Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surga Hanya di Telapak Kaki Ibu? (1)

13 September 2022   21:37 Diperbarui: 14 September 2022   14:40 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Icha, menurut kamu, adikmu itu orangnya seperti apa?"

"Maksud Ibu gimana? Icha nggak paham."

"Diantara teman-temannya, adikmu itu yang paling lugu, kan? Ibu takut dia dimanfaatkan oleh mereka."

Icha mendesah. Lagi-lagi hal itu yang ditanyakan ibunya. Entah sudah berapa kali wanita yang melahirkannya itu membahas topik yang sama.

"Cahyo itu sudah dewasa, Bu. Umurnya tiga puluh tujuh tahun. Sudah punya istri dan anak. Janganlah diatur-atur lagi harus berteman dengan siapa. Dia sudah paham bagaimana cara bergaul yang baik."

"Tapi adikmu itu terlalu polos, Icha. Teman-temannya itu pintar sekali. Ibu tidak percaya mereka tulus berteman dengan adikmu."

"Lalu bagaimana Ibu bisa mengajari Cahyo cara berteman kalau Ibu sendiri tidak punya teman sama sekali?"

"Ya, Ibu tidak punya teman karena ayahmu tidak pernah mengizinkan Ibu bergaul. Itu salah ayahmu!"

"Sudahlah, Bu. Jangan salahkan orang lain."

"Lho, memang benar kok, ayahmu tidak pernah mengizinkan Ibu berteman. Kamu saking tidak tahu saja sifat ayahmu yang sebenarnya!"

"Itu juga tergantung dari Ibu sendiri. Seandainya Ayah tidak mengizinkan Ibu pergi ke salon kecantikan, masa Ibu menurut saja? Ibu pasti akan mencari cara bagaimana supaya bisa pergi ke salon itu, bukan?"

"Oh, kalau Ibu pergi ke salon kecantikan, ayahmu tidak masalah. Dia selalu mengizinkan."

"Ya kalau begitu Ibu mikir saja bagaimana caranya supaya bisa bergaul. Nanti kan lama-lama dibolehin Ayah juga."

"Kamu tidak tahu sifat ayahmu yang pencemburu. Dia itu tidak suka Ibu bergaul dengan orang lain."

"Sudahlah, Bu. Jangan menyalahkan Ayah terus."

"Kamu yang selalu menyalahkan Ibu, Icha! Ibu tahu sampai sekarang kamu masih membenci Ibu karena menelantarkanmu waktu kecil. Ibu sudah berusaha menebus kesalahan Ibu, Nak. Tapi kamu malah semakin melunjak. Kamu tidak menghargai Ibu sebagai orang tua. Kamu memperlakukan Ibu seperti anak kecil. Sebenarnya Ibu ini orang tuamu atau anakmu? Kamu benar-benar kurang ajar!"

Icha yang tak menyangka ibunya akan marah akhirnya berusaha mengalah. "Bu, Icha minta maaf, Icha ini masih sakit muntaber. Maafkan kalau kata-kata Icha menyinggung hati Ibu," ucapnya merendahkan diri.

"Tidak. Dari dulu kamu selalu begitu. Ibu tahu kamu masih menyimpan dendam sama Ibu. Kamu tak pernah memaafkan Ibu!"

"Icha sudah memaafkan Ibu. Icha nggak ada perasaan dendam sama Ibu."

"Bohong! Kamu ini benar-benar anak durhaka, Icha. Tidak tahu diri. Dengar, kalau bukan karena Ibu, kamu tidak akan hidup sampai hari ini! Kamu, suami, dan anak-anakmu tidak akan bisa makan sampai detik ini kalau tidak ada Ibu. Ini karma karena kamu dulu ngotot menikah dengan laki-laki itu. Kamu tidak mengindahkan larangan Ibu untuk berhubungan dengannya. Sekarang Ibu tanya, apa yang kamu dapatkan dari laki-laki itu, hah? Apa?!"

Icha yang semula masih berusaha merendah langsung berkobar emosinya. Dia tak suka suaminya dikait-kaitkan dalam masalah ini. Masalah yang sebenarnya merupakan hal sepele tapi kerap diributkan oleh ibunya. Masalah ketidaksepahaman antara dirinya dengan perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu.

"Setelah menikah, Icha menjadi istri yang baik, Bu. Juga ibu yang baik bagi anak-anak. Icha memperhatikan kebutuhan anak-anak. Mereka sangat menyayangi kedua orang tuanya."

"Tidak tahu diri! Kamu benar-benar anak durhaka. Padahal sejak menikah, hidupmu semakin susah. Apa-apa dikerjakan sendiri! Dulu di rumah orang tua enak ada pembantu. Sekarang hidupmu melarat, kere! Mulai sekarang jangan berani-berani datang ke rumah lagi. Juga tidak ada lagi transferan setiap bulan untukmu. Kita lihat saja, apa bulan depan kamu, suami, dan anak-anakmu masih bisa makan?!"

Amarah Icha semakin menggelegak. Dengan suara lantang wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu berkata, "Kapan Icha pernah meminta uang dari Ibu? Sepeserpun tidak. Bahkan kalau Ibu memesan barang untuk dibelikan di toko online, Icha selalu bilang tidak usah dibayar. Tapi Ibu memaksa Ayah untuk mentransfer ke rekening Icha. Akhirnya Icha terpaksa menerimanya. Itupun uang kembaliannya selalu Icha transfer kembali ke rekening Ayah. Dan uang bulanan yang ditransfer Ayah juga sebenarnya dengan berat hati Icha terima. Demi membiayai terapi dan suplemen Elly...."

"Ya, anakmu si Elly itu lahir menyandang down syndromme akibat dosamu telah menentang Ibu dengan menikahi ayahnya. Kasihan anakmu itu terpaksa memikul dosa ibunya. Itu karmamu, Icha. Karma!"

Air mata Icha mulai mengalir deras. Wanita itu tak terima dengan tuduhan ibu kandungnya. "Elly itu terlahir sebagai down syndromme bukan karena Icha. Tapi karena dari keluarga Ayah ada riwayat genetik anak-anak berkebutuhan khusus. Ibu tahu itu. Cucu-cucu keponakan Ayah di luar kota banyak yang mengalami gangguan autis, ADHD, down syndromme, dan sebagainya."

Sang ibu tidak mau kalah. Suaranya semakin melengking tinggi. "Tutup mulutmu, Anak Durhaka! Kamu ingat mendiang pamanmu dulu pernah berkata bahwa Elly itu tidak normal akibat menanggung karma perbuatanmu dulu menentang Ibu. Saking pamanmu itu sudah meninggal dunia. Kalau tidak, Ibu akan minta dia dengan lantang berseru di telingamu bahwa Elly itu tidak normal akibat perbuatanmu!"

Icha semakin naik pitam. Dia menjadi histeris. Tanpa rasa hormat lagi pada sang ibu, wanita yang merasa terintimidasi itu menjerit sekuat tenaga, "Memang Ibu saja yang bisa depresi? Orang lain tidak bisa? Aku juga bisa depresi, Bu. Aku sama seperti Ibu. Butuh psikiater. Tapi aku selama ini berusaha mengontrol perasaanku sendiri. Karena anak itu membutuhkan ibunya berakal sehat. Ibu jangan sombong. Cobalah introspeksi diri. Introspeksi!"

Sambil mengucapkan kata-kata itu, Icha menjambak-jambak rambutnya sendiri. Ekspresi wajahnya tidak karuan. Ingin diperlihatkannya pada sang ibu yang melihatnya melalui video call bagaimana dirinya kalau depresi. Karena selama ini ibunya melulu yang selalu marah-marah dengan menyakiti diri sendiri di hadapan suami maupun anak-anaknya.

Tapi hal itu justru semakin menyulut kemarahan wanita tua itu. Wanita yang usianya sudah enam puluhan, tapi kelihatan sepuluh tahun lebih muda karena rajin merawat kecantikannya.

"Kamu makin lama makin kurang ajar. Kamu lupa, surga itu berada di telapak kaki Ibu? Pamanmu dulu saja berkata, menentang ayah itu berbeda dengan menentang ibu. Ayah tidak mempunyai surga di telapak kakinya. Ibu punya! Dengar itu, Icha. Ibu punya surga. Ayah tidak punya! Mulai sekarang benar-benar tak ada lagi uang untukmu sekarang, Anak Durhaka. Lihat saja. Kamu, suamimu, dan anakmu akan kelaparan. Kalian bertiga akan menjadi kere. Kere, kere, kere!"

"Icha takkan menerima lagi uang sepeserpun dari Ayah, Ibu, maupun dari saudara-saudara Ibu. Jangan lupa, Bu. Roda dunia itu selalu berputar. Sekarang posisi Icha memang sedang berada di bawah, karena tidak bisa bekerja maksimal demi mengasuh Elly yang down syndromme. Tapi suatu saat roda akan berputar dan membawa Icha kembali ke atas."

"Jangan mimpi! Suamimu itu tidak bisa apa-apa. Kalian bertiga akan hidup kere selama-lamanya. Kere, kere, kere!"

Kemudian terdengar suara ayah Icha berusaha menenangkan sang istri. Icha merasa kasihan pada laki-laki yang sangat dikasihinya itu. Emosinya menurun sedikit dan dia berkata, "Icha minta maaf sama Ayah sudah bikin susah. Ayah tahu Icha tidak bermaksud buruk. Maafkan Icha sudah merepotkan Ayah. Jaga kesehatan Ayah, ya. Selamat malam."

Icha mematikan ponselnya. Dihapusnya air mata yang berlinangan membasahi wajahnya. Kemudian dia membuka pintu kamar dan berjalan lunglai ke kamar belakang. Di sana ada Elly, putri tunggalnya yang menyandang down syndromme. Gadis kecil berusia delapan tahun itu tersenyum melihat ibunya masuk ke kamarnya. Sejak tadi dia asyik menonton film kartun favoritnya di televisi. Sempat didengarnya suara sang ibu berteriak-teriak di kamar depan, tapi anak kecil itu tak mengerti maksudnya.

Kini saat ibunya merebahkan diri di atas tempat tidur bagaikan mengalami kelelahan yang teramat sangat, hati anak berkebutuhan khusus itu tersentuh. Didekatinya wanita yang melahirkannya ke dunia itu. Disentuhnya dada Icha, lalu dielus-elusnya dengan lembut. Wajah anak tak berdosa itu tersenyum manis sekali seolah-olah hendak memberi kelegaan pada ibunya.

Icha yang tak tahan lagi langsung memeluk Elly erat-erat. "Terima kasih, Elly, sudah sayang sekali sama Bunda. Bunda sungguh beruntung memilikimu, Nak. I love you, Elly. Forever."

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun