Hal-hal seperti itu, bisa saja terjadi dimasa-masa yang akan datang. Mungkin akan mengaku pejuang angkatan '66, penumbang Orde lama.
Angkatan '74, pelurus jalannya Orde Baru. Angkatan '98, penebang rezim atau menurunkan "Bapak Pembangunan", Pendiri rezim reformasi.
Mengaku-aku, memang berbeda dengan diakui. Juga berbeda dengan rekayasa pengakuan.
Ditenggarai, kini makin sering terjadi "Bisnis Pengakuan - Pemberian Gelar Kehormatan" . Penyelenggara / penjual jasa seperti itu bisa berupa institusi kemasyarakatan, entitas komunitas warga dari geografis tertentu.
Di tenggarai, tak jarang juga terjadi secara barter dengan lembaga, entitas dari negara lain maupun di dalam negeri. Biasanya untuk gelar "Doctor Honoris Causa".
Saling memberikan gelar-gelar pengakuan, berdasar sudut pandang akademis.
Sesuatu yang dianggap secara politis, menumbuhkan citra positif dan bermanfaat membangun kekaguman di benak masa pendukung, maupun kelompok yang disasar untuk dijadikan simpatisan.
Ujung-ujungnya, diharap berguna untuk dijadikan sarana akses, ke jabatan politis. Kekuasaan. Baca: akses ke sumber-sumber keuangan !
Lalu apa hubungannya dengan para sepuh yang ditulis di awal tulisan ini ?
Masalah dasarnya, bukan sesuatu yang luar biasa. "Pengakuan" dan "pendapatan" adalah faktor kritis bagi setiap orang.
Di masa pengusaha dimanjakan dengan "Upah Minimum Regional", yang sering dibaca atau dirasakan para pekerja sebagai "penindasan terhadap pekerja".