Perasaan Wadiarini Anya, tak menentu. Antara suka, tersanjung, bangga dan malu atas kalimat-kalimat pujian itu.
Selama ini dia belum pernah dipuji tentang fisik di depan orang banyak seperti itu. Kalau tentang prestasi, sudah biasa baginya.
Wadiarini Anya jadi kikuk, ketika Marsudi Jaya tersenyum dekat wajahnya. Ditafsirkannya senyuman itu, dia bingung sendiri. Penuh arti. Tak tertebak, yang mana kira-kira maksudnya.
***
Sepanjang perjalanan konvoi pulang ke kampus, hatinya bergejolak. Dikepalanya ada yang berjoged, pertanyaan-pertanyaan.
Apalagi Marsudi Jaya, secara khusus memintanya untuk berkendara bersisian. Jadilah motor gambot warna coklat itu melaju bersisian dengan scooter itali-nya Wadiarini Anya.
"Meluncur bersamaan begini sudah amat senang, apalagi kalau duduk diboncengan-nya, ..." khayalan liarnya, tiba-tiba mengganggu.
"Masak, sih, ... Aku tiba-tiba suka dia, .... Atau hanya karena aku belum punya pasangan saja, ...?" , sambung bisik hatinya.
Tiba-tiba terlintas bayangan wajah yang selalu hadir dalam pikirannya. Wajah milik pacarnya Warsini Wulandari, teman sekelas yang jelita itu.
"Aah, dia lagi, dia lagi, Dia itu punya-nya orang, tau !. Mengapa harus dia yang selalu kamu harapkan, Wadiarini Anya ! Bukankah dia orang paling menyebalkan di bumi ini, menyebutmu "Wad !" Wadiarini Anya berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
Gemuruh gejolak hatinya, beruntung tidak mengganggu kendali pada si scooter demplon itu. Tetap melaju dalam kecepatan sedang. Seiring-iringan konvoi yang panjang meliuk-liuk, mengikuti jalan menuruni bukit.