Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diam di Balik Derap Langkahnya

25 Agustus 2024   22:49 Diperbarui: 26 Agustus 2024   22:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu, Ayah dan Ibu Dinni yang baru saja datang berkunjung melihat kejadian tersebut. Mereka duduk di ruang tamu, menyaksikan dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Kekecewaan mereka terlihat jelas, terutama terhadap Doddy yang seolah tak peduli dengan segala pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan oleh Dinni seorang diri.

Dinni sendiri hanya bisa tersenyum pahit. Dia tahu bahwa orangtuanya merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tapi dia tak ingin memperkeruh suasana. Baginya, rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, namun jika keadaannya belum ideal, dia memilih untuk tetap bersabar.

*Malam Itu*

Malam semakin larut. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Dinni akhirnya bisa duduk di meja makan bersama keluarganya. Dia terlihat lelah, tapi senyumnya tetap menghiasi wajahnya saat ia melihat anak-anaknya menikmati makan malam. Doddy, yang duduk di sebelahnya, tampak tenang menikmati hidangan tanpa menyadari beratnya beban yang ditanggung istrinya.

"Doddy, kamu tadi kerjaan di pabrik gimana?" tanya Ayah Dinni mencoba mencairkan suasana.

"Ya, biasa saja, Pak. Cukup sibuk, tapi ya bisa di-handle," jawab Doddy sambil menyendok nasi.

Ibu Dinni memandang putrinya dengan rasa iba. "Dinni, kenapa nggak pakai jasa ART saja untuk bantuin di rumah?"

Dinni menoleh ke arah ibunya dan tersenyum lembut. "Nggak apa-apa, Bu. Dinni masih bisa kok. Lagi pula, ART di daerah sini jarang yang bisa tinggal, jadi nggak terlalu efektif."

Setelah makan malam selesai, seperti biasa, Dinni membereskan meja makan dan mencuci piring. Doddy dan anak-anaknya kembali ke ruang tamu, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat terhenti.

Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Dinni duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar. Kelelahan sudah mencapai puncaknya, tapi dia tak ingin mengeluh. Dalam hatinya, Dinni selalu berusaha untuk tetap bersyukur atas apa yang dimilikinya, termasuk suaminya yang meski tidak sempurna, tetaplah pasangan hidup yang dia cintai.

Tapi, ada satu hal yang tak pernah Dinni lupakan. Sebagai seorang istri dan ibu, dia memang dianugerahi kekuatan luar biasa oleh Allah. Namun, seperti apapun kuatnya seorang wanita, dia tetaplah manusia biasa yang bisa lelah, baik fisik maupun hatinya. Meski Dinni tidak pernah menunjukkan kekecewaannya, di dalam hatinya dia berharap bahwa suatu hari nanti, suaminya dan anak-anaknya akan memahami beratnya beban yang ditanggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun