Maya mengangguk. "Ya, dan sayangnya, dia tidak menyadari itu. Yang lebih buruk, ada orang-orang yang menjadi 'alas kaki'-nya, mendukung perilakunya, tanpa berpikir panjang. Itu memperburuk kondisinya dan membuat dia semakin sulit berubah."
Sarita memandang cangkir kopinya yang kini dingin. "Tapi Maya, apa aku harus pergi dari grup itu? Grup itu penting bagiku. Aku bisa memantau banyak hal, terutama gerakan politik proxy."
Maya menyandarkan tubuhnya. "Sarita, hidup adalah tentang pilihan. Jika grup itu membuatmu kehilangan kedamaian, kamu harus memutuskan apakah tujuanmu sebanding dengan harga yang kamu bayar."
Sarita terdiam. Maya melanjutkan, "Islam mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam memilih lingkungan. Allah berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 28 bahwa kita harus bersabar bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya dan menjauhi mereka yang hatinya lalai dari mengingat Allah."
Sarita mengangguk pelan. "Tapi Maya, aku kasihan padanya. Jika semua orang meninggalkan dia, bukankah itu akan semakin memperburuk kondisinya?"
Maya tersenyum lembut. "Kasihan itu mulia, Sarita. Tapi jangan lupa untuk berempati dengan bijak. Kamu bisa mendoakannya dari jauh. Jika dia tak pernah sadar akan perilakunya, usahamu mendekat justru akan menjadi racun untuk dirimu sendiri."
Sarita menatap Maya dengan tatapan bingung. "Maya, aku takut dianggap lari dari masalah. Aku ingin tetap kuat."
Maya menatap Sarita dengan penuh keyakinan. "Sarita, kekuatan sejati bukan berarti kamu harus terus bertahan dalam situasi yang merusak. Kadang, kekuatan justru ada dalam keberanian untuk pergi menghindar, demi menjaga dirimu."
Sarita menghela napas panjang, memandang keluar jendela di mana mentari pagi mulai mengintip malu-malu. Perlahan, ia mulai merasa ringan.
"Pernahkah kamu membaca renungan malam dari Ali bin Abi Thalib?" tanya Maya tiba-tiba.
Sarita mengangguk samar. "Aku pernah menuliskannya di Kompasiana."