Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Kegilaan Politik: Ketika Fanatisme Mengaburkan Akal Sehat

30 Agustus 2024   03:02 Diperbarui: 30 Agustus 2024   03:11 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana mungkin kalian bisa mendukung seseorang yang begitu jelas kesalahannya? Apa kalian buta?"

Aku terdiam. Bagaimana menjawabnya? Mungkin, pikirku, jika ia tahu betapa sulitnya mencela orang yang kita percayai, ia akan memahami. Tapi di sini-lah , letak masalahnya, aku tahu bahwa tak ada gunanya menjelaskan.

Seberapa hebat argumen yang kubuat, mereka yang telah memutuskan untuk membenci tak akan pernah percaya.

*Dialog batinku berlanjut*: "Bukankah jika mereka sudah terlanjur suka, bahkan saat orang yang mereka idolakan itu terjebak dalam skandal, mereka akan tetap percaya? Tak peduli apapun, mereka akan tetap membela."

Aku menatap layar ponsel yang terang, dalam kamar yang masih remang.
Ini bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana manusia merasakan dan mempersepsikan.

Suka dan benci adalah dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan.

*Aku berbisik dalam hati*, "Ini adalah sifat dasar kita, yang begitu mudah tersulut oleh emosi. Seperti bensin yang menyambar api, begitu cepat, begitu panas, tapi kemudian habis dalam sekejap. Yang tersisa hanya asap dan debu. Dan dalam kasus kita, hanya amarah dan perpecahan."

Kubaca lagi pesan dari teman lain, yang kali ini mendukung lawan politik dari yang pertama. Ia mengirimkan foto-foto, kutipan berita, dan teori-teori konspirasi.

*Aku bertanya pada diriku sendiri*, "Apa yang sebenarnya mereka harapkan? Apakah dengan mencela dan menghujat tokoh lawan mereka akan bisa mengubah pandangan kita? Atau ini hanya sekadar pelampiasan atas kekecewaan masalah pribadi mereka sendiri?"

Butuh membuka katup sedikit, untuk mengurangi tekanan hebat

Agar tetap baik-baik saja. Tak meledak sendiri, seperti tabung gas yang memakan korban sekampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun