Mohon tunggu...
Rudi Dari Rumpin
Rudi Dari Rumpin Mohon Tunggu... -

Sekarang mengajar di SDN Sukasari 04 Rumpin Bogor. Aktip di Pengurus Cabang PGRI Kecamatan Rumpin. Aktif menulis puisi dan Cerpen , serta menjadi blogger di http//www.bloggurudarirumpin.blogspot.com. \r\ndan http//www.rumpinnews.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Salah Menafsirkan Makna Persahabatan

23 Maret 2017   18:54 Diperbarui: 23 Maret 2017   18:56 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bu Dinar. Setumpuk masalah selalu menyelimuti kehidupan janda muda itu. Satu masalah belum teratasi, sudah datang lagi masalah lain. Permasalahan itu akhirnya tumpang tindih dan tidak dapat segera diselesaikannya. Aku yang dianggapnya sahabat, teman mengajar di sekolah yang sama, acap kali menjadi pusat pengaduannya. Tempat keluh kesah atas semua permasalahan yang menimpanya.

“Bu Dewi, aku bingung nih,” bu Dinar membuka pembiacaraannya ketika mampir ke rumahku sepulang dari tempat mengajar, siang itu.

“Bingung kenapa, bu ?” tanyaku.

“Tapi maaf jangan diceritakan ke yang lain yah, ini rahasia.” Pesan Bu Dinar penuh harap.

“Kalau ibu takut aku menceritakan pada orang lain, sebaiknya jangan ibu ceritakan saja permasalahanmu itu padaku.” kataku.

“Iya deh aku percaya.” Ujar Bu Dinar. “Aku lagi bingung berat nih.” Lanjut Bu Dinar.

“Kalau berat, ibu ditunda saja dulu separuh, atau kita gotong deh, siapa tahu lebih ringan.” Aku bercanda.

“Ih ibu tuh, aku serius nih.” Rengek Bu Dinar minta agar aku focus dengan keluhannya.

“ Ya sudah, kalau ibu mau cerita, langsung ceritakan saja. Biasanya juga begitu kan..? Memangnya ini yang pertama kalinya ibu bercerita padaku. Sudah sering tahu ? Tapi pernah tidak ibu mendengar kalau obrolan ibu itu sampai terdengar ke telinga orang lain ? Tidak pernah kan ?”

“Iya sih. Aku memang hanya berani menyampaikan semua permasalahanku sama ibu. Alasannya karena ibu paling dapat dipercaya merahasiakan semua permasalahan aku.” Pujinya sambil memelukku. “Ibu memang sahabat sejatiku.” Tambah Bu Dinar sambil melepaskan pelukkannya.

“Jangan suka memuji. Aku tidak suka dipuji. Dipuji itu tidak bisa membuat perutku kenyang, tidak juga membuat isi dompetku bertambah, yang ada malah membuat kepalaku semakin besar dan hampir mau meledak rasanya.” Candaku lagi.

“Iya deh, aku tidak akan memuji ibu lagi. Tapi aku janji kok, habis ibu dengarkan permasalahanku ini, aku akan mengajak makan bakso di langganan kita supaya perutmu kenyang.” Janji Bu Dinar sambil tersenyum padaku.

“Asik, begitu dong. Itu baru sahabat namanya.” Aku tertawa.

“Ih, ternyata Bu Dewi matre juga yah. Cuma buat mendengarkan keluhan aku saja harus dikasih upah segala. Itu pambrih namanya.” Bu Dinar mencibir ke arahku.

“Sudah lah cepatan dong ceritanya, aku sudah tidak sabar nih !” Desakku.

“Tidak sabar mendengar ceritaku yah ?”

“Bukan, tidak sabar ingin cepat makan bakso.” Potongku bercanda.

“Ih, dasar. Sudahlah aku tidak jadi cerita.” Bu Dinar berlaga marah.

“Ya sudah, tidah apa – apa tidak jadi cerita juga, yang penting makan baksonya jadi yah ?” Candaku lagi.

“Amit – amit, curang dong.” Bu Dinar mencubit kedua pipiku dengan gemas.

“Terus jadi cerita tidak nih…?”Desakku.

“Iya…iya..!” Kata Bu Dinar. “Ini kejadiannya dua hari yang lalu.” Bu Dinar mengawali ceritanya. “Dalam sebuah perjalanan menuju pasar, motorku menabrak seorang anak kecil. Untungnya tidak begitu keras karena laju motorku memang sedang perlahan – lahan. Anak kecil itu hanya terjatuh, ada luka lecet di kakinya. Tapi namanya anak kecil, mungkin karena terkejut, spontas tangisnya meledak mengundang perhatian orang – orang di sekitar situ berdatangan ke arahku. Ada yang marah, ada juga yang menolong membangunkan sepedah motorku yang belum aku perdulikan karena aku lebih mengutamakan menolong anak kecilil itu.” Tutur Bu Dinar.

“Kira – kira umur berapa anak kecil yang ibu tabrak itu ?” tanyaku penasaran.

“Kelas 2 SD, dia masih pakai seragam SD. Dan waktu aku tanya katanya dia baru pulang dari sekolah. Sekolahnya masuk siang, katanya.” Jawab Bu Dinar.

“Terus, bagaimana kelanjutan ceritanya ?” Tanyaku lagi.

“Aku membeli obat luka di warung, kemudian memberi pertolongan pertama, mengobati luka lecet anak kecil itu. Setelah itu aku mengantarkannya pulang ke rumahnya.” Bu Dinar berhenti sebentar.”Aku disambut bapaknya, dari cerita bapaknya itu akuketahui bahwa anak yang aku tabrak tadi itu adalah anak piatu, ibunya sudah meninggal satu tahun yang lalu. Kakaknya ada dua satu perempuan yang paling besar laki – laki. Kehiupan ketiga anaknya itu sangat tidak terurus. Itu terlihat dari penampilannya dan prilakuknya yang cenderung nakal dan tidak mengerti sopan santun.” Lanjut Bu Dinar.

“Terus yang jadi permasalahan buat ibu itu apa? Kan sudah jelas semua tanggung jawab ibu sudah dilakukan, menolongnya, mengobatinya, sampai dengan mengantarkannya pulang, selesai kan ? Berarti tidak ada masalah kan ?” Potongku.

“Awalnya tidak ada masalah, tapi kemarin permasalahan itu dimulai. Ayah anak yang aku tabrak itu datang ke rumahku menumpahkan keluhannya, dan meminta kesediaanku untuk menjadi ibu dari ketiga orang anaknya itu.” Bu Dinar menghela napas berat.

“Ibu menerimanya?” Aku jadi penasaran.

“Untuk menolak langsung rasanya sulit sekali, dari cara menceritakan semua permasalahnya, ayah dari anak yang aku tabrak itu kelihatan sangat jujur sekali. Kata – katanya mengalir tanpa tersendat sedikit pun.”

“Jadi ibu tertarik nih ceritanya ?” Potongku.

“Jujur, setelah menjanda hampir lima tahun, aku memang selalu berdo’a pada Allah agar mendapatkan pengangti dari suamiku seorang lelaki yang baik dan mau menerima aku apa adanya.”

“Dan ibu merasa lelaki itu cocok dengan permohonanmu selama ini?” lagi – lagi aku memotongnya.

“Siapa tahu ini memang jawaban Allah atas permohnanku selama ini. Tapi aku memang tidak memberikan jawaban secara langsung sih, aku meminta waktu beberapa hari untuk mempertimbangkannya.” Sahut Bu Dinar.

“Ingat, status ibu masih belum jelas. Belum ada bukti cerai dari suami ibu yang tiba – tiba menghilang dan tidak ada kabar beritanya lagi. Itu akan menghambat langkah ibu untuk mendapatkan suami lagi. Berulang kali saya sudah mengatakan sama ibu, selesaikan dulu secara hukum status ibu dengan suami yang lama. Setelah itu baru merencanakan kehidupan yang baru dengan pengganti suamimu.”

Bu Dinar terdiam beberapa saat mendengar kalimat yang kukatakan terakhir itu. Wajahnya seketika meredup, seolah banyak hal yang tiba – tiba menyelinap dalam pikirannya.

“Hus ! Jangan melamun dong, bu!” Usikku ketika melihat perubahan yang terjadi pada Bu Dinar. “Setiap manusia mempunyai masalah. Kewajiban kita sebagai manusia yang selalu bermasalah ini, adalah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya. Allah tidak mungkin membebani kita dengan masalah yang diluar kemampuan kita sendiri. Allah maha tahu kekuatan yang kita miliki. Pasti ada jalan keluar dari setiap permasalahan yang kita hadapi, hanya saja ada yang dengan mudah kita temukan jalan keluarnya, ada juga yang membutuhkan energi maksimal untuk menemukan jalan keluarnya. Jangan pernah putus asa. Yakinkan, bahwa Allah senantiasa bersama kita sepanjang waktu, disetiap helaan napas kita.” Sedikit nasehat dariku.

Bu Dinar menghela napas panjang untuk melepaskan beban pikirannya.

“Sudah selesai kan ceritanya ?” tanyaku kemudian.

“Untuk kali ini saya kira cukup lah. Jadi bingung harus melanjutkan ceritanya, takut ibu Dewi juga bosan mendengar keluh kesah dari saya.” Bu Dinar berusaha tersenyum meski pun terlihat senyumannya masih terbungkus rasa pedih dari luka – luka masa lalu yang mengikis kekuatan batin dan jiwanya.

“Bagus kalau begitu, tinggal kita berangkat ke tukang bakso langganan kita.” Candaku sambil beranjak dari tempat duduk.

“Dasar sahabat matre. Baru konsultasi sedikit saja harus dibayar dengan bakso.” Keluh Bu Dinar setengah bercanda.

***

Bel tanda jam terakhir berbunyi, Bu Dinar sudah menunggu di pintu kelasku. Raut wajahnya nampak menggambarkan suasana kebahagiaan hati.

“Nampaknya rembulan sedang bersinar cerah di hatimu.” Godaku sambil menghampiri Bu Dinar.

“Siang bolong begini, mana ada sinar rembulan ? Lihat tuh jam dinding, pukul 12.30 sekarang.” Bu Dinar menunjuk jam dinding di kelasku.

“Maaf, tadi aku datang kesiangan, jadi kita tidak sempat bertemu. Mau menemui ibu sebelum aku masuk ke kelas, takut menganggu yang sedang asik mengajar. Dan aku sudah hapal benar dengan sikap ibu Dewi, paling tidak suka kalau diganggu di tengah – tengah kegiatan pembelajaran.” Ujar Bu Dinar.

“Bukan tidak suka, tapi memaang tidak baik kan memotong proses pembelajaran hanya untuk ngobrol soal pribadi atau sekedar berbasa basi yang tidak penting. Mengajar itu membutuhkan focus supaya tujuan yang sudah kita rencanakan dapat tercapai dengan baik.” Jelasku sambil sama – sama melangka ke ruang guru.

“Aku mau mampir yah, ada kabar yang mau aku sampaikan sama ibu. Penting tapi ini rahasia.” Bisik Bu Dinar di tengah perjalanan menuju ruang guru.

“Sekalian makan siang bareng. Aku tadi pagi masak banyak. Sambalnya mantap, ada sayur asam, ikan asin dan lalapan, sangat cocok untuk makan siang.”

“Wah, jadi tidak sabar nih. Air liurku langsung mengalir deras mendengar semua menu kesukaanku disebutkan”. potong Bu Dinar sambil bercanda.

Selepas menyantap hidangan makan siang, Bu Dinar mulai menyampakain cerita yang menurutnya sangat membahagiakan.

“Akhirnya aku akan bisa juga seperti Bu Dewi dan guru – guru lain yang sudah menerima tunjangan sertifikasi.” Ujar Bu Dinar dengan raut wajah bahagia.

“Syukur lah, memang sekarang yang belum S1 bisa disertifikasi juga ?” Tanyaku heran.

“Saiapa bilang ? Lihat nih, aku sekarang punya ijazah S1.” Bu Dinar segera mengeluarkan map berisi ijazah dan memperlihatkannya padaku.

“Kapan kuliahnya, bu? Perasaan belum pernah mendengar ibu kuliah ?” Aku merasa heran, karena setahuku, selama bersahabat denganku Bu Dinar belum pernah bercerita, atau mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan kuliahnya.

“Jangan kasih tahu siapa – siapa, ini menjadi rahasia kita berdua.” Pesan Bu Dinar setengah berbisik. “Bu Dewi masih ingat cerita saya tentang ayahnya anak yang pernah tertabrak motor aku kan ?” Tanya Bu Dinar kemudian.

“Iya masih. Duda beranak tiga yang menawarkan diri menjadi suami ibu, kan ?” Tebakku.

“Iya, dia yang memabantu aku mendapatkan ijazah ini. Dia kenal dengan salah seorang pengelola perguruan tinggi suwasta di Jakarta. Dengan hanya 10.000.000 rupiah saja, dalam waktu 6 bulan aku sudah bisa memperoleh ijazah itu.” Cerita Bu Dinar sambil mengembangkan senyum kebahagian di bibirnya.

“Astagfirullah, ini pelanggaran bu. Bagaiaman kalau ibu ternyata ditipu, ijazah itu palsu, dan kampus yang telah mengeluarkan ijazah itu ternyata fiktif.” Aku mengingatkan Bu Dinar, karena memang saat ini sedang banyak sekali kasus beredarnya ijazah palsu, bahkan menurut berita di televise ada oknum DPRD yang lolos sampai duduk di Senayan diketahui telah menggunakan ijazah palsu.

“Ah Bu Dewi terlalu berprasangka buruk. Kata dia, aku ini bukan orang pertama yang dia tolong mendapatkan ijazah, bahkan banyak yang telah ditolongnya kini sudah menerima tunjangan serttifikasi.” Bu Dinar merasa aku telah meragukan keaslian ijazah yang ditunjukkannya padaku.

“ Menurut ibu masuk akal tidak, hanya dengan memberi uang, tanpa melakukan proses perkuliahan, tiba – tiba ibu menerima ijazah. Ibu tahu tidak dimana lokasi kampus yang telah mengeluarkan ijazah ini ?” Tanyaku.

“ Kalau masih bisa mendapat ijazah dengan tanpa harus bersusah payah mengikuti perkuliahan, untuk apa kita kuliah ? Tujuannya kan tetap saja untuk mendapatkan ijazah.” Kilah Bu Dinar. “Sudahlah, jangan berdebat soal ijazah ini. Kalau ibu memang tidak merasa suka dengan kebahagiaan aku yang telah mendapatkan ijazah ini, tidak apa – apa, aku janji akan membuktikan bahwa ijazah ini adalah ijazah yang bisa aku pertanggungjawabkan” Lanjut Bu Dinar sambil memasukkan map bersisi ijazah lengkap dengan akta IV dan transkrip nilainya ke dalam tasnya. Setelah itu dengan raut wajah kecewa, Bu Dinar berpamitan pulang.

Persahabatanku dengan Bu Dinar berubah 3600 sejak aku mencoba mengingatkannya tentang ijazah yang menurutku tidak wajar. Bu Dinar mungkin kecewa dengan caraku dalam mengingatkannya itu. Tapi aku memang sama sekali tidak bermaksud menyinggung dan mengecewakannya, aku hanya ingin Bu Dinar yang sudah lama bersahabat denganku itu berhati – hati dan tidak sembarangan mempercayai orang yang dengan mudah mendapatkan ijazah hanya dengan mengeluarkan uang. Ijazah itu dokumen berharga yang cara memperolehnya harus mengikuti prosedur yang benar.

Walau pun setiap hari aku bertemu Bu Dinar di sekolah, namun kami sama sekali tidak pernah bertegur sapa seperti biasanya. Bu Dinar selalu menghindar setiap kali melihatku, aku jadi merasa bersalah. Berkali – kali mencoba menyampaikan permohonan maafku padanya, tapi Bu Dinar tetap saja tidak mau memaafkanku. Sikapnya yang dingin membuat setiap pertemuan kami seperti dua manusia asing yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

***

Musibah berbuah cinta. Berawal dari menabrak seorang anak kecil dalam perjalanan ke pasar, kemdian mempertemukannya dengan ayah dari anak yang tertabraknya itu akhirnya meurut kabar yang aku dengar dari guru – guru lain di sekolah akan berlanjut ke plaminan. Bu Dinar akan menikah dengan duda beranak tiga itu, dan Bu Dinar yang dulu selalu mencurahkan semua rasa baik suka mau pun duka, sedih mau pun gembira, kepadaku, kini dengan sengaja tidak mengabari aku tentang rencana pernikahannya.

Walau tidak diundang dan tidak mendapatkan kabar rencana pernikahannya dengan duda itu secara langsung darinya, namun aku tetap harus memberikan doa restu. Bahkan aku menitipkan kado khusus untuk Bu Dinar ke Pak Dahlan, sahabat dekat Bu Dinar setelah Bu Dinar menghindar dariku.

“Mengapa tidak ibu saja yang memberikan kado ini ke Bu Dinar ?” Pak Dahlan merasa heran.

“Saya tidak diundang, Pak.” Kataku jujur.

“Mungkin lupa, Bu Dinar memang sibuk mempersiapkan acara pernikahannya seorang diri. Katanya hanya menikah saja, tidak ada acara resepsi. Hanya mengundang saudara – saudara terdekat saja katanya. Aku saja tahu rencana pernikahan Bu Dinar itu dari kepala sekolah kemarin.” Jelas Pak Dahlan. “Sudah bareng saja dengan aku berangkat ke sana besok. Besok kan Minggu,” Ajak Pak Dahlan.

“Tidak ah, aku titip kadonya saja yah. Tolong sampaikan salam dariku, aku turut bahagia atas pernikahnnya itu.

“Ya sudah, nanti aku sampaikan kado dan salam Ibu Dewi untuk Bu Dinar. Aku bawa dulu kadonya ke rumahku yah.” Pak Dahlan membawa titipan kadoku pulang. Pak Dahlan akan berangkat ke rumah Bu Dinar langsung dari rumahnya rupanya.

Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengenang persahabatanku yang kini telah hilang. Hilang karena kesalahan cara menapsirkan rasa perduli terhadap sahabat menjadi goresan luka yang kemudian menorehkan benci. Padahal apa yang aku sampaikan padanya itu adalah bukti keperdulianku kepadanya sebagai sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri.

Haya doa yang bisa aku panjatkan kepada Allah semoga pernikahan Bu Dinar berjalan dengan lancar, dan kelak mereka dapat membangun sebuah tatanan keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah. Seia sekata dalam suka dan duka. Saling memahami kehendak masing – masing, serta mampu saling menlengkapi kekurangan masing – masing sekaligus mampu menyempurnakan kelebihan masing – masing. Andai saja aku diundangnya langsung, aku pasti datang membawa rasa hati yang bahagia. Memeluknya erat sambil merasakan debaran jantungnya yang berdegup kencang dan mendampinginya saat usai ijab kabul yang diucapkan imam pilihannya itu berkeliling menyalami para tamu yang turut mendoakan mereka supaya bahgia senantiasa.

Hari Senin aku berangkat pagi – pagi sekali, ingin mendengar cerita bahagia dari teman – teman guru di sekolahku yang sudah menghadiri pernikah Bu Dinar kemarin.

“Bagaimana pak acara kemarin ?” Tanyaku langsung saat Pak Dahlan datang.

“Kau bu.” Kata pak Dahlan.

“Kacau bagiaman ?” tanyaku heran.

“Calon suaminya tidak datang, kata kabar lewat telepon dari seorang polisi, calon suami Bu Dinar ditangkap polisi dalam perjalanan menuju rumah Bu Dinar. Katanya calon suami Bu Dinar itu adalah salah satu anggota sindikat pemalsuan ijazah yang sudah lama diburu polisi.” Jelas Pak Dahlan. “Mendengar kabar itu, Bu Dinar jatuh pingsan, dan kami semua jadi panik dan sibuk berusaha menyadarkan Bu Dinar dari pingsannya.”

Astagfirullahalazim !!sebenarnya itu yang sejak semula aku takutkan” kataku dalam hati.

---------------- SEKIAN ---------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun