Angkot terpaksa berhenti, sekitar sepuluh meter dari ujung jembatan. Orang-orang bilang, tempat ini angker.
Beberapa penumpang bersungut-sungut, marah atas kejadian itu. Namun, sebagian lainnya diam saja, tetap di dalam angkot. Mereka sadar, tak ada pilihan untuk pindah ke angkot lain. Tempat itu sepi, jauh dari perumahan atau kampung. Perawahan luas mengapit jembatan panjang itu. Sebagian baru saja dipanen, sisanya mungkin besok atau lusa.
Heri turun dari angkot. Ia membantu Pak Beringas, sang sopir, untuk melepas ban. Dari dekat, Heri melihat wajah tua Pak Beringas. Rambutnya terlihat hitam pekat, tapi akar rambutnya sudah putih. Pertanda ia telat mengecat ulang rambutnya.
"Pak, ban serepnya di mana?" tanya Heri.
"Serepnya juga kempes, ada di belakang. Saya teledor, seharusnya sejak kemarin sudah ditambal," jawab Pak Beringas.
"Jadi sekarang bagaimana, Pak?" tanya Heri lagi.
"Saya sudah hubungi teman. Dia nanti datang bawa ban, sekaligus ambil penumpang," ujar Pak Beringas.
Mendengar itu, para penumpang jadi tenang. Heri pun demikian.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, sebuah angkot berhenti di depan mereka. Ban yang dijanjikan diturunkan. Penumpang lain berpindah ke angkot itu hingga penuh sesak. Hanya tersisa dua orang, Heri dan satu penumpang lain. Orang itu memaksakan diri bergelantungan di depan pintu samping. Ada tiga orang di situ. Heri tak kebagian tempat.
Heri memilih tetap di sana, menemani Pak Beringas memasang ban. Kini, setelah ban terpasang, mobil mulai berjalan lagi. Heri duduk di depan, di samping Pak Beringas.
Heri tak tahan dengan keheningan. Ia memulai percakapan, "Pak, kejadian seperti tadi sering terjadi?"