Sebuah pembuktian, bahwa bangsa ini "bukan bangsa tempe !".
Mengapa dengan "tempe ?". Apa yang salah ? Bukankah tempe adalah lauk teman nasi yang utama di piring-piring nasi kita ? Mengapa tidak memilih di narasikan dengan "kerupuk" saja ?
Bukankah "kerupuk" lebih Indonesia dibanding "tempe". Kerupuk berasal dari tepung kanji bin tapioka, yang diperas dari parutan singkong.
Singkong yang mampu tumbuh diladang-ladang kita, dengan sedikit perawatan, bahkan sering kali tanpa perlu dipupuk.
Singkong pula telah jadi bagian strategi ketahanan nasional di bidang pangan. Sedangkan tempe yang dibuat dari biji kedele, masih amat tergantung pada impor dari negara lain.
Harga tempe sering jadi bagian gonjang-ganjing keuangan sebagian besar Rakyat kecil di negara kita yang besar dan luas ini.
Tempe, adalah bagian dari ironi bangsa besar ini. Begitu suplai stok kedele menurun, harga melonjak. Ukuran besar dan ketebalan pun ikut berkurang.
Pengrajin tempe "semaput bin pingsan", pembeli berteriak dan pejabat terkait pengadaan kedele pun kalangkabut. Konsumen pun menjerit.
"Lho, bukankah tempe bisa diganti bin di subtitusi dengan kerupuk ?. 'Kan, cuma untuk lauk-teman nasi di mulut ?"
Jika sudah begitu, banyak dada yang berdebar kencang. Kali ini bukan seperti menyaksikan bendera dikibarkan diiringi gagah perwiranya lagu Indonesia Raya. Beda !
Sebab, tempe punya peran besar terhadap kecukupan protein Rakyat kecil . Ini masalah gizi, masalah kesehatan. Beda dengan gizi kerupuk yang "setali tiga uang dengan nasi", sumber karbohidrat.