Hidup Mapan Dengan Bule Papan Atas
Cerpen  |  MimpikanDikToko
(Soetiyastoko)
Malam itu, di sebuah kafe syahdu nan romantis terdengar suara saxophone yang merajai bunyi alat-alat musik yang dimainkan para pemusik kurus-kurus dan beruban.
Lokasinya di sudut  Jakarta Selatan, di daerah yang banyak kaum pendatangnya. Para Ekspatriat dari negeri para bule. Umumnya profesional papan atas, berpendapat di atas rata-rata.
Kafe itu, adalah lokasi para bule menghilangkan penat dan stres setelah seharian bekerja, nyaris tanpa jeda.
Citra duduk dengan gelisah sambil menyeruput kopinya. Di depannya, Gita, sahabatnya, sedang asyik membicarakan rencana masa depannya yang penuh harapan. Gita selalu memiliki impian yang sama sejak mereka kuliah: menikah dengan bule kaya raya dan hidup bahagia di luar negeri.
"Mbak Citra, pokoknya gue udah mantap. Gue mau cari bule yang kaya, biar hidup gue enak. Capek gue sama cowok-cowok lokal yang gitu-gitu aja," ucap Gita dengan penuh semangat, matanya berbinar-binar.
Citra menatap Gita sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Git, loo yakin dengan rencana lo? Apa lo udah siap dengan segala konsekuensinya?"
Gita mengernyitkan dahinya. "Apaan lagi, sih, Mbak Cit? Ya siap lah! Emang kenapa? Lo gak pengen punya suami bule yang kaya? Gak perlu kerja keras, tinggal leyeh-leyeh aja. Hidup nyaman di luar negeri."
Citra tersenyum tipis, memandang sahabat yang juga adik kelasnya itu, yang seakan hidup dalam mimpi. Ia lalu menghela napas panjang.
"Gita, hidup gak sesederhana itu. Bule juga manusia, mereka punya otak, punya hati, punya kebutuhan lebih dari sekedar bodi bak gitar atau berwajah cantik  seperti dirimu. Mereka punya kebutuhan intelektualitas yang tinggi, lo tau itu ?"
Gita terdiam, sedikit bingung dengan ucapan Citra. "Maksud loo ?"
"Gini, Git. Di luar negeri, di negara maju, sebut saja profesi seperti 'Escorter' itu sangat dihormati. Tapi bukan sembarang orang yang bisa jadi 'Escorter'. Mereka itu pintar, punya pendidikan tinggi, bisa berbicara beberapa bahasa asing, dan punya wawasan yang luas. Mereka bisa diajak ngobrol apa saja, dari seni sampai politik. Mereka bukan cuma sekedar body semlohay yang bikin mata laki melotot, tapi punya kualitas yang tinggi," jelas Citra dengan serius.
Bola mata Gita melirik ke arah kiri atas, mencoba memahami penjelasan Mbak Citra.
"Mbak Cit, Ladies  Escoter itu profesi apa sih ? Apakah seperti PSK terselubung yang pelanggannya Politisi, Pejabat dan Pebisnis papan atas, seperti di sini ?"
Citra terdiam sejenak saat Gita usai bertanya. Tiba-tiba ingat bisik-bisik gosip dibelakangnya yang sampai ketelinganya. Dirinya dituding merangkap profesi seperti itu, selain jadi Sekretaris Direktur.
"Gita , Gita, ... Masak, loo belum paham. Profesi 'Escorter' biasanya mengacu pada seseorang yang menemani atau mengawal individu lain, sering kali dalam konteks sosial atau pribadi.
Seperti menghadiri acara, makan malam, atau pertemuan bisnis.
Pekerjaan ini memang tidak terkait dengan jasa administratif atau pelayanan terselubung.
Sebaliknya, peran utama seorang Escorter adalah memberikan pendampingan, kenyamanan, dan kadang-kadang percakapan yang menyenangkan kepada klien mereka. Semacam Coach atau layanan Psikologis, seperti Curhat, misalnya.
Namun, penting untuk Gita ketahui bahwa istilah "Escorter" bisa saja memiliki konotasi yang berbeda tergantung pada konteksnya. Termasuk di beberapa situasi yang mungkin lebih kontroversial atau tidak sesuai dengan norma-norma tertentu. Tetapi secara umum, Escorter tidak termasuk dalam jasa administratif ataupun pelayanan khusus yang tersembunyi.
Gita terdiam, mendengarkan penjelasan Citra yang membuatnya berpikir lebih dalam.Â
Citra melanjutkan, "Loo pikir, bule kaya mau nikah sama cewek yang cuma modal tampang dan body doang? Nggak, Git. Mereka juga butuh pasangan yang bisa jadi teman bicara, yang bisa mendampingi mereka dalam segala hal, yang punya kualitas hidup yang baik. Jangan mimpi kalau loo cuma modal fisik dan goyangan doang."
"Tapi, Mbak Cit, perempuan Asia itu kan eksotis dan sensual di mata laki bule," kilah Gita, mencoba mencari pembenaran.
"Iya, itu memang benar. Tapi itu gak cukup, Git. Bule-bule itu butuh pasangan hidup yang bisa mendidik anak, yang bisa mengelola keuangan, yang tahu bagaimana caranya hidup disiplin. Di luar negeri, gak ada cerita loo bisa santai-santai terus, karena hidup di sana juga berat.
Mereka sangat disiplin, terutama dalam urusan keuangan. Semua diatur dengan detail, dari dana pendidikan anak sampai dana pensiun," ujar Citra. Tatap matanya tajam, menusuk mata Gita
"Wah, loo serius banget ngomongnya, Mbak Cit," Gita berusaha tersenyum, tapi raut wajahnya berubah menjadi cemas.
Citra tersenyum tipis, lalu berkata,
"Gue cuma pengen loo gak hidup dalam mimpi, Git. Hidup di luar negeri itu gak seindah yang loo bayangkan. Lo harus siap kerja keras, disiplin, dan bertanggung jawab. Bule-bule papan atas itu, gak punya pohon duit, dan mereka gak mau jadi mesin ATM buat pasangan yang gak punya kualitas."
Gita terdiam lama, berpikir tentang semua yang baru saja dikatakan oleh Citra.
"Terus, gimana kalau gue tetep mau nikah sama bule? Apa yang harus gue lakuin?" , tanya Gita pelan, suaranya terdengar lebih serius.
Citra tersenyum dan menepuk bahu sahabatnya. "Loo harus mulai dari diri lo sendiri, Git. Lo harus meningkatkan kualitas diri lo, belajar lebih banyak, jadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab. Lo juga harus belajar bagaimana mengelola keuangan, mendidik anak, dan menjadi istri yang baik. Bule atau laki lokal yang bener, mereka semua butuh pasangan yang bisa mendukung mereka dalam hidup, bukan cuma sekedar pemanis."
Malam itu, Gita diantar Citra pulang dengan sedan mewah inventarisnya.
Di atas jok empuk yang melaju di jalan Tol, pikiran Gita penuh dengan berbagai kekisruhan.
Kata-kata Citra terus terngiang di kepalanya. Ia kini sadar bahwa hidup tidak semudah yang dibayangkannya, dan bahwa menikah dengan bule bukan jaminan hidup enak tanpa kerja keras.Â
Ada tanggung jawab besar yang harus dipikul, dan ia harus siap dengan segala konsekuensinya.
---
Kesimpulan:
Dalam cerpen ini, pesan utama yang ingin disampaikan adalah bahwa pernikahan, baik dengan bule atau bukan, memerlukan kesiapan dan kualitas diri yang matang. Kualitas diri bukan hanya diukur dari penampilan fisik, tetapi juga dari intelektualitas yang mumpuni, kemampuan mengelola keuangan, dan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Mimpi untuk menikah dengan bule dan hidup enak di luar negeri seringkali dibayangi oleh realitas yang jauh lebih kompleks dan menuntut.
Saran:
Untuk para perempuan yang memiliki impian menikah dengan bule papan atas, penting untuk tidak hanya mempersiapkan diri secara fisik, tetapi juga secara mental dan intelektual.
Perlu peningkatan kualitas diri dalam hal pendidikan, pengelolaan keuangan, dan keterampilan hidup sangat diperlukan. Hal ini tidak hanya akan membuat seseorang lebih siap untuk menghadapi tantangan dalam pernikahan lintas budaya, tetapi juga akan meningkatkan peluang untuk memiliki hubungan yang harmonis dan saling mendukung.
-------------
Pagedangan, BSD, Kab.
Tangerang, Minggu  01/09/2024 10:00:51
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H