Mohon tunggu...
Soleha Amalia
Soleha Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UINSA

Hobi saya menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toleransi yang Benar, Kunci Keharmonisan Antaragama

2 Desember 2024   06:51 Diperbarui: 2 Desember 2024   06:56 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, suku, dan agama. Dengan

enam agama resmi yang diakui oleh negara —Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu—

kerukunan antar umat beragama menjadi fondasi penting dalam menjaga persatuan bangsa. Dalam

konteks ini, toleransi antar agama memiliki peran strategis untuk menciptakan masyarakat yang

harmonis dan damai. Toleransi membantu mencegah konflik antar kelompok yang berbeda keyakinan.

Dengan menghormati perbedaan, masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai meskipun

memiliki pandangan yang beragam. Terlabih di Negara kita ini yang notabeninya merupakan

masyarakat yang plural, maka tentu toleransi adalah kunci untuk memperkuat persatuan nasional.

Sikap saling menghormati antar pemeluk agama mendorong solidaritas dan kohesi sosial.

Toleransi membantu mencegah konflik antar kelompok yang berbeda keyakinan. Dengan menghormati

perbedaan, masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai meskipun memiliki pandangan yang

beragam. Dengan sikap toleran mengurangi potensi diskriminasi berdasarkan agama. Meskipun

demikian, bertoleransi harus diterapkan dengan bijak dan dalam batasan yang tepat. Toleransi yang

salah atau berlebihan dapat mengaburkan prinsip agama, melanggar hukum, merusak harmoni sosial,

dan membuka ruang bagi ekstremisme. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman yang jelas tentang

batasan toleransi agar tetap sejalan dengan nilai-nilai moral, hukum, dan prinsip agama yang dianut.

Dalam hal ini Syaikh Wahbah Az zuhaili dalam kitab Al-Washith ketika menafsiri ayat al-Mumtahanah

ayat 8-9 mengungkapkan

ثم سامح أو ر ّخص ّّللا في مواصلة الكفار الذين لم يقاتلوا المؤمنين ولم يطردوهم من ديارهم، فال يمنعكم ّّللا من فعل الخير

مع الكفار الذين سالموكم ولم يقاتلوكم في الدين كالنساء والضعفاء منهم، ولم يخرجوكم من دياركم، وال يمنعكم أيضا من

أن تحكموا بينهم بالعدل، إن ّّللا يرضى عن العادلين

Artinya

“Lantas, Allah mentoleril dan memberi keringanan umat Islam untuk berinteraksi sosial, baik dengan

orang-orang Non Muslim, selagi mereka tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari tempat

tinggal mereka. Kemudian, Allah tidak melarang kalian umat Islam untuk berbuat baik dan bersikap

adil kepada mereka yang tidak memerangi kalian dan berbuat baik pada kalian. Sesungguhnya Allah

meridhai orang-orang yang berbuat adil.”

Artinya Syaikh Wahbah memberi pemahaman kepada kita bahwa toleransi hanya sebatas lahiriah atau

dhahir saja; sikap yang menampilkan penghormatan secara eksternal terhadap perbedaan, tanpa

keterlibatan hati atau keyakinan mendalam. Dalam konteks ini, seseorang mungkin menghormati hak

orang lain untuk berbeda, namun tidak selalu berarti menerima atau menyetujui perbedaan tersebut

Oleh karenanya Syaikh Wahbah menegaskan salah satu latar belakang penurunan ayat AlMumtahanah tersebut adalah salah hadis riwayat Imam Bukhari

أخرج أحمد والبخاري ومسلم- في أسماء بنت أبي بكر رضي ّّللا عنهما، حين استأذنت النّبي صلّى ّّللا عليه وسلّم في صلة

أمها وإعطائها شيئا من المال، وهي مشركة، فقال: «نعم، صلي أمك»

Artinya 

“Ketika Asma’ putri Abu Bakar ra meminta izin kepada Baginda Nabi untuk bersilaturahmi kepada ibunya dan hendak memberinya harta sedangkan ibunya musyrik. Lantas Nabi menjawab, “Iya. Bersilaturahmilah kamu kepada ibumu.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim) 

Hal ini senada dengan pernyataan Syakh Bujairimi dalam kitab Bujairimi Alal-Khatib bahwa jika toleransi sampai menimbulkan rasa cinta dan senang kepada non muslim maka hukumnya haram. Jika toleransi tidak dilakukan dengan konsep diatas maka yang terjadi adalah hilangnya jati diri agama artinya; Individu atau komunitas dapat kehilangan jati diri keagamaannya, misalnya dengan menganggap semua ajaran agama atau keyakinan sama atau benar. Begitu juga akan terjadi miskinanya nilai moral, tanpa batasan yang jelas, nilai-nilai moral bisa menjadi kabur, dan masyarakat dapat menjadi semakin toleran terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma etika atau agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun