Selain itu Mega juga menyinggung anggapan peran relawan dalam pemenangan di Pilpres. Mega menegaskan bahwa hanya partai politik yang memiliki kewenangan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pilpres 2024 jadi pemicu retaknya hubungan Jokowi dan PDI-P
Keretakan hubungan antara Jokowi dan PDI-P (Megawati) memang tidak bisa dipisahkan dan erat kaitannya dengan gelaran pesta demokrasi lima tahunan atau pemilu 2024 khususnya pilpres 2024.
Awal mula pemicu renggangnya hubungan antara Jokowi dan Megawati adalah masuknya putra bungsu Jokowi Kaesang Pangarep ke dunia politik dengan bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Hanya berselang dua hari kemudian Kaesang langsung ditunjuk menjadi ketua umum partai yang sebelumnya dipimpin oleh Grace Natalie itu.
Hal tersebut tentu sangat disayangkan oleh PDI-P karena sebagai putra dari seorang presiden yang juga kader PDI-P semestinya Kaesang memilih PDI-P sebagai partai politik tempatnya berlabuh.
Sikap Kaesang tersebut semakin disayangkan oleh PDI-P karena akhirnya PSI lebih memilih bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo - Gibran sebagai pasangan capres cawapres ketimbang bergabung dengan koalisi PDI-P yang mengusung Ganjar-Mahfud sebagai pasangan capres-cawapres.
Pemicu kedua yang juga membuat Jokowi dan PDI-P semakin renggang adalah keputusan menantu Jokowi yang juga menjabat sebagai Walikota Medan Bobby Nasution yang memilih mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran, padahal Bobby adalah kader PDI-P.
Sebelumnya Bobby sendiri bisa berhasil memenangkan dan duduk sebagai Walikota Medan adalah berkat diusung oleh PDI-P pada pilwalkot Medan tahun 2020.
Pemicu ketiga retaknya hubungan Jokowi dan PDI-P adalah masuknya putra sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang juga Walikota Solo sebagai cawapres Prabowo Subianto yang jelas-jelas bersebrangan dengan PDI-P di pilpres 2024.
Gibran sendiri juga adalah kader PDI-P dan bisa menjabat sebagai Walikota Solo adalah karena diusung oleh PDI-P.