Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena dua anak dan satu menantu Jokowi memang telah lebih dahulu hengkang dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju besutan Prabowo Subianto.
Selain itu, sebagian besar relawan-relawan Jokowi juga telah memberikan dukungannya kepada pasangan capres dan cawapres Prabowo-Gibran.
Berlabuhnya relawan-relawan Jokowi kepada pasangan capres-cawapres Prabowo - Gibran ini (tentunya seperti juga halnya sikap politik yang diambil oleh anak-anak Jokowi) sangat tidak mungkin jika tanpa izin dan arahan dari Jokowi sendiri.
Disinyalir kepentingan politik Pilpres 2024 lah yang kemudian membuat keluarga Jokowi lebih memilih untuk meninggalkan PDI-P, partai yang selama ini telah membesarkan dan lekat dengan nama keluarga Jokowi.
Kesimpulan
Sepertinya adagium politik yang mengatakan bahwa, Â "tidak ada yang abadi dalam politik yang ada adalah kepentingan yang abadi" memanglah nyata dan benar adanya jika dikaitkan dengan hubungan antara Jokowi dan PDI-P saat ini.
Adagium diatas menyiratkan bahwa dalam politik yang menjadi tujuan utamanya adalah kepentingan, bukan kepercayaan apalagi kesetiaan.
Dengan kata lain yang menjadi alasan dan landasan utama dari sebuah kerjasama politik (baca : koalisi) adalah adanya sebuah kesamaan kepentingan, tak peduli seberapa besar perbedaan yang ada diantara kekuatan - kekuatan politik yang saling bekerjasama tersebut.
Jika adagium diatas dikaitkan dengan hubungan antara Jokowi dan PDI-P maka kita akan menemukan benang merah diantara keduanya.
Pada pilpres 2024 kepentingan politik Jokowi dan PDI-P jelas sudah berbeda alias sudah tidak sejalan lagi. Itulah mengapa akan sulit bagi Jokowi dan PDI-P untuk berada dalam satu ikatan koalisi kembali pada pilpres 2024 nanti, meskipun dalam dua pemilu sebelumnya Jokowi dan PDI-P terlihat sangat kompak dan mesra.
Di pilpres 2024 Jokowi berkepentingan untuk melanggengkan trah kekuasaannya kepada anak-anak nya. Sebagian orang menyebut kepentingan politik Jokowi ini dengan istilah 'politik dinasti'.