Maya mencondongkan tubuhnya, memberi ruang untuk Sarita melanjutkan.
"Yang membuatku merasa begitu hancur adalah... aku terpancing," suara Sarita hampir tak terdengar.
"Aku membalasnya dengan kata-kata kasar. Aku menyebut dia 'CEO goblok' yang dipecat karena merugikan perusahaan."
Maya terkejut, tapi mencoba menyembunyikannya. "Itu bukan kualitas  kamu, Sarita. Kamu tahu itu."
Sarita mengangguk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah. "Aku tahu, Maya. Aku tahu. Tapi aku tak bisa menahan diri. Aku merasa direndahkan, dipermalukan di depan teman-teman di grup WA itu. Aku ingin membalas... ingin membuat dia merasakan sakit yang sama."
Maya meraih tangan Sarita dengan lembut. "Itu reaksi manusiawi, Sarita. Tapi ingatlah, kita tidak bisa mengubah perilaku orang lain dengan membalas dendam. Itu hanya akan membuat kita terjebak dalam lingkaran toxic yang sama."
Sarita terisak, mencoba menenangkan dirinya. "Aku hanya ingin dia tahu bahwa dia salah. Tapi, pada akhirnya, aku malah merendahkan diriku sendiri. Menyebutnya 'CEO goblok, sudah tepat boss memecat-mu !' Itu ucapanku"
Maya tersenyum tipis. "Sarita, apa kamu tahu latar belakang temanmu itu?"
Sarita menggeleng pelan.
"Dia didiagnosis
 dengan Neuropsychotic Disorder. Trauma masa kecilnya, ditambah kegagalannya mempertahankan jabatan penting, membuat dia merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Rasa marah dan frustrasinya diarahkan pada orang-orang di sekitarnya."  Paragraf' baku itu salah satu template diagnosa, milik Maya. Berulang kali sudah dikatakannya
Sarita tertegun. "Jadi, dia sebenarnya... menderita?"