Ranah Minang. Bumi yang menganut sistem matrelinial selalu menawarkan pesona alam yang menakjubkan. Lembah nan ngarai, bukit, pantai, wisata sejarah, hingga kearifan lokal. Tak ayal, banyak wisatawan lokal hingga mancanegara berbondong-bondong menyambangi provinsi yang terkenal dengan makanan tradisional, rendang.
***
Hawa-hawa libur akhir tahun di depan mata. Biasanya, orang-orang pun akan menyambut tahun baru dengan merayakan kembang api, liburan, dan yang terpenting kumpul dengan orang terkasih seperti keluarga, sahabat, teman, bahkan pacar.
Ngomong-ngomong kumpul dengan orang terkasih, aku punya pengalaman pribadi menghabiskan waktu sehari dengan adik perempuanku. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku selama di Bukittinggi.
Beberapa waktu lalau, aku pergi dari Pekanbaru ke Bukittinggi dengan travel. Pukul 22.00 WIB travel meluncur di rumah lalu melanjutkan jemputan ke penumpang lain. Setelah terisi empat orang termasuk driver dan kursi belakang penuh dengan barang, maka perjalanan sesungguhnya ke Bukittinggi pun dilanjutkan.
Sang supir mulai mengemudi layaknya pembalap moto GP dengan jalanan yang berliku-liku. Artinya, perjalanan sudah memasuki perbatasan Riau - Sumatera Barat (Sumbar).
Waktu menunjukan pukul 23.50 WIB. Supir pun berhenti di rumah makan yang berada di Tanjung Alai Kampar, Riau. Menandakan Kampung tengah pun harus diisi. Masakan khas melayu minang pun terjaja rapi di etalase. Tinggal pilih saja. Ada rendang, kalio, dendeng, dan kawan-kawannya.
Sekira setengah jam berhenti, perjalanan pun dilanjutkan. Perut kenyang, hati senang, waktunya tidur lagi haha
Hal yang ditunggu-tunggu ketika perjalanan ke Ranah Minang yaitu melintasi Jembatan Layang Kelok Sembilan. Meski waktu menunjukan 01.30 dini hari namun wilayah ini masih ramai. Para penjaja makanan disekitar pun masih buka. Jadi, bagi anda yang bepergian malam ke Sumbar tidak perlu takut kelaparan ya.
Aku tak sempat memotret di malam hari. Akan kutunjukan hasil potretanku di kala sang surya masih menyinari dunia dengan keelokan cahaya.
Ok lanjut. Sekitar pukul 03.00 WIB aku pun sampai di kos adikku yang berada di Jalan Gurun Aur, dekat dengan kampus IAIN Bukittinggi. Dingin banget guys, suhunya mencapai 19 derajat celcius. Bagiku yang orang Riau, rasanya seperti berada di kulkas. Bagaimana tidak sehari-hari biasa dengan suhu 33 derajat celcius.
Brrrrr, air yang mengucur dari kran asli dinginnya. Dengan kehatian-hatian dan terpaksa maka kelar sudah mandi agar bisa tetap harum mewangi saat menjelajah Bukittingi.
Perjalanan pun kami mulai dengan berjalan kaki menuju seberang pintu gerbang kampus IAIN. Angkot merah pun menjadi jalan ninja kami untuk wisata hemat. Cukup merogoh Rp3 ribu rupiah saja untuk setiap orangnya.
Terhitung ada 7 wisata yang berhasil kami kunjungi dalam sehari dengan angkot dan aplikasi ojek online (ojol). Check it out!
Wisata nomor wahid yang kami kunjungi yakni Jam Gadang. Tentunya, jam gadang sebagai ikon Bukittingi ini wajib dikunjungi bagi para wisatawan. Rasanya belum afdol kalau belum ke Jam Gadang. Di area ini, teman-teman bisa naik bendi dengan tarif Rp40 ribu sekali putaran di kota Bukittinggi.
Masih di area Jam Gadang, tempat wisata selanjutnya yakni Pasa Ateh dan Pasa Bawah. Lokasinya cukup strategis tepat berada disekitar Jam Gadang. Di sana, teman-teman bisa membeli pernak-pernik dan beragam oleh-oleh. Harganya cukup terjangkau.
Harga untuk gantungan kunci (ganci) mulai dari Rp3 ribu hingga Rp25 ribu. Tergantung kualitas dan bahan. Sementara, baju kaos sekitar Rp35 ribu per biji. Jika membeli tiga dapat kortingan, yakni tiga helai baju seharga Rp100 biji.
Tak jauh dari Jam Gadang, yakni Taman Monument Proklamator Bung Hatta atau Wakil Presiden RI pertama. Di sana lengkap tertulis Biografi dan pesan-pesan Bung hatta selaku proklamator dari Minang Kabau.
"Selama dengan buku kalian boleh memenjarakanku dimana saja, karena dengambuku aku merasa bebas," salah satu pesan Bun Hatta.
Wisata selanjutnya yang kami tuju yakni Janjang Saribu. Kami pilih ojol sebagai alternatif kejar cepat. Untuk menuju lokasi sekitar 10 menit dari Jam Gadang.
Lokasinya tidak persis di pinggir jalan sehingga butuh kejelian untuk menepi. Asiik. Kami berhenti di rumah warga lalu kami lanjut dengan berjalan kaki melewati persawahan dan juga kafe yang berada di tengah-tengah sawah.
Berhubung in pertama kaliku wisata di Janjang Saribu, aku pun sedikit-sedikit berhenti untuk mendokumentasikan perjalanan. Manariknya, di awal perjalanan sedang ada pembuatan rumah tradisional Minang Kabau, tepat sebelum jempatan pertama. Cekrek, ya lebih dari satu poto terambil wkwk
Begitu masuk sedikit ke dalam, akan dibingungkan apakah mengikuti kata hati atau mampir ke wisata Rumah Inyiak atau ke Ngarai Sianok? Nah, pusing ga tu wkwk
Ok, kami putuskan ke tujuan awal. Setelah itu barulah ke dua lokasi tersebut. Jembatan gantung pun harus kami lintasi untuk menuju tangga atau janjang.
Monyet yang bergelantungan tampak melirik kami. Rasa takut namun ingin merasakan sensasi menaiki janjang tak menyurutkan kami perlahan menapaki satu demi satu.
Semangat 45 pun menggelora sampai akhirnya keringat jagung dan kerah lengan baju naik ke siku. "Woaaah," seruku dengan agak terengap-engap sambil bilang, "masih lama lagi kah?"
Bagaimana tidak, seketika aku pun terkngat  pasangan suami istri saat masih di tangga awal yang menyatakan, "ndak talok kami diak, kami turun ajalah lagi," sebutnya dalam bahasa daerah yang artinya (Kami tidak kuat atau sanggup ke atas dek, jadi kami turun aja).
Mendapati hal itu, sontak kami pun ingin menyerah. Mana hanya membawa satu botol air mineral dan satu botol minum rasa teh. "Tau akan seperti ini, bawa ciki-ciki," ujarku manusia lemah. Namun, menurut adikku, belum seberapa dibanding dengan janjang yang berada di tempat lain.
Tak lama kemudian, kami mendapati dua arah jalan berbeda. Yang satu ke atas, dan yang kedua belok kiri dengan melewati pohon besar lalu sedikit menurun dan kemudian menanjak. Di samping itu jika berusaha sedikit lagi, maka akan bertemu dengan bundaran yang sudab dimodiikasi sebaik mungkin dengan batako. Luar biasa untuk yang membuat tempat sekeren ini.
Agar tidak ada penyesalan, tidak ada salahnya mengeluarkan energi lebih banyak menuju lokasi itu yang konon katanya disebut mirip dengan Tembok Cina. Cus, meluncur. Dan cekrek, satu dua buah poto pun terdokumentasikan dengan latar bukit yang menjulang tinggi.
Mengingat waktu terus berjalan, kami kembali melanjutkan menjajaki Janjang Saribu. Ternyata, ini tanjakan paling tinggi. Tak ada belok kanan kiri lagi yang tajam. Paling hanya lima sampai sepuluh tangga. Taraaaaa, finally we did it!
Sungguh lega sekali, meski awalnya bingung, lantaran tidak ada tangga lagi. Apakah ini sudah sampai atau jebakan batman? Haha
Ternyata, begitu mendapati tulisan "Di sini asal H Agus Salim Pejuang Kemerdekaan RI" pada sebuah dinding merah, maka sampailah di Puncak Janjang Saribu. Dimana wisata ini diresmikan pada 2013 lalu oleh Kemenkominfo Tifatul Sembiring.
Terlihat lengang. Warung bambu penjual makanan dan minuman terlihat tidak terurus dan mulai reot. Hanya, ada seorang yang berjual di warung kayu dan bambu. Sejenak kami berisitirahat di sana dengan niat hati makan mi instan.
"Habis mi nya," kata pak tua itu.
Beruntung air mineral dan rasa-rasa ada di sana. Mengingat perjuangan menuju ke sini, aku pun segera membeli dua botol air mineral. Lalu, mengobrol dengan bapak paruh baya itu.
Menurutnya, sejak pandemi, banyak wisatawan yang tidak mendatangi Janjang Saribu. Bahkan, pernah tutup. Sehingga, saat sudah kembali dibuka, berpengaruh dengan ekonomi sekitar sini, khususnya penjual.
"Mau tidak mau harus buka, demi bisa menghasilkan uang," ujarnya.
Tak dapat dipungkiri, pandemi covid-19 memang efeknya luar biasa dan merambah ke segala sektor. Semoga perekonomian Indonesia pun pulih, meski dihantui resesi 2023.
Angin yang menghunus tubuh, benar-benar sampai ke tulang. Pendopo yang terlihat kosong, akhirnya terisi oleh kami berdua. Suara gemerujuk air dari ngarai, sayup-sayup terdengar sampai di puncak. Jika menghadap ke depan, ada Lobang Japang, yang nanti bakal kami kunjungi juga.
Wisata ke lima yakni Rumah Inyiak. Nah, di sini teman-teman bisa memanjakan diri dengan rebahan di hammock yang terletak diantara pohon maupun yang berada di antara bulatan besi. Gimana ya deskripsiinnya, pokoknya itulah haha
Jika turun menulusuri jalan yang sudah disediakan, maka sampailah di Ngarai Sianok. Wisata ke-enam kami yang disuguhi dengan air jernih dan off road sepanjang ngarai. Tenang, kami tidak jadi main off road karena gerimis mengundang ditengaj kami mengisi kampung tengah dengan mi instan buatan warung uda di sana.
Seketika berhamburanlah anak-anak SMP yang sedang melakukan darma wisata di Ngarai Sianok. Mereka yang menghampiri kami di pendopo mengatakan peserta didik dari salahsatu SMP di Padang.
"Akak (red kaka) kelas berapa?" ucap seorang remaja laki-laki SMP. Seketika, aku dan adikku saling tatap dan ingin tertawa. Namun, yang keluar, "coba tebak kelas berapa?"
"Heee kau nih, ambo agih tau sama cewek kau nanti," kata seorang gadis yang menyebut dengan bahasa daerah dan juga didukung oleh gadis-gadis lainnya.
"Kenalan kan tak ada masalah," bela teman cowo satu lagi.
Ternyata, masa-masa remaja memang lucu. Rasanya, ingin kembali ke masa itu.
Gerimis tak kunjung reda. Bingung mau mengisi kampung tengah dengan apalagi, kami memutuskan untuk makan es krim, seperti pelajar SMP itu.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 14.30 WIB. Rombongan pelajar meninggalkan Ngarai Sianok, begitu juga kami. Mereka menggunakan bus. Saat kami menunggu ojol, terlihat dari kaca jendela bus lambaian tangan diarahkan kepada kami. Sayonara!
Dan pukul 15.00 WIB kami pun sampai di wisata terakhir yakni ke Lobang Japang. Ini ketiga kaliku menginjakkan kaki setelah lulus SMA 2014 lalu. Kan, ketauan umur berapa wkwk
Tiket masuk ke area wisata Lobang Japang Rp10 ribu per orang. Tiket ini tentunya berbeda ketika teman-teman masuk Lobang Jepang dengan tour guide. Gunanya, agar tidak tersesat saat berada di dalam peninggalan sejarah yang masih terawat hingga saat ini.
Jika ingin menggunakan jasa tour guide dan sekaligus wisata sejarah, teman-teman harus merogoh kantong kisaran Rp50 ribu sampai Rp75 ribu. Harus pandai bernegosiasi.
Jalanan sekitar area wisata ini pun basah. Rintik hujan tak berkesudahan. Monyet di kawasan sekitar pun sesekali mendatangi pengunjung berharap mendapat makanan. Landscape Ngarai Sianok dan Janjang Saribu dari kawasan ini pun terlihat jelas. Rasanya, tidak percaya jika tadi dari sana.
Azan ashar pun berkumandang. Waktunya, umat muslim menjalankan ibadah. Tidak perlu khawatir, terdapat musala di kawasan Lobang Japang. Cukup luas.
***
Perjalanan kali ini benar-benar mengajarkan banyak hal. Rasanya seperti kejar tayang, padahal tidak sama sekali. Lebih keoada bagaimana menghargai waktu dan akan diapakan waktu yang kita punya.
Semoga perjalanan kami ini bisa mewujudkan teman-teman yang ingin pergi ke Bukittinggi ya. Sebenarnya, masih ada banyak wisata lainnya, namun karena malam harinya aku harus kembali ke Pekanbaru, kusudahi perjalanan kali ini.
And see u on the next occasion. Probably, we will meet in the real life. Bye-bye
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H