Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Kegilaan Politik: Ketika Fanatisme Mengaburkan Akal Sehat

30 Agustus 2024   03:02 Diperbarui: 30 Agustus 2024   03:11 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • SOSBUD  |  "Di Balik Kegilaan Politik: Ketika Fanatisme Mengaburkan Akal Sehat"

    DikToko
    (Soetiyastoko)

    Saat subuh baru saja berlalu, dan langit di luar masih berbalut warna abu-abu tua, aku duduk di teras rumah, usai dari Musola. Kupandang ke arah pepohonan yang bergerak pelan diterpa angin.

    Pikiran ini tak tenang. Padahal baru saja selesai sholat, dan entah kenapa, ada dorongan kuat untuk membuka ponsel.

    Mungkin karena malam sebelumnya terlalu banyak percakapan di grup WhatsApp yang tertinggal, obrolan tentang dunia politik yang selalu memancing emosi.

    Aku terhenyak membaca diskusi panjang yang penuh caci maki, antara mereka yang dahulu satu perjuangan, satu visi, satu impian. Kini, seolah semua itu terhapus hanya karena perbedaan pilihan politik.

    Bagaimana bisa kita, yang pernah bersatu dalam semangat membangun masa depan, kini terbelah hanya karena kita berbeda pandangan tentang satu atau dua tokoh?

    Percakapan di GWA ini bertolak belakang dengan  Motto yang dicantumkan.

    *Aku berbicara pada diriku sendiri*, "Bukankah sulit bersikap obyektif saat kita terlalu mengidolakan seseorang? Semua kelebihan dan kekurangannya menjadi satu, namun di mata kita, hanya kelebihannya yang tampak.

    Bagaimana mungkin kita bisa menilai dengan adil jika pandangan kita telah dilumuri oleh rasa suka yang begitu dalam?"

    Kukembali ke layar ponsel. Sebuah pesan dari seorang teman lama mencuat, jelas sekali ia tengah marah.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun