Â
Gambar tersebut menguraikan proses teoritisasi induksi di mana peneliti memulai penelitian berdasarkan data di lapangan. Kemudian peneliti membangun hipotesis untuk memperkaya data dan membantu mengembangkan temuan data baru, serta membantu proses induksi analitik. Data yang telah diperoleh akan dipergunakan untuk melakuka kategorisasi data berdasarkan pada kondisi orisinil data di lapangan.Â
Pada proses ini teoritisasi sudah dapat dimulai dengan cara proses trianggulasi terhadap keabsahan data sebelum dilakukan generalisasi teori untuk membuat kesimpulan-kesimpulan pembahasan yang mengarah pada membangun teori, menduung teori, merevisi teori atau membantah dan menolak teori. Keunggulan pendekatan induktif adalah bahwa penelitian dilakukan pada tingkat paling mendasar (grounded) sehingga seringkali peneliti memulai dari titik nol sebuah riset yaitu pada titik dimana suatu fenomena itu belum terungkapkan dalam berbagai teori dan fenomena sosial yang terbaca.Â
Nilai tambah dari pendekatann induktif adalah kemampuan untuk membangun sebuah teori baru di mana penelitian dilakukan terhadap masalah yang masih sangat baru yaitu premature dan bersifat eksplorasi. Dengan pendekatan induktif, pembahasan penelitian dapat berwujud (a) menerima teori karena mendukung teori, (b) meragukan teori kemudian melakukan kritik terhadap teori, (c) membantah teori kemudian menolaknya, (d) membangun sebuah teori baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Berkolerasi dengan uraian tingkatan atau lingkup teori yang kemukakan oleh Nueman, Burhan Bungin (2017) menyatakan bahwa grand teori merupakan teori makro yang mendasari berbagai teori di bawahnya. Contoh grand teori adalah teori structural-fungsional dan teori konflik yang kerapkali disebut sebagai grand teori dalam penelitian ilmu sosial. Disebut grand teori atau teori makro karean teori-teori tersebut menjadi dasar lahirnya teori-teori lain dalam berbagai tingkatan seperti tingkat menengah dan tingkat mikro. Teori tingkat menengah atau mezzo memiliki focus penelitian pada kajian makro dan juga pada kajian mikro.Â
Contoh adalah teori strukturasi Anthony Gidden. Sementara teori level mikro atau teori aplikasi merupakan teori yang siap diimplementasikan dalam konseptualisasi. Contoh teori mikro atau aplikasi adalah teori kebijakan public, teori pertukaran dan teori interaksi simbolik.Â
Untuk itu, menjadi penting bagi peneliti memahami konteks formal dan material sebuah teori serta memahami dengan baik teori tersebut dari konteks sejarah dan konteks sosial teori itu dilahirkan. Dengan demikian, apabila peneliti menggunakan sebuah teori tertentu, maka peneliti akan memahami struktur dari teori tersebut dan bahkan mampu Menyusun skema perkembangan teori dari masa lalu sampai pada konteks di mana sesorang melakukan penelitian.
Â
ÂSecara garis besar, terdapat dua paradigma utama dalam memandang ilmu pengetahuan yaitu paradigma positivistik dan paradigma interpretative (Rahardjo, 2011). Paradigma positivistic sangat dipengaruhi oleh ilmu alam sehingga bersandar pada hal yang bersifat empirik. Paradigma positivistic menjadi dasar riset yang menggunakan pendekatan kuantitatif.Â
Sementara paradigma interpretative berakar dari cara pandang ilmu sosial yang bersifat holistic dalam memandang permasalahan. Paradigma interpretative menjadi dasar atau pondasi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Setiap pendekatan penelitian baik yang menggunakan pendekata kuantitatif maupun kualitatif memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat permasalahan penelitian.
Fungsi Teori