"Bagaimana mungkin kita bisa menilai dengan adil jika pandangan kita telah dilumuri oleh rasa suka atau benci yang begitu dalam?"
Kukembali ke layar ponsel. Sebuah pesan dari seorang teman karib mencuat, jelas sekali ia tengah marah.
"Bagaimana mungkin kalian bisa mendukung seseorang yang begitu jelas kesalahannya? Apa kalian buta?"
Aku terdiam. Bagaimana menjawabnya? Mungkin -pikirku- , jika ia tahu betapa sulitnya mencela orang yang kita percayai, ia akan memahami.
Tapi di sini-lah , letak masalahnya, aku tahu bahwa tak ada gunanya menjelaskan.
Seberapa hebat argumen yang kubuat, mereka yang telah memutuskan untuk membenci tak akan pernah percaya untuk ditengahi.
Dialog batinku berlanjut: "Bukankah jika mereka sudah terlanjur suka, bahkan saat orang yang mereka idola-kan itu terjebak dalam skandal, mereka akan tetap percaya ? Tak peduli apapun, mereka akan tetap membela."
Aku menatap layar ponsel yang terang, dalam kamar yang masih remang.
Ini bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana manusia merasakan dan mempersepsikan.
Suka dan benci adalah dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan.
Aku berbisik dalam hati, "Ini adalah sifat dasar kita, yang begitu mudah tersulut oleh emosi. Seperti bensin yang menyambar api, begitu cepat, begitu panas, tapi kemudian habis dalam sekejap. Yang tersisa hanya asap dan debu. Dan dalam kasus GWA ini, hanya amarah dan perpecahan."
Kubaca lagi pesan dari teman lain, yang kali ini mendukung lawan politik dari yang pertama. Ia mengirimkan foto-foto, kutipan berita, dan teori-teori konspirasi.
Aku bertanya pada diriku sendiri, "Apa yang sebenarnya mereka harapkan?Â