Aku teringat percakapan di warung kopi tempo hari. Sekelompok pemuda, bersemangat dan berapi-api, saling berbantahan soal politik. Namun, ketika aku mencoba mengajukan pandangan yang lebih tenang dan obyektif, mereka malah mencibir.
*Aku terdiam, membatin*, "Mereka melihat dunia hanya dalam hitam dan putih. Mereka lupa, di antara kedua warna itu ada banyak gradasi abu-abu."
Sekarang aku berada di ruang kerja, jari-jariku mengetik respons di ponsel. Tapi apa yang hendak kutulis? Aku bisa saja menuliskan argumen panjang lebar, menjelaskan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, bahwa semua ini hanyalah bagian dari dinamika demokrasi.
Namun akhirnya, *aku memilih kembali berbicara pada diriku sendiri*: "Apa gunanya? Mereka yang sudah memilih untuk percaya pada satu hal, tidak akan berubah hanya karena satu-dua kalimat dari lawan bicara.
Mereka sudah membangun tembok keyakinan yang begitu kuat. Dan akupun akhirnya sadar, bahwa aku hanya berusaha meredam ketegangan ini di dalam diri, bukan di luar sana."
Matahari mulai terbit, mengusir sisa-sisa kegelapan dini hari. *Aku merenung dalam monolog batinku*: "Seperti penggemar sepak bola yang rela berkelahi untuk membela tim kesayangannya".
Mereka rela melakukan apa saja demi membela figur politik yang mereka percayai.
"Tapi untuk apa ? Apakah mereka merasa lebih baik setelahnya? Apakah mereka merasa telah memenangkan sesuatu?"
*Aku menatap diri dalam cermin*, "Mungkin, itu hanya cara mereka melarikan diri dari kenyataan hidup yang mengecewakan".
"Kita semua punya cara masing-masing untuk meredam rasa kecewa, tapi sayangnya, banyak yang memilih jalan yang justru menambah penderitaan."
Kututup ponsel, membiarkan percakapan di grup WhatsApp tetap tak tersentuh.
Aku tak ingin ikut larut dalam kegilaan perdebatan yang tak pernah berujung.