Ia menunduk, menahan emosinya. "Kebiasaanku foya-foya, berjudi, dan segala maksiat tak berhenti kulakukan. Hartaku habis. Peribahasa 'tak ada pesta yang tak selesai' itu nyata adanya."
"Dengan sisa-sisa uang, aku kabur ke Jakarta. Mulai hidup jadi pencoleng, penjambret, penodong, termasuk mencuri motor. Aku punya bakat kepemimpinan, jadi cepat aku jadi pemimpin penjahat di sana. Tapi, suatu kali aku salah ambil keputusan. Kucuri mobil mewah. Ternyata itu salah besar."
"Mobil mewah yang jumlahnya tidak banyak, sulit dijual. Bos pemiliknya marah besar, mengerahkan segala cara untuk menangkapku. Aku tertangkap dan masuk penjara."
Heri memotong cerita Pak Beringas, "Bekas luka di wajah Bapak, itu akibat dipukuli saat tertangkap?"
Pak Beringas mengangguk, "Betul, tapi bukan saat mencuri mobil itu. Yang paling parah saat tertangkap mencuri motor di kos-kosan. Bekas-bekas lainnya akibat berantem dengan teman. Soal pembagian hasil yang tak adil."
"Maaf Pak, berapa kali Bapak dipenjara?"
"Sebanyak tujuh kali," jawabnya lirih.
"Pak, lalu apa penyebab Bapak pindah haluan jadi sopir?"
"Mungkin karena tua. Di penjara yang terakhir, aku rajin ikut pengajian. Diskusi dengan penceramah. Dua teman sepenjaraku, ahli agama, masuk penjara karena mencabuli santri mereka.
Mereka bilang, setan menggoda siapa saja. Itu menambah kesadaranku untuk kembali ke jalan Allah. Doa-doa itu kujulurkan ke langit setiap saat, saat duduk tafakur di dinginnya lantai penjara."
Heri terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Pak, apa yang paling Bapak sesali dalam hidup?"
Pertanyaan ini membuat Pak Beringas terdiam lama. Tangannya menepuk-nepuk setir. Matanya melirik ke atas, seperti mencari jawaban.