"Oh, kalau Ibu pergi ke salon kecantikan, ayahmu tidak masalah. Dia selalu mengizinkan."
"Ya kalau begitu Ibu mikir saja bagaimana caranya supaya bisa bergaul. Nanti kan lama-lama dibolehin Ayah juga."
"Kamu tidak tahu sifat ayahmu yang pencemburu. Dia itu tidak suka Ibu bergaul dengan orang lain."
"Sudahlah, Bu. Jangan menyalahkan Ayah terus."
"Kamu yang selalu menyalahkan Ibu, Icha! Ibu tahu sampai sekarang kamu masih membenci Ibu karena menelantarkanmu waktu kecil. Ibu sudah berusaha menebus kesalahan Ibu, Nak. Tapi kamu malah semakin melunjak. Kamu tidak menghargai Ibu sebagai orang tua. Kamu memperlakukan Ibu seperti anak kecil. Sebenarnya Ibu ini orang tuamu atau anakmu? Kamu benar-benar kurang ajar!"
Icha yang tak menyangka ibunya akan marah akhirnya berusaha mengalah. "Bu, Icha minta maaf, Icha ini masih sakit muntaber. Maafkan kalau kata-kata Icha menyinggung hati Ibu," ucapnya merendahkan diri.
"Tidak. Dari dulu kamu selalu begitu. Ibu tahu kamu masih menyimpan dendam sama Ibu. Kamu tak pernah memaafkan Ibu!"
"Icha sudah memaafkan Ibu. Icha nggak ada perasaan dendam sama Ibu."
"Bohong! Kamu ini benar-benar anak durhaka, Icha. Tidak tahu diri. Dengar, kalau bukan karena Ibu, kamu tidak akan hidup sampai hari ini! Kamu, suami, dan anak-anakmu tidak akan bisa makan sampai detik ini kalau tidak ada Ibu. Ini karma karena kamu dulu ngotot menikah dengan laki-laki itu. Kamu tidak mengindahkan larangan Ibu untuk berhubungan dengannya. Sekarang Ibu tanya, apa yang kamu dapatkan dari laki-laki itu, hah? Apa?!"
Icha yang semula masih berusaha merendah langsung berkobar emosinya. Dia tak suka suaminya dikait-kaitkan dalam masalah ini. Masalah yang sebenarnya merupakan hal sepele tapi kerap diributkan oleh ibunya. Masalah ketidaksepahaman antara dirinya dengan perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu.
"Setelah menikah, Icha menjadi istri yang baik, Bu. Juga ibu yang baik bagi anak-anak. Icha memperhatikan kebutuhan anak-anak. Mereka sangat menyayangi kedua orang tuanya."