PENGERTIAN GHARAR
Gharar dalam pengertian bahasa adalah Al-Khida` (penipuan) yaitu suatutindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan yang tidak mengetahui barang yang diperjual belikan dan tidak dapat diserahkan. Definisi Gharar menurut Madzab Imam Syafi`i, gharar itu adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang sering muncul adalah yang paling kita takuti.
Wahbab Al-Zuhaili memberi pengertian tentang Gharar sebagai Al-khatar dan Al-Taghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian. Beberapa pengertian Gharar yang dikemukakan oleh para Fuqaha yang maknanya hampir sama.
1. Asy-Syarkasi dari Mazhab Hanafi berpendapat, Al-gharar ma yakun masnur al-aqibah 'sesuatu yang tersembunyi akibatnya'
2. Al-Qarafi dari Mazhab Maliki berpendapat, ashlu al-gharar huwa al-ladzi la yudra hal tahshul am laka ath-thair fil al-hawa` wa as samak fi al-ma` 'sesuatu yang tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak seperti burung di udara dan ikan di air'
3. Ibnu Hasan berpendapat, gharar itu ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau penjual tidak tahu apa yang dijual.
Dalam bahasa arab, Gharar diterjemahkan sebagi resiko, sesuatu yang tidak pasti, atau ketidakpastian. Reilly dan Brown (1997), mendefinisikan resiko sebagai "The Uncertainty of Future Outcomes". Jones (1996), mendefinisika resiko sebagai "The Probability of Adverse Outcomes". Adapun Brigham Houston (2000), mendefinisikan resiko sebagai "peluang bahwa beberapa kejadian yang tidak menguntungkan akan terjadi".
GHARAR DALAM ASURANSI
Asuransi pada mulanya tidak dikenal dalam literatur islam, maka oleh Jumhur Ulama di Qiyaskan sebagai praktik jual beli. Dengan demikian, sah tidaknya transaksi asuransi dari kacamata Syari'ah ditentukan oleh terpenuhnya atau tidaknya rukun jual beli, yaitu: pertama, adanya subjek yang melakukan jual beli (aqid), yaitu penjual dan pembeli, dengan syarat berakal, akil baligh, dan tanpa paksaan. Kedua, adanya objek atau barang yang diperjual belikan (ma`qud alaih), dengan syarat suci (bukan barang najis), bermanfaat, dapat diserah terimakan, dan diketahui keadaan, sifat, dzat, serta ukurannya. Ketiga, adanya Sighatul aqad (pernyataan transaksi), dengan syarat adanya kesepakatan atau keikhlasan antara kedua belah pihak.
Rasulillah SAW bersabda tentang Gharar dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya "Abu Khurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli hashah dan jual beli gharar". (HR Bukhari-Muslim)
Syafi`i anantio mendefinisikan gharar sebagai ketidakjelasan hubungan kontraktual antara perusahaan asuransi dan nasabahnyadalam bingkai hukum syariah. Dalam riwayat lain, dari Ali r.a Rasululla SAW pernah melarang jual beli orang yang terpaksa, jual beli gharar, dan penjualan buah sampai dicapai (HR Abu Dawud)
Selanjutnya pada bagian manakah gharar (ketidakpastian) terjadi pada asuransi konvensional yang kita kenal selama ini? Syafi`i Anantio menjelasakan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi ada 2 bentuk:
1. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis
2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar`i penerimaan uang klaim itu sendiri.
Karena asuransi dapat di kategorikan sebagai transaksi jual beli, maka akad dalam asuransi dapat digolongkan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi denga uang pertanggungan. Merujuk pada rukun jual beli diatas, objek pertukaran harus jelas ukurannya, berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan di bayarkan (jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapn seseorang akan meninggal. Disinilah Gharar terjadi pada Asuransi Konvensional.
MACAM-MACAM GHARAR
1. Gharar yang menimbulkan keraguan dan probabilitas
a. Menjual ikan didalam air
Menjual ikan yang belum ditangkap itu tidak dibenarkan dan tidak sah sebagai barang milik. Sama halnya dengan menjual ikan oleh penjajanya pernah ditangkap lalu kemudian dilepas kembali kedalam kolam, sehingga untuk menangkap kembali mendapatkan kesulitan juga dianggap tidah sah dan batal, karena jaminan untuk sampai ke pembeli diragukan.
b. Menjual hewan yang masih dalam kandungan berupa janin
Menjual janin yang masih dalam kandungan atau anak turun yang belum ada janinnya tidak boleh karena nabi telah melarangnya.
c. Menjual burung di udara
Berjual beli burung di udara ataupun burung yang pernah ditangkap kemudian lepas kembali adalah berlawanan dengan ketentuan kebebasan juga tidak boleh,karena itu tidak ada pemiliknya disamping itu pengirimnya kepada pembeli tidak mungkin dapat dilaksanakan.
d. Menjual tangkapan yang masih dalam perangkap
Tidak dibenarkan menjual binatang tangkap yang masih ada dalam perangkap karena tujuan penjualnya tersebut mengandung unsur gharar. Yaitu mungkin ia memperoleh tangkapan tetapi mungkin ia tidak memperoleh tangkapan sama sekali.
Semua jenis transaksi tersebut di atas dan yang sejenis lainyya mengandung unsur gharar dilarang oleh nabi. Pada jenis transasksi ini tidak ada jaminan bahwa penjual mampu mengantar barang-barang yang mungkin telah ia terima uang penjualannya, dikarenakan barangnya belum ada ditangannya atau ia sama sekali tidak mampu melakukan kontrol untuk mengirim barang tersebut. Tawar menawar harus dilakukan saat barang ada ditangan penjual. Apa yang belum pasti yang ada di air, udara, atau dalam kandungan yang belum ada atau lahir atau apa-apa yang ada diluar jangkauan tangan pembeli tidak dapat menjadi barang komoditas yang sah dalam transaksi menurut hukum islam.
2. Gharar bertkaitan dengan kecuranagan dan kebohongan
a. Menjual susu dalam puting
Menjual susu yang masih dalam puting tidak diperbolehkan, karena ada kemungkinan adanya penipuan. Puting itu mungkin tidak mengandung susu, berisi angin atau hal yang lain yang diluar perjualan ini. oleh karena itu Rasulullah SAW melarangnya.
b. Najsh itu diarang
Najsh yaitu sejenis penipuan dimanan seseorang menawarkan suatu barang dengan harga tinggi yang tidak mempunyai maksud untuk membeli tetapi untuk menipu orang lain yang benar-benar bermaksud ingin membeli.
REFERENSI
Rahman Afzalur, doktrin ekonomi islam jilid 4. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf 1996
Vogel Frank E, Hukum Keuangan Islam. Bandung: Nusamedia 2007
Huda Nurul, Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri 2010
Huda Nurul, Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana 2008
Ismanto Kuat, M,Ag., S.H.I, Asuransi Syariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009
Aki Hasan AM, MA, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media 2004
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI