Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diam di Balik Derap Langkahnya

25 Agustus 2024   22:49 Diperbarui: 26 Agustus 2024   22:40 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Diam di Balik Derap Langkahnya

DikToko
(Soetiyastoko)

Di sebuah gedung di pusat kota, terdengar langkah-langkah ringan menuruni tangga kantor,  menuju gedung parkir. 

Mesin mobil itu kini hidup, nyaris  tak bersuara. Segera kaki terbungkus sepatu indah itu menjejak pedal gas mobil, menuju rumah. 

Dinni, seorang wanita berusia akhir tiga puluhan dengan wajah yang menyiratkan kelelahan yang tertutup rapi oleh senyum lembut, menutup pintu garasi dengan langkah cepat. Nafasnya lega sampai di rumah, setelah menempuh kemacetan lalu lintas. Sebuah perjalanan pulang yang cukup lama. 

Sebagai National Sales Manager di sebuah perusahaan besar, hari-harinya dipenuhi dengan rapat, target, dan strategi pemasaran. Beijing anak buah, memantau perkembangan penjualan setiap cabang. Namun, sesampainya di rumah, pekerjaannya sebagai istri dan ibu belumlah usai.

"Mas Doddy, kamu sudah pulang duluan?" sapa Dinni kepada suaminya, Doddy, yang tampak santai di sofa dengan ponsel di tangannya.

Doddy mengangkat pandangannya sekilas, "Iya, tadi nggak terlalu banyak kerjaan. Tapi capek banget rasanya."

Dinni hanya tersenyum tipis. Dia tak punya waktu untuk beristirahat, meski tubuhnya juga lelah. Ia langsung menuju dapur, membuka kulkas, dan mengeluarkan bahan-bahan untuk makan malam. Dengan cekatan, ia mulai mencuci sayuran dan menyiapkan bumbu-bumbu. 

Suara pisau yang beradu dengan talenan terdengar berirama, mengiringi pikirannya yang melayang pada segala tugas yang harus diselesaikan malam itu.

Sementara itu, Doddy masih asyik dengan ponselnya, kadang-kadang tertawa kecil saat membaca sesuatu di layar. Anak-anak mereka, Rina dan Rio, masing-masing terbaring di depan televisi, sibuk dengan tontonan favorit mereka, sama sekali tidak menghiraukan ibunya yang bekerja di dapur.

"Mas Doddy," Dinni tiba-tiba memanggil, suaranya pelan namun tegas, "Tolong ambilin pakaian di jemuran, sudah kering tadi siang."

Doddy bergeming, matanya masih tertuju pada layar ponsel.


"Nanti yaa, Din. Lagi baca artikel penting nih."

Dinni menghela napas panjang. Dia sudah terbiasa dengan respons semacam itu. Sebagai seorang istri, ia selalu berusaha untuk tidak membebani suaminya dengan pekerjaan rumah tangga. Meski kenyataannya, sebagian besar pekerjaan rumah tangga jatuh pada pundaknya. Tapi, di hatinya, ia tetap bersyukur atas apapun yang dimiliki keluarganya.

Dua Tahun Lalu

Dinni dan Doddy menikah saat mereka baru tiga tahun bekerja di perusahaan yang sama. Dinni, yang pada awalnya seorang sales, dengan cepat menunjukkan potensinya. Dalam setahun, ia dipromosikan menjadi Supervisor, dan dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Regional Manager. Kerja keras, kecerdasan, dan ketekunannya membuahkan hasil yang cemerlang.

Tak lama setelah itu, dia diangkat menjadi National Sales Manager, menggantikan atasannya yang diturunkan jabatan.

Bertanggung jawab atas seluruh penjualan di seluruh penjuru Indonesia , sebuah posisi prestisius yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk mobil dinas. Mewah.

Di sisi lain, Doddy yang bekerja di bagian produksi, juga mengalami kenaikan jabatan. Namun, kenaikannya tidak secepat Dinni.

Doddy baru diangkat menjadi Supervisor di bagian pengepakan, setelah Dinni menjadi Sales Manager Nasional. Meski begitu, Dinni selalu mendukung dan bersyukur atas setiap pencapaian suaminya.

Dinni adalah tipe wanita yang senang belajar dan terus mengembangkan dirinya. Buku-buku, seminar, dan pelatihan adalah bagian dari hidupnya. Dia percaya bahwa ilmu dan pengetahuan adalah kunci untuk berkembang.

Sedangkan Doddy, meski sebenarnya ingin bertumbuh, tapi enggan untuk belajar lebih. Tak punya tekad. Cuma ingin !.
Ia sepertinya merasa cukup dengan apa yang sudah dicapai dan tidak terlalu tertarik untuk berusaha lebih.

"Dinni, kamu ini hebat yaa, kerja keras, cerdas, cepat naik jabatan," ujar salah seorang temannya suatu ketika.

"Ah, aku hanya berusaha melakukan yang terbaik," jawab Dinni rendah hati.

Temannya tidak tahu bahwa di balik kesuksesan karier Dinni, ada beban berat yang harus ditanggungnya. Dia bukan hanya seorang manajer sukses, tapi juga seorang istri dan ibu yang harus mengurus rumah tangga tanpa banyak bantuan.

Kembali ke Masa Kini

Dinni melanjutkan pekerjaannya di dapur. Sesekali ia melihat ke arah jam dinding, memastikan semuanya selesai tepat waktu. Ketika nasi sudah matang di rice cooker dan masakan hampir selesai, Dinni bergegas ke kamar untuk mengganti pakaiannya dan segera memasukkan cucian kotor ke mesin cuci. Sambil menunggu cucian selesai, ia kembali ke dapur, mengecek masakan yang hampir matang.

"Rina, Rio, bantu Ibu siapin meja makan," panggil Dinni kepada anak-anaknya. Namun, seperti biasa, tidak ada respons.

Anak-anaknya yang sudah beranjak remaja, masih terlalu asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Mereka tampak tak peduli dengan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya bisa mereka bantu. Dinni menahan keinginannya untuk marah. Dia tahu bahwa membesarkan anak-anak adalah tantangan tersendiri, dan mereka butuh waktu untuk belajar.

Doddy yang masih duduk di sofa, tiba-tiba mendengar bel pintu berbunyi. Dia tidak bergerak, hanya menoleh ke arah Dinni. "Din, ada yang nge-bell tuh. Mungkin laundry."

Dinni mengusap keningnya yang mulai berkerut. Tangannya yang sedang mencuci piring berhenti sejenak.

"Mas, tolong bukain pintu. Aku lagi cuci piring."

Doddy mendengus pelan, tapi akhirnya bangkit dari sofa dan membuka pintu. Kurir laundry berdiri di depan, menyerahkan pakaian yang telah dicuci. Setelah menerima pakaian, Doddy kembali ke tempat duduknya di sofa, meletakkan kantong laundry di sampingnya tanpa berpikir untuk melipat atau menyimpannya.

Saat itu, Ayah dan Ibu Dinni yang baru saja datang berkunjung melihat kejadian tersebut. Mereka duduk di ruang tamu, menyaksikan dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Kekecewaan mereka terlihat jelas, terutama terhadap Doddy yang seolah tak peduli dengan segala pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan oleh Dinni seorang diri.

Dinni sendiri hanya bisa tersenyum pahit. Dia tahu bahwa orangtuanya merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tapi dia tak ingin memperkeruh suasana. Baginya, rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, namun jika keadaannya belum ideal, dia memilih untuk tetap bersabar.

*Malam Itu*

Malam semakin larut. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Dinni akhirnya bisa duduk di meja makan bersama keluarganya. Dia terlihat lelah, tapi senyumnya tetap menghiasi wajahnya saat ia melihat anak-anaknya menikmati makan malam. Doddy, yang duduk di sebelahnya, tampak tenang menikmati hidangan tanpa menyadari beratnya beban yang ditanggung istrinya.

"Doddy, kamu tadi kerjaan di pabrik gimana?" tanya Ayah Dinni mencoba mencairkan suasana.

"Ya, biasa saja, Pak. Cukup sibuk, tapi ya bisa di-handle," jawab Doddy sambil menyendok nasi.

Ibu Dinni memandang putrinya dengan rasa iba. "Dinni, kenapa nggak pakai jasa ART saja untuk bantuin di rumah?"

Dinni menoleh ke arah ibunya dan tersenyum lembut. "Nggak apa-apa, Bu. Dinni masih bisa kok. Lagi pula, ART di daerah sini jarang yang bisa tinggal, jadi nggak terlalu efektif."

Setelah makan malam selesai, seperti biasa, Dinni membereskan meja makan dan mencuci piring. Doddy dan anak-anaknya kembali ke ruang tamu, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat terhenti.

Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Dinni duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar. Kelelahan sudah mencapai puncaknya, tapi dia tak ingin mengeluh. Dalam hatinya, Dinni selalu berusaha untuk tetap bersyukur atas apa yang dimilikinya, termasuk suaminya yang meski tidak sempurna, tetaplah pasangan hidup yang dia cintai.

Tapi, ada satu hal yang tak pernah Dinni lupakan. Sebagai seorang istri dan ibu, dia memang dianugerahi kekuatan luar biasa oleh Allah. Namun, seperti apapun kuatnya seorang wanita, dia tetaplah manusia biasa yang bisa lelah, baik fisik maupun hatinya. Meski Dinni tidak pernah menunjukkan kekecewaannya, di dalam hatinya dia berharap bahwa suatu hari nanti, suaminya dan anak-anaknya akan memahami beratnya beban yang ditanggungnya.

Ketika malam semakin larut, Doddy masuk ke kamar, sudah siap untuk tidur. Ia menatap Dinni yang sedang duduk termenung di meja kerja di sudut kamar.

"Din, kamu belum tidur?"

Dinni tersenyum kecil. "Belum, Mas. Mau nyelesaikan beberapa hal dulu."

Doddy mengangguk dan berbaring di tempat tidur, tanpa menyadari bahwa di balik senyum lembut itu, ada seorang wanita yang menanggung beban berat, yang mungkin tidak pernah dia pahami.
Doddy pun segera terlelap, sementara Dinni masih terjaga, mengatur rencana untuk esok hari, sebelum akhirnya tubuhnya tak lagi bisa menahan rasa lelah dan dia pun ikut tertidur, usai berharap dalam doanya, esok akan ada perubahan yang lebih baik.

------

Pagedangan, BSD, Minggu, 25/08/2024 22:01:23

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun