Sebelumnya diantara kami ada yang masak sendiri. Ngirit, sebagian makan di warung. Sesekali makan daging sapi atau gorengan ayam. "Aah, terasa mewahnya !" Seru seorang kawan.
"Aku dikampung, bisa makan daging sapi atau kambing, terutama saat hari raya kurban. Idul Adha. Dan ayam goreng atau panggang di Idul Fitri, .... Itu amat hebat !" Memori nikmatnya tersimpan di lidah dan mulut, berminggu-minggu !"
Itu hiperbola, kata guru bahasa Indonesia-ku. Tapi bagi Tohir, kawanku, itu fakta.
"Kan, ada ikan "
"Yaa, kami sering menangkap ikan, tapi untuk dijual dikota. Untuk beli minyak tanah, minyak kelapa dan ikan asin, ..."
"Lalu telur ayam dan telur bebek , ...?"
"Semua dijual kekota, kecuali yang besar-besar ditetaskan. Lima atau delapan butir, untuk jamu. Kuning-nya kami telan mentah-mentah, begitu saja. Kecuali bila punya madu dari lebah liar atau jeruk nipis. Diteteskan, sebelum masuk mulut, ..." Celoteh seorang teman berasal dari perbatasan antara Solo dan Jogya.
"Kalau ibu-ku, biasa juga seperti itu, ... Tetapi ketika ayah, menambahkan kecap pada kuning telur sebelum 'glek' ditelan. Saat itu kami tak punya madu dan jeruk nipis.
Selanjutnya ibu pun melakukan yang sama. Aku pun dibiasakan demikian. Terutama jika menghadapi ulangan di sekolah.
Biar pintar, kata ibuku"
Aku tadi, makan apa yaa ? 'Kok jadi hal-hal seperti itu yang kita bicarakan ? Atau karena terguncang-guncang di mobil tua-ku ?
Aku ingat, sekarang. Sebabnya bukan jalan yang buruk, tapi sisa-sisa semen dari truk pembawa adonan beton yang berceceran dan terlindas ban. Selain polisi tidur yang gendut-gendut, berbaris-baris.
Aku belum jujur, sebenarnya penyumbang ketidak nyamanan lainnya, adalah, peredam kejut-schockbreaker mobil-tua-ku. Sudah tak berfungsi dengan baik. Ditambah pelapis antar persendian diantara tulang-tulangku sudah tipis.