Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Humaniora | Warga Senior, Bebankah?

18 Agustus 2022   07:21 Diperbarui: 18 Agustus 2022   07:27 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora | Warga Senior, Bebankah ?

Soetiyastoko

Tidak ada data yang pasti, seberapa banyak warga Bangsa Indonesia, yang dilahirkan di tahun kemerdekaan Indonesia, yang kini masih diberi kesempatan menyaksikan peringatannya.

Tentu mereka itu adalah para senior yang tidak merasakan hiruk pikuk perjuangan para patriot, melawan Belanda, Jepang atau pun tentara sekutu, yang mencoba kembali menguasai Nusantara.

Namun, mereka itulah generasi yang mendapatkan cerita lisan dari sebagian pelaku sejarah perjuangan.

Kita yang mendapat warisan estafet mengisi kemerdekaan, sebagaimana yang dicita-citakan para Pendiri Bangsa, hanya mengenal masa-masa itu dari buku sejarah dan film dokumenter saja.

Namun setelah 77 tahun merdeka, kok ada yang mengaku ikut bergerilya. Terlibat pertempuran, bahkan -katanya- turut merebut senjata dan amunisi dari tangan Belanda.

Aneh ?!

Tidak. Sama sekali tidak aneh. Mengaku-aku, sebagai pejuang, sebagai prajurit yang tidak dibayar ; adalah dorongan untuk mendapat pengakuan dan penghormatan. Mungkin juga untuk membuka peluang dicatat, sebagai yang berhak menerima uang kehormatan. Semacam uang pensiun. Termasuk jadi undangan kehormatan, disaat upacara peringatan proklamasi kemerdekaan.

Paragraf di atas terdengar seperti menuduh, bahkan menghakimi. Mem-vonis !

Dari sudut pandang yang lain, akan terlihat amat berbeda.

Hal-hal seperti itu, bisa saja terjadi dimasa-masa yang akan datang. Mungkin akan mengaku pejuang angkatan '66, penumbang Orde lama.

Angkatan '74, pelurus jalannya Orde Baru. Angkatan '98, penebang rezim atau menurunkan "Bapak Pembangunan", Pendiri rezim reformasi.

Mengaku-aku, memang berbeda dengan diakui. Juga berbeda dengan rekayasa pengakuan.

Ditenggarai, kini makin sering terjadi "Bisnis Pengakuan - Pemberian Gelar Kehormatan" . Penyelenggara / penjual jasa seperti itu bisa berupa institusi kemasyarakatan, entitas komunitas warga dari geografis tertentu.

Di tenggarai, tak jarang juga terjadi secara barter dengan lembaga, entitas dari negara lain maupun di dalam negeri. Biasanya untuk gelar "Doctor Honoris Causa".

Saling memberikan gelar-gelar pengakuan, berdasar sudut pandang akademis.

Sesuatu yang dianggap secara politis, menumbuhkan citra positif dan bermanfaat membangun kekaguman di benak masa pendukung, maupun kelompok yang disasar untuk dijadikan simpatisan.

Ujung-ujungnya, diharap berguna untuk dijadikan sarana akses, ke jabatan politis. Kekuasaan. Baca: akses ke sumber-sumber keuangan !

Lalu apa hubungannya dengan para sepuh yang ditulis di awal tulisan ini ?

Masalah dasarnya, bukan sesuatu yang luar biasa. "Pengakuan" dan "pendapatan" adalah faktor kritis bagi setiap orang.

Di masa pengusaha dimanjakan dengan "Upah Minimum Regional", yang sering dibaca atau dirasakan para pekerja sebagai "penindasan terhadap pekerja".

Paragraf di atas tidak untuk mendiskreditkan siapa-pun.

Fakta di lapangan, memang ada perusahaan yang tidak mampu, membayar lebih tinggi. Di sisi lain juga tidak sedikit, pekerja yang produktivitas-nya rendah.

Ilustrasi-nya, ada penjahit yang dalam 1 hari mampu menyelesaikan 3 helai baju dengan kualitas jahitan amat rapi.

Sementara itu ada penjahit lain yang hanya bisa menghasilkan 1 helai baju yang sama, di jumlah jam kerja yang sama.

Adil-kah, dengan kondisi produktivitas berbeda, menuntut upah yang sama.

Benar, disinyalir memang ada pengusaha yang amat mampu membayar di atas UMR, namun tidak melaksanakannya.

Terlepas dari hal di atas, kini para pekerja itu semakin banyak berstatus "Pekerja Kontrak Waktu Tertentu / PKWT".  Para buruh pembangun infrastruktur -kuli pekerjaan sipil.

Mereka ini tidak punya kepastian, apakah akan terus dipekerjakan. Mereka dalam kapasitas-nya, juga berjasa turut membangun negara ini.  Mereka saudara kita juga, anak-cucu keturunan para patriot Bangsa

Tidak punya sumber nafkah / pendapatan yang pasti sepanjang kehidupannya.

Lalu akan seperti apa, dimasa tuanya nanti ?

Akankah, mereka terdorong untuk mengaku-aku pejuang tertentu di masa sebelum diri-nya lahir.
Demi bisa meraih pengakuan dan pendapatan - nafkah, untuk jalani sisa hidup-nya ?!

Perlu dipikirkan secara serius, masa tua para senior. Tidak banyak orang tua, lepasan pekerja perusahan swasta, yang masih mampu mengais rejeki untuk nafkah-nya sendiri.

Minta dukungan dari anak-anaknya, bukan opsi yang layak diberikan Pemerintah.

Ingat, setiap orang yang panjang umur, pasti jadi warga Senior. Termasuk anda, pembaca tulisan ini.

Bagaimana mengentaskan Warga Bangsa , terjamin sandang, pangan dan papan. Bagian dari tujuan perjuangan kemerdekaan.

Dirgahayu ke 77 Republik Indonesia.

***

Bongo Recidence - Guest House, Bandung, Rabu 18/08/2022 06:39:41

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun