“Kira – kira umur berapa anak kecil yang ibu tabrak itu ?” tanyaku penasaran.
“Kelas 2 SD, dia masih pakai seragam SD. Dan waktu aku tanya katanya dia baru pulang dari sekolah. Sekolahnya masuk siang, katanya.” Jawab Bu Dinar.
“Terus, bagaimana kelanjutan ceritanya ?” Tanyaku lagi.
“Aku membeli obat luka di warung, kemudian memberi pertolongan pertama, mengobati luka lecet anak kecil itu. Setelah itu aku mengantarkannya pulang ke rumahnya.” Bu Dinar berhenti sebentar.”Aku disambut bapaknya, dari cerita bapaknya itu akuketahui bahwa anak yang aku tabrak tadi itu adalah anak piatu, ibunya sudah meninggal satu tahun yang lalu. Kakaknya ada dua satu perempuan yang paling besar laki – laki. Kehiupan ketiga anaknya itu sangat tidak terurus. Itu terlihat dari penampilannya dan prilakuknya yang cenderung nakal dan tidak mengerti sopan santun.” Lanjut Bu Dinar.
“Terus yang jadi permasalahan buat ibu itu apa? Kan sudah jelas semua tanggung jawab ibu sudah dilakukan, menolongnya, mengobatinya, sampai dengan mengantarkannya pulang, selesai kan ? Berarti tidak ada masalah kan ?” Potongku.
“Awalnya tidak ada masalah, tapi kemarin permasalahan itu dimulai. Ayah anak yang aku tabrak itu datang ke rumahku menumpahkan keluhannya, dan meminta kesediaanku untuk menjadi ibu dari ketiga orang anaknya itu.” Bu Dinar menghela napas berat.
“Ibu menerimanya?” Aku jadi penasaran.
“Untuk menolak langsung rasanya sulit sekali, dari cara menceritakan semua permasalahnya, ayah dari anak yang aku tabrak itu kelihatan sangat jujur sekali. Kata – katanya mengalir tanpa tersendat sedikit pun.”
“Jadi ibu tertarik nih ceritanya ?” Potongku.
“Jujur, setelah menjanda hampir lima tahun, aku memang selalu berdo’a pada Allah agar mendapatkan pengangti dari suamiku seorang lelaki yang baik dan mau menerima aku apa adanya.”
“Dan ibu merasa lelaki itu cocok dengan permohonanmu selama ini?” lagi – lagi aku memotongnya.