“Iya deh, aku tidak akan memuji ibu lagi. Tapi aku janji kok, habis ibu dengarkan permasalahanku ini, aku akan mengajak makan bakso di langganan kita supaya perutmu kenyang.” Janji Bu Dinar sambil tersenyum padaku.
“Asik, begitu dong. Itu baru sahabat namanya.” Aku tertawa.
“Ih, ternyata Bu Dewi matre juga yah. Cuma buat mendengarkan keluhan aku saja harus dikasih upah segala. Itu pambrih namanya.” Bu Dinar mencibir ke arahku.
“Sudah lah cepatan dong ceritanya, aku sudah tidak sabar nih !” Desakku.
“Tidak sabar mendengar ceritaku yah ?”
“Bukan, tidak sabar ingin cepat makan bakso.” Potongku bercanda.
“Ih, dasar. Sudahlah aku tidak jadi cerita.” Bu Dinar berlaga marah.
“Ya sudah, tidah apa – apa tidak jadi cerita juga, yang penting makan baksonya jadi yah ?” Candaku lagi.
“Amit – amit, curang dong.” Bu Dinar mencubit kedua pipiku dengan gemas.
“Terus jadi cerita tidak nih…?”Desakku.
“Iya…iya..!” Kata Bu Dinar. “Ini kejadiannya dua hari yang lalu.” Bu Dinar mengawali ceritanya. “Dalam sebuah perjalanan menuju pasar, motorku menabrak seorang anak kecil. Untungnya tidak begitu keras karena laju motorku memang sedang perlahan – lahan. Anak kecil itu hanya terjatuh, ada luka lecet di kakinya. Tapi namanya anak kecil, mungkin karena terkejut, spontas tangisnya meledak mengundang perhatian orang – orang di sekitar situ berdatangan ke arahku. Ada yang marah, ada juga yang menolong membangunkan sepedah motorku yang belum aku perdulikan karena aku lebih mengutamakan menolong anak kecilil itu.” Tutur Bu Dinar.