Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Luka Sarita, Pilihan Berdamai dari Lingkaran Toxicn

2 Januari 2025   00:42 Diperbarui: 2 Januari 2025   02:38 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |   Luka Sarita, Pilihan  Berdamai dari Lingkaran Toxic

DikToko
(Soetiyastoko)

Pagi itu, di sudut coffeeshop yang terkenal mahal, Sarita duduk menunduk dengan tangan gemetar. Cangkir kopinya hampir tak tersentuh, hanya mengeluarkan aroma pekat yang perlahan memudar.

Suasana masih sepi, hanya ada dua pengunjung lain yang sibuk dengan laptop masing-masing.

Dr. Maya, sahabat Sarita sekaligus psikolog klinis, duduk di seberangnya, menatap Sarita dengan pandangan penuh perhatian.

"Dia didiagnosis dengan Neuropsychotic Disorder,  NPD. Trauma masa kecilnya, ditambah kegagalannya mempertahankan jabatan penting, membuat dia merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Rasa marah dan frustrasinya diarahkan pada orang-orang di sekitarnya." Itu kalimat Maya saat diminta pendapat tentang calon pimpinan yang akan direkrut owner group usaha.

Kalimat standar seorang profesional.

***

Kali ini yang dihadapan Maya adalah karibnya, Sarita ...

Sarita memandang ke arah jendela besar di dekatnya. Matanya basah, suara seraknya terdengar bergetar. "Maya, aku merasa seperti... pecundang. Apa aku memang sebodoh itu?"

Maya menghela napas, menyandarkan punggung ke kursinya. "Sarita, apa yang sebenarnya membuatmu merasa seperti ini? Ceritakan dengan jujur."

Air mata Sarita mulai mengalir. "Aku... aku tak habis pikir. Dia menyebutku munafik, dungu, bahkan mengatakan aku sesat.
Hanya karena pilihan politikku berbeda. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun