Mohon tunggu...
Sri Rahayu
Sri Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai literasi

Seorang ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serunya Jadi Guru Honorer 1

27 Maret 2023   23:23 Diperbarui: 27 Maret 2023   23:26 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Hari masih pagi saat kukayuh sepedaku yang berwarna kuning bikinan RRT yang sangat keren pada zamannya. Jam menunjukkan pukul 6.00 pagi, hawa dingin menusuk sampai ke tulang-tulang rasanya. Seger banget udara pagi ini, matahari masih belum sepenuhnya keluar. Perjalanan menggunakan sepeda hanya memakan waktu 15 menit kalau ngebut, karena ini masih pagi aku pelan-pelan mengayuh sepeda sambil menikmati alam sekitar. Melalui jalan besar kira-kira satu setengah kilometer, melewati gedung-gedung perkantoran,sekolahan dan beberapa rumah penduduk. Jalan ini termasuk sangat ramai karena jalur ini adalah jalur pantura jakarta surabaya. Kemudian jalan berbelok ke barat menuju jalan kecil, akan tetapi jalan ini sudah di aspal. Samping kanan dan kiri terbentang sawah yang luas membuat hati tentram melewatinya, ada kantor BLK kemudian beberapa rumah penduduk. Jarak tempuh sekali jalan kira-kira 5 kilometer. Alhamdulillah dengan mengayuh sepeda sehari 10 km menjadikan badan menjadi bugar dan tidak gampang sakit. Ditambah aktifitas lain yaitu kalau sore kuliah dan malam hari mengajar les privat 2 orang anak tetangga.

Anak muridku sudah mulai mengerubuti aku saat kuparkirkan sepeda di depan sekolah. Mereka berebut minta salaman dan cium tangan. Aduh jadi tersanjung banget aku serasa seperti artis saja. Usiaku baru 18 tahun kala itu. Masih pagi sampai ke sekolah hari ini. Masih jadi guru honorer atau guru bantu di SD ini, tapi anak-anak dan orang tua murid sangat menghargai aku sebagai seorang guru. Kulangkahkan kaki ke kantor guru

"Selamat pagi bu Asih" sapaku pada senior yang selalu datang pagi banget.

Baca juga: Panen Padi

"Pagi juga bu. Tumben sudah datang bu Dara"

Emang aku suka datang mepet jam masuk bersamaan dengan guru-guru yang lain yang rumahnya berdempetan dengan sekolah. Tapi aku nggak pernah sekalipun telat.

"Eh iya bu. Anu saya bangunnya kepagian tadi" jawabku asbun aja alias asal bunyi

Lima menit lagi menuju jam 7.00 pagi dan barulah bapak ibu guru bermunculan satu persatu. Tapi hebatnya biarpun datang mepet tapi nggak ada satupun yang terlambat datang ke sekolah.

Aku menyiapkan buku pelajaran matematika kelas V karena jam pelajaran pertama aku mengajar di kelas V. Di SD tempat saya mengabdi ini hanya ada satu kelas per tingkatan kelas. Jadi total hanya ada enam kelas. Hal ini dikarenakan suksesnya program KB di desa ini, anak-anak usia sekolah hanya sedikit, penduduk juga hanya sedikit. Disamping KB yang berhasil, ternyata kabar berita yang beredar bahwa setelah lulus sekolah banyak yang merantau ke kota besar mengadu nasib.

"Siaaappp berdiri" suara lantang ketua kelas V bersamaan aku masuk ke kelas

Semua anak-anak berdiri menghadap ke depan

"Kepada sang merah putih hormat grak"

Kembali anak-anak sikap menghormati pada bendera yang berdiri dei pojokan kelas dekat meja guru

"Tegap graakk"

"Selamat pagi buuuuu" kompak anak-anak menmberi salam padaku

"Selamat pagi anak-anak. Keluarkan buku matematika kalian. Buka halaman 40, kita akan membahas tentang pembagian"

Anak-anak sibuk mengeluarkan buku paket dan buku latihan. Aku mulai menjelaskan pembagian dengan sabar dan ku kasih beberapa contoh. Beberapa anak permpuan mengerti. Tapi banyak anak laki-laki yang kurang faham.

"Sudah jelas belum" tanyaku

Tidak ada jawaban. Hanya dua anak saja yang mengerti. "Wah berati aku yang gagal dalam menjelaskan ini" batinku

"Ok baik, ibu akan jelaskan lagi tolong di perhatikan ya"

Kembali aku menjelaskan dari awal. Tapi apa yang terjadi? Saat aku menulis di papan tulis terdengar ada suara cekikikan, dan jelas banget itu suara laki-laki. Sambil menulis aku lemparkan lirikan ke belakang

"Oh ternyata Purnomo yang cengengesan" bisikku dalam hati. Aku pura-pura nggak lihat. Hanya mengingatkan dengan masih melihat papan tulis "Tolong anak-anak perhatikan ini" kataku agak tegas dan keras. Aku mulai lagi memberikan bebrapa contoh soal dan menyuruh beberapa anak maju. Lagi-lagi anak perempuan yang maju. Aku kasih contoh soal lagi. Situasi hening. Beberapa detik kemudian ada suara anak ngobrol "Emm Purnomo lagi"

"Puurrr, udah mengerti" tanyaku.

Tak ada jawaban

"Coba Pur, saya kasih soal di papan tulis, nanti kamu maju ya"

Saat kutulis soal, suara cekikikan Purnomo terdengar lagi. Sebagai guru yang masih berumur 18th bisa dipastikan emosinya naik ke ubun-ubun. Geram banget aku. Aku ancang-ancang mau lempar penghapus yang aku pegang. Sebenarnya nggak sakit juga sih kalau kena karena terbuat dari plastik. Tanpa ba bi bu, langsung aku arahkan penghapus ke arah Purnomo. Anak-anak sontak kaget melihat aku yang nggak pernah marah tiba-tiba melempar penghapus. Dan apa yang terjadi coba? Purnomo tertawa terbahak-bahak.

"Oh my God"

Aku melotot ke Purnomo, sementara anak yang lain diem saja ketakutan. Emang purnomo ini dari kelas satu terkenal super sekali.

"Kenapa?" tanyaku melotot

"Lucu?" kataku masih dengan rasa gondok tingkat dewa

"Lihat deh bu, rambut Jumanto ubanan" kata Purnomo menunjuk teman sebelahnya

Ahhh rupanya Purnomo menangkis penghapus yang aku lempar tadi dan kena kepala Jumanto sehingga rambutnya putih kena kapur jadi kayak orang ubanan. "Wah hebat tangkisannya" bisik hatiku.

Usia 18th menjadi guru yang masih on off emosinya. Geli juga sih atas kejujuran Purnomo. Tapi demi gengsi aku nggak mau tertawa saat masih posisi marah, wah bisa jatuhin martabat guru nih. Aku langsung keluar kelas. Kututup pintu agak keras, lalu tertawa di depan pintu sambil memegang gagang pintu.

"Bu Dara ada apa kok tertawa di depan pintu" tanya bu Sumi yang kebetulan lewat kelas V

"Eh anu bu nggak papa" jawabku bingung

Iya ya aku ketawa sendiri. Udah legaan ketawanya. Aku pasang wajah angker lagi terus masuk kelas

"Pur, sudah ketawanya? Minta maaf ke Jumanto kamu"

Haduh untung aku ngajar pas belum ada orang tua yang suka lapor-lapor polisi ya. Jaman itu posisi guru sangat mulia dan disegani. Tapi emang iya sih, kita sebagai guru kalau nggak kebangetan juga nggak mungkin marah kok.

Anak-anak mulai diem dan memperhatikan pelajaran. Aku ulangi lagi menerangkan dan memberikan beberapa contoh dan amazingnya semua bisa dan mengerti bahwan oleh anak-anak yang dalam tanda kutip kurang.

 

"Hari ini sesuatu banget' bisikku dalam hati

Bel istirahat berbunyi, aku masih duduk di kursi meja guru dan sibuk membenahi buku serta catatan-catatan bakal kuliah nanti siang mumpung jam istirahat.

"Lho kalin kok nggak keluar, ayo istirahat dulu. Ibu masih ada urusan"

Anak-anak pada bisik-bisik dan tentunya kedengeran karena aku masih di situ

"Pur, kamu jangan gitu dong, kan bu Dara marah hari ini"

"Iya, kamu selalu bikin bu Dara marah ih"

"Minta maaf lho Pur"

"Tadi tuh bu Dara sampai banting pintu waktu keluar kan, gara-gara kamu Pur"

Aku pura-pura nggak dengar. Sepuluh menit kemudian aku keluar kelas dan kembali ke ruang guru.

"Tadi ada apa bu di kelas V. Heboh ya bu?" tanya bu Siti

"Biasa lah bu anak-anak" jawabku

Kegiatan berlanjut dengan membarikan pelajaran Bahasa Indonesia kelas VI. Aman terkendali semua. Nggak terasa hari ini waktu bergulir begitu cepat dan tibalah jam yang ditunggu.

"Ah akhirnya jam pulang tiba" kataku dalam hati

 "Bapak ibu guru saya pulang duluan ya nggak ikutan rapat hari ini" kataku pamit sambil melangkah keluar dari ruang guru menuju parkiran sepeda.

Sampai di tempat sepeda ada sepucuk surat "Eit dah dari siapa surat cinta ini?" batinku penasaran

Dan begini isi suratnya

 

Bu Dara yang baik

Saya minta maaf sudah membuat bu Dara marah hari ini

Dan membuat ibu bersedih

Saya janji tidak akan mengulangi

Purnomo

 

Sambil tersenyum, aku melipat kertas tulisan Purnomo dan kumasukkan ke tas. Kembali kukendarai sepeda kesayanganku menuju rumah.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun