Cerpen  |  "Di Balik Kegilaan Politik: Ketika Fanatisme Mengaburkan Akal Sehat"
DikToko
(Soetiyastoko)
Saat subuh baru saja berlalu, dan langit di luar masih berbalut warna hitam disibak biru tua, aku duduk di teras rumah, usai jalan dari Musola. Kupandang ke arah pepohonan yang bergerak pelan diterpa angin. Tak ada burung-burung yang biasanya sudah berkicau.
Pikiran ini tak tenang. Padahal baru saja selesai sholat, dan entah kenapa, ada dorongan kuat untuk membuka ponsel.
Mungkin karena malam sebelumnya terlalu banyak percakapan di grup WhatsApp yang tertinggal, obrolan tentang dunia politik yang hampir selalu memancing emosi.
Aku terhenyak membaca diskusi panjang yang penuh caci maki, antara mereka yang dahulu satu perjuangan, satu visi, satu impian. Kini, seolah semua itu terhapus hanya karena perbedaan pilihan politik.
Bagaimana bisa, -kita-, yang pernah bersatu dalam semangat membangun masa depan, kini terbelah hanya karena kita berbeda pandangan tentang satu atau dua tokoh?
Percakapan di GWA ini bertolak belakang dengan  Motto yang dicantumkan.
"Wadah Soliditas, Silaturahmi & Kebersamaan".
Aku berbicara pada diriku sendiri, "Bukankah sulit bersikap obyektif saat kita terlalu mengidolakan seseorang? Semua kelebihan dan kekurangannya menjadi satu, namun di mata kita, hanya kelebihannya yang tampak".
"Bagaimana mungkin kita bisa menilai dengan adil jika pandangan kita telah dilumuri oleh rasa suka atau benci yang begitu dalam?"
Kukembali ke layar ponsel. Sebuah pesan dari seorang teman karib mencuat, jelas sekali ia tengah marah.
"Bagaimana mungkin kalian bisa mendukung seseorang yang begitu jelas kesalahannya? Apa kalian buta?"
Aku terdiam. Bagaimana menjawabnya? Mungkin -pikirku- , jika ia tahu betapa sulitnya mencela orang yang kita percayai, ia akan memahami.
Tapi di sini-lah , letak masalahnya, aku tahu bahwa tak ada gunanya menjelaskan.
Seberapa hebat argumen yang kubuat, mereka yang telah memutuskan untuk membenci tak akan pernah percaya untuk ditengahi.
Dialog batinku berlanjut: "Bukankah jika mereka sudah terlanjur suka, bahkan saat orang yang mereka idola-kan itu terjebak dalam skandal, mereka akan tetap percaya ? Tak peduli apapun, mereka akan tetap membela."
Aku menatap layar ponsel yang terang, dalam kamar yang masih remang.
Ini bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana manusia merasakan dan mempersepsikan.
Suka dan benci adalah dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan.
Aku berbisik dalam hati, "Ini adalah sifat dasar kita, yang begitu mudah tersulut oleh emosi. Seperti bensin yang menyambar api, begitu cepat, begitu panas, tapi kemudian habis dalam sekejap. Yang tersisa hanya asap dan debu. Dan dalam kasus GWA ini, hanya amarah dan perpecahan."
Kubaca lagi pesan dari teman lain, yang kali ini mendukung lawan politik dari yang pertama. Ia mengirimkan foto-foto, kutipan berita, dan teori-teori konspirasi.
Aku bertanya pada diriku sendiri, "Apa yang sebenarnya mereka harapkan?Â
Apakah dengan mencela dan menghujat tokoh lawan mereka, akan bisa mengubah pandangan yang lain ? Atau ini hanya sekadar pelampiasan atas kekecewaan masalah kehidupan pribadi mereka sendiri?"
Yaa  mereka butuh membuka katup sedikit, untuk mengurangi tekanan hebat.
Agar tetap baik-baik saja. Tak meledak sendiri, seperti tabung gas yang memakan korban sekampung.
Aku teringat percakapan di warung kopi tempo hari.Â
Sekelompok pemuda, bersemangat dan berapi-api, saling berbantahan soal politik. Namun, ketika aku mencoba mengajukan pandangan yang lebih tenang dan obyektif, mereka malah mencibir.
Aku terdiam, membatin, "Mereka melihat dunia hanya dalam hitam dan putih. Mereka lupa, di antara kedua warna itu ada banyak gradasi abu-abu."
Sekarang aku berada di ruang kerja, jari-jariku mengetik respons di ponsel. Tapi apa yang hendak kutulis?Â
Aku bisa saja menuliskan argumen panjang lebar, menjelaskan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, bahwa semua ini hanyalah bagian dari dinamika demokrasi.
Namun akhirnya, aku memilih kembali berbicara pada diriku sendiri:Â
"Apa gunanya? Mereka yang sudah memilih untuk percaya pada satu hal, tidak akan berubah hanya karena satu-dua kalimat dari lawan bicara. Atau penengah.
Mereka sudah membangun tembok keyakinan yang begitu kuat. Dan akupun akhirnya sadar, bahwa aku hanya berusaha meredam ketegangan ini di dalam diri, bukan di luar sana."
Matahari mulai terbit, mengusir sisa-sisa kegelapan dini hari. Aku merenung dalam monolog batinku:
"Seperti penggemar sepak bola yang rela berkelahi untuk membela tim kesayangannya".
Mereka rela melakukan apa saja demi membela figur politik yang mereka percayai.
"Tapi untuk apa? Apakah mereka merasa lebih baik setelahnya? Apakah mereka merasa telah memenangkan sesuatu?"
Aku menatap diri dalam cermin,
 "Mungkin, itu hanya cara mereka melarikan diri dari kenyataan hidup yang mengecewakan".
"Kita semua punya cara masing-masing untuk meredam rasa kecewa, tapi sayangnya, banyak yang memilih jalan yang justru menambah penderitaan."Â
Hanya mengundang kelelahan psikis. Tekanan mental semata.
Kututup ponsel, membiarkan percakapan di grup WhatsApp tetap tak tersentuh.
Aku tak ingin ikut larut dalam kegilaan perdebatan yang tak pernah berujung.
Aku berkata dalam hati, "Mungkin, yang terbaik adalah menjaga jarak, memahami bahwa tak semua orang melihat dunia dengan cara yang sama. Dan bahwa dalam setiap percakapan, lebih baik mendengar daripada berbicara."
Kudengar suara dari dapur, tanda hari sudah mulai berjalan. Aku tahu, aku perlu memulai aktivitas, kembali pada rutinitas. Namun, di dalam hati, perdebatan itu masih terus berlanjut.
Dan  ...
Aku kembali pada satu kesimpulan yang sederhana: "Pada akhirnya, apa yang kita percayai, bagaimana kita melihat orang lain, semua itu adalah cerminan dari siapa kita sebenarnya. Bukan tentang mereka, tapi tentang diri sendiri."
Dan saat aku melangkah keluar rumah, aku hanya berharap, bahwa hari ini, setidaknya, aku bisa menjadi lebih tenang, lebih sabar, dan lebih memahami bahwa dunia ini tak selalu seperti yang kita inginkan.
Bahwa kadangkala, kita perlu menerima, bahkan ketika kita tak sepenuhnya setuju.
"Biarkan anjing tua asyik  menggonggong, tak mungkin akan menggigit. Sudah ompong, tak bertaring".
Usai tuliskan kalimat di atas , aku senyum sendiri. Aku tak bermaksud sarkas, satir ataupun  nyinyir .
Sholat dulu, kuy !
Azan lohor terdengar dari gawaiku.
--------
Pagedangan, Â BSD, Kab.Tangerang, Jumat, 30/08/2024 12:00:19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H