"Ada dua. Pertama, aku dan sejumlah 'Jegger' lainnya pernah dibayar untuk menghalangi penguburan mayat yang sudah sampai di kuburan. Tanah itu ditargetkan suatu korporasi untuk dikuasai  dengan menghalalkan segala cara. Itu kejam."
"Kedua, aku tak tahu siapa dan di mana ibu kandungku hingga kini. Ayahku entah berapa kali nikah siri.
Mungkin itulah sebabnya, aku tak bisa menghargai wanita. Aku tak pernah menikah, walau cewek-cewekku banyak. Semuanya cantik, tapi kelakuannya rata-rata seperti aku. Hanya cinta uang."
Pak Beringas tersenyum pahit. Ia menatap mata Heri, seraya meregangkan tangannya.
"Alhamdulillah, saat keluar dari penjara, aku dipertemukan dengan orang yang pernah menangkapku, bahkan menembak betisku , saat berusaha kabur.Â
Dia sudah pensiun. Kebetulan, dia diminta bantuan oleh tetangganya untuk mencari sopir angkot, Â pengganti sopir yang mati karena kecelakaan.
 Jalan Allah memang misterius. Bapak itu, seorang pensiunan Brigadir Kepala, menjamin bahwa aku akan jujur dan rajin bekerja."
Mendengar cerita itu, Heri berlinang air mata.
------------
Kesimpulan:
Cerpen ini mengajarkan bahwa ambisi yang tidak diiringi dengan moral dan kejujuran akan membawa kehancuran. Proses yang baik, meski lambat, selalu lebih baik daripada hasil cepat yang dicapai dengan cara yang salah.
Saran:
Hidup harus dijalani dengan integritas berdasarkan ajaran agama.
Agama itu harus dijadikan tindakan  bukan  cuma dihafal dan diobrolkan.
Uang bukan segalanya carilah yang jelas ke-halalannya.
Tamat.