopers, I am feeling in love to you. I am always remember your dime. Do you still kept for me?"
Duh kerongkonganku tiba-tiba tercekat. Ribuan rasa galau terasa menusuk dadaku. Dime kenangan itu masih setia menjaga dompetku.Â
Kevin terus berjalan sambil menggendongku menyeberangi 1398 Market Street menuju ke Osteria Marco. Tanpa terasa kami telah tiba di salah satu restoran Italia yang berada di tengah kota Denver. Kevin memilih duduk di pojokan yang menghadap ke jalan. Aku menggelengkan kepala tidak mengerti melihat berbagai nama menu yang bahasanya sangat aneh. Kevin sangat tanggap, dia segera memesankan menu yang masuk akal untukku, Â Chicken parmesan sandwich yang isinya berupa keju mozzarella, fontina (keju Italia yang terbuat dari susu sapi berasal dari pegunungan) disajikan bersama house focaccia (semacam roti Italia yang tipis terbuat dari tepung gluten). Di dalam hati aku berucap, menjadi pacarnya Kevin lidahku harus siap menerima gempuran masakan Italiano. Kevin memesan pizza Carne berisi sausage, meatball, pepperoni bertabur ricotta buatan resto itu. Sebagai tambahannya dia memesan seasonal bruschetta berisi herberd goat cheese, berbagai sayuran panggang dengan siraman cuka terbuat dari buah pir. Dia menyuruhku memilih minuman, kami deal memesan minuman cola dingin dalam sebuah classical pitcher.
Sambil menunggu hidangan datang, Kevin kembali memeriksa pergelangan kakiku. Dipijatnya beberapa titik yang berada di sekitar tempat yang sakit. Ya Tuhan, aku merasakan kakiku lebih nyaman. Â Aku memperhatikan jari kekar Kevin memijat lembut kakiku yang sudah terasa lebih ringan. Wajahnya terlihat sangat lelah namun seulas senyum manis selalu menghias bibirnya. Batinku jejeritan tidak percaya, duh lelaki ini baik sekali dan penyayang kok dikasih drama lebay. Gimana sih kamu Dell.
Hidangan tiba disertai dengan asap yang mengepul tipis. Wangi daun basil dan oregano terasa sangat  menggoda cuping hidungku. Suhu udara dingin membeku membuat perutku bernyanyi riang minta diisi. Kevin segera memotong pizza dan menyuapkannya ke mulutku. Perhatiannya yang tulus membuat makanan itu terasa sangat berat masuk ke dalam kerongkonganku.
"Do you like this one?" Kevin menunjuk gumpalan keju mozzarella.  Aku mengiyakan dan kembali dengan sabar dia menyuapkan makanan itu.  Caf itu sangat ramai dengan orang yang menikmati hidangannya masing-masing. Sifat individual orang Amerika membuat tidak satupun mulut  nyinyir melihat Kevin menyuapkan makanan untukku.
Sambil mengunyah keju mozzarella, aku mendorong piring berisi makanan pesanannya dan meminta Kevin untuk memakannya selagi masih hangat. Aku menyuapinya dengan penuh sayang dan dia memakan pesanannya dengan lahap, mungkin energinya habis setelah menggendongku dalam perjalanan. Â Hujan rintik masih menemani malam yang semakin pekat.
"How do you feel Dell?"
"It is better. Thanks a lot."Â
Kami melanjutkan makan dalam diam. Hanya terdengar denting pisau dan piring.
"Please prepare your personal belonging. I will grab Uber to your home." Kevin memanggil pelayan dan membayar bill yang berada dalam nampan kayu.
"Again, thank you for delicious dinner and beautiful flowers. God bless you Kevin."
"Pleisure honey."
Tidak lama Uber tiba menjemput kami. Kevin mengantarku sampai ke apartemen. Sebelum pulang dia memastikan keadaanku baik-baik saja.
"I will see you tomorrow, Dell. Have a nice dream." Kevin mencium punggung tanganku yang melepasnya dari pintu pekarangan.
"Thank you."
Kevin segera berlalu. Aku menatap langit Denver dan melihat rembulan besar disana sedang tersenyum manis, seperti hatiku yang kini memilih untuk menjemput kebahagiaanku bersama Kevin (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H