Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Menyibak Realita di Balik Lensa Kamera TV

14 Desember 2024   07:51 Diperbarui: 14 Desember 2024   07:51 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aaah ...." , lenguh Satrio mengingat semua pelecehaan itu. Begitu terhina saat terpaksa menerima jawaban itu, mestinya jadi boss HRD bahasanya bisa lebih baik.

Namun dia tahu alasannya lebih dari itu. Satrio pernah menolak mentah-mentah saat diminta memark-up biaya liputan. "Gak mau saya main curang, Pak," katanya dulu saat ditugasi menejer dan supervisornya. Setelah itu, kenaikan gaji hanya sebatas "penyesuaian inflasi."

Dia mulai membandingkan nasibnya dengan tetangganya, Pak Jiung, montir mobil panggilan yang setiap malam pulang mengendarai jip sangar, membawa uang segenggam dari ongkos kerja dikolong mobil. Kerja kotor, pendapatan menor ! "Montir tajir melintir, bergaji bankir" , seloroh Pak RT.

Pak Jiung, paling keren rumahnya di kampung itu.

Sementara Satrio, yang sering meliput demo buruh dan merasa dirinya lebih beruntung, kini sadar: buruh-buruh itu bahkan bisa protes soal gaji. Sedangkan dia? Hanya bisa menahan ngilu di pundak akibat kamera berat yang digendong sepanjang hari. Mereka pikir  gaji-ku berapa ?.

***

"Cuma Mimpi yang Bertahan"
Pikiran Satrio melayang ke masa lalu, saat pertama kali diterima bekerja di televisi.

"Kerja di stasiun TV Swasta itu keren, ditakuti lurah dan camat brengsek." katanya kepada kawan-kawan waktu itu. Tapi ternyata, keren tak membuat perut kenyang atau dompet tebal.

Kenyataannya, hanya para host yang hidup mewah. Mereka bekerja beberapa menit di depan kamera tapi bayarannya bisa puluhan juta. Sementara dia? Berpanas-panasan di lapangan seharian demi gambar bagus, tapi gajinya bahkan tak cukup untuk nyicil DP rumah paling kecil.

"Keren dari mana kalau akhirnya pensiun pun gak bisa beli kandang buat diri sendiri?" gumam Satrio, mencibir kebanggaan yang dulu dia pegang erat.

***

"Mencari Jalan Keluar"
Semakin malam, kepala Satrio semakin penuh. Dia sadar, tak ada yang akan berubah jika dia tetap begini. Dia butuh penghasilan setidaknya Rp12 juta sebulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun