Senja menyambutnya dengan tatapan curiga.
*"Apa yang membawamu jauh-jauh ke sini, Cahaya?"* suaranya lembut, tetapi berlapis pertanyaan.
*"Aku datang karena namamu telah menulis cerita di dadaku,"* jawab Cahaya perlahan, menatap matanya dengan jujur.
Senja terdiam. Ia sudah mendengar cerita dari kakaknya, tetapi ada sesuatu di sorot Cahaya yang membuatnya memilih mempercayai, meski ia tahu rencana hidupnya telah tertata.
*"Kamu tahu, bulan depan aku akan bertunangan,"* Senja berkata tanpa emosi, matanya menatap jauh ke cakrawala.
"Aku tahu dari  Mbak  Langit Pagi, tetapi hati tak memilih waktunya sendiri,"* Cahaya menjawab, suaranya nyaris berbisik.
Senja tertegun. Di bawah langit yang mulai temaram, ia justru mengajaknya berkeliling kota menggunakan skutik matiknya. Jalan-jalan itu, meski sederhana, membuat mereka terasa begitu dekat.
***
*Luka yang Menjadi Awal*
Saat senja pulang ke rumahnya, calon suaminya, Abidin yang diantar sopirnya, sudah menunggu dengan wajah murka. Ibunya telah memberi tahu bahwa Senja pergi bersama pria asing.
*"Kau ke mana saja, Senja?"* suara Abidin tajam.
*"Jalan-jalan. Itu urusanku,"* jawab Senja dingin.