Lokasinya tidak persis di pinggir jalan sehingga butuh kejelian untuk menepi. Asiik. Kami berhenti di rumah warga lalu kami lanjut dengan berjalan kaki melewati persawahan dan juga kafe yang berada di tengah-tengah sawah.
Berhubung in pertama kaliku wisata di Janjang Saribu, aku pun sedikit-sedikit berhenti untuk mendokumentasikan perjalanan. Manariknya, di awal perjalanan sedang ada pembuatan rumah tradisional Minang Kabau, tepat sebelum jempatan pertama. Cekrek, ya lebih dari satu poto terambil wkwk
Begitu masuk sedikit ke dalam, akan dibingungkan apakah mengikuti kata hati atau mampir ke wisata Rumah Inyiak atau ke Ngarai Sianok? Nah, pusing ga tu wkwk
Ok, kami putuskan ke tujuan awal. Setelah itu barulah ke dua lokasi tersebut. Jembatan gantung pun harus kami lintasi untuk menuju tangga atau janjang.
Monyet yang bergelantungan tampak melirik kami. Rasa takut namun ingin merasakan sensasi menaiki janjang tak menyurutkan kami perlahan menapaki satu demi satu.
Semangat 45 pun menggelora sampai akhirnya keringat jagung dan kerah lengan baju naik ke siku. "Woaaah," seruku dengan agak terengap-engap sambil bilang, "masih lama lagi kah?"
Bagaimana tidak, seketika aku pun terkngat  pasangan suami istri saat masih di tangga awal yang menyatakan, "ndak talok kami diak, kami turun ajalah lagi," sebutnya dalam bahasa daerah yang artinya (Kami tidak kuat atau sanggup ke atas dek, jadi kami turun aja).
Mendapati hal itu, sontak kami pun ingin menyerah. Mana hanya membawa satu botol air mineral dan satu botol minum rasa teh. "Tau akan seperti ini, bawa ciki-ciki," ujarku manusia lemah. Namun, menurut adikku, belum seberapa dibanding dengan janjang yang berada di tempat lain.
Tak lama kemudian, kami mendapati dua arah jalan berbeda. Yang satu ke atas, dan yang kedua belok kiri dengan melewati pohon besar lalu sedikit menurun dan kemudian menanjak. Di samping itu jika berusaha sedikit lagi, maka akan bertemu dengan bundaran yang sudab dimodiikasi sebaik mungkin dengan batako. Luar biasa untuk yang membuat tempat sekeren ini.