Nilai perputaran transaksi teh saat itu hanya senilai US$180 juta. Nilai itu lebih kecil ketimbang Kelapa Sawit dan Kopi yang masing-masing senilai US$25 miliar dan US$800 juta.
"Padahal, perputaran transaksi teh diprediksi bisa US$1 miliar, tetapi para petani teh cenderung memilih menjual produknya secara mandiri," ujarnya saat itu.
Untuk menyelesaikan polemik itu, Aspegtindo melemparkan solusi yakni, mereka berupaya meminta penangguhan terkait keputusan Mahkamah Agung Nomor 70 Tahun 2014 tentang PPN 10% untuk komoditas pertanian tersebut.
Lalu, Aspegtindo melemparkan wacana pembentukkan pasar fisik teh online yang bekerja sama dengan JFX. Wacana itu terinspirasi dari rencana dibuatnya pasar fisik untuk Kakao.
Kedua komoditas itu memang memiliki kesamaan yakni, melibatkan petani menengah ke bawah. Pasar fisik online diharapkan bisa melahirkan perdagangan yang lebih adil. Solusi kedua memunculkan perdebatan, beberapan anggota asosiasi sempat berkeras meminta solusi lain untuk bisa dibandingkan dari segi efektivitas dan efisiensinya.
Namun, sampai pertemuan ditutup memang tidak ada solusi lain yang bisa dimunculkan selain pasar fisik online untuk teh tersebut. Delapan bulan sejak 1 September 2014, pasar fisik teh online belum kunjung rampung.
Di tengah proses pembentukan pasar fisik teh online itu, Dua direksi JFX malah menjadi tersangka kasus suap. Direktur Utama JFX Sherman Rana Krishna yang ikut dalam diskusi 1 September 2014 bersama Direktur JFX Bihar Sakti Wibowo tersangkut kasus penyuapan eks Kepala Badan Pengawas Perdagangan berjangka komoditi (Bappebti) Syahrul Raja senilai Rp7 miliar.
Konon, penyuapan itu dilakukan untuk memuluskan izin pendirian PT Indokliring Internasional.
Lalu, bagaimana nasib pasar fisik teh online yang diharapkan Aspegtindo?
Plt. Direktur Utama JFX saat itu Adler Manurung tidak mau terburu-buru dalam menyelesaikan pasar fisik teh tersebut.