Pak Beringas menjawab pendek. Heri melanjutkan bertanya, "Sudah berapa lama Bapak nyupir di sini? Sebelumnya kerja apa saja?"
Pertanyaan ini memaksa Pak Beringas untuk bercerita. Ia bilang, dulu pernah menjadi kepala dinas di sebuah kabupaten di pulau yang jauh. Saat itu, ia baru lulus sarjana ilmu pemerintahan dari kampus yang sama dengan Heri. Saat menyebut kampus itu, Pak Beringas melirik lambang almamater di kaos Heri.
Pak Beringas bangga. Ia lulus dalam waktu hanya tiga setengah tahun, padahal kuliah biasanya lima tahun. Heri penasaran.
"Lho, kok bisa begitu, Pak?"
"Uang bisa mengatur segalanya, Bro. Masak kamu nggak tahu?"
"Begitu, Pak? Memang di kampus bisa begitu?"
"Pasti bisa! Semua bisa diatur asal duitnya cukup. Indonesia ini surga bagi orang yang punya uang dan cerdik. Pernah dengar UUD yang disebutkan bekas wakil presiden kita? Ujung-Ujungnya Duit. Itu yang penting!" Pak Beringas tertawa terbahak-bahak.
"Lalu, aku langsung jadi kepala dinas. Bapakku saat itu bupati, baru mulai jabatan kedua. Jadi, aku ingin cepat-cepat lulus, biar bisa memanfaatkan momen jabatan bapakku. Uang banyak, foya-foya, senang-senang. Apalagi? Hidup cuma sekali, harus dinikmati!"
Tiba-tiba wajah Pak Beringas berubah. Mobil diperlambat. Ia menarik napas panjang tiga kali, lalu melanjutkan ceritanya.
"Enam bulan menjelang akhir jabatan bapakku, dia ditangkap. Terbukti korupsi. Dipenjara dia, dan aku dilengserkan oleh bupati pengganti."
Pak Beringas menghela napas, "Sejak itu, hidupku kacau. Dilecehkan orang, dihina. Aku terbuang."